Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah gigitan
"Selamat pagi Amara," sapa Eli saat Amara memasuki ruang dapur berniat untuk mengisi perutnya dengan menu sarapan pagi itu.
"Selamat pagi juga Bi Eli," jawab Amara ramah. Ia melangkah mendekat, lantas berdiri di samping Eli yang sedang mencuci piring di washtafel.
"Amara sarapan dulu sana, isi perut dengan kenyang, supaya hati senang saat bekerja. Bibi sudah masak nasi goreng buat kamu," tutur Eli dengan nada setengah memerintah sembari melirik pada nasi goreng yang telah tersaji di meja.
"Nasi gorengnya buat Amara juga?"
"Ya iya to, buat semua."
"Sarapan sama-sama yuk, Bi," ajak Amara dengan nada memohon. "Sarapan sendiri rasanya kurang enak, kalau bareng-bareng pasti enak."
"Eh jangan meremehkan nasi goreng Bibi, mau dimakan sendiri atau rame-rame rasa nya tetep enak lo."
"Maaf Bi, Amara nggak bermaksud meremehkan," Amara memasang wajah penuh sesal.
"Wes nggak usah minta maaf, lebarannya udah lewat." Eli menyahut dengan nada bercanda. "Bibi belum lapar, jadi belum pengen sarapan. Bibi kan kerjanya bentar-bentar ke dapur, jadi bisa sarapan kapan saja. Yang penting kamu sarapan dulu sebelum Mas Dimas bangun. Kamu yang butuh lebih banyak energi untuk mengurus Mas Dimas. Monggo, Bibi temani." Eli menarik tangan Amara dan membawanya menuju meja makan.
Amara hanya bisa pasrah saat Eli memaksanya duduk dan menyediakan sarapan.
"Monggo dimakan," cap Eli sembari menaruh piring berisi nasi goreng lengkap dengan lauknya di hadapan Amara.
"Terima kasih, Bi." Amara tersenyum lalu menarik piring agar semakin dekat padanya. Gadis itu menyuapkan sesendok, lalu mengunyahnya dengan penuh penghayatan.
"Eh sudah mau sarapan ya?" Euis yang tiba-tiba muncul di ambang pintu pun bertanya sembari melangkah mendekat, membuat kedua wanita yang tengah duduk itu pun menoleh ke arahnya. "Euis jangan di tinggalin atuh," protesnya dengan nada kesal.
"Ditinggalin kemana to, wong kita disini-sini saja. Nggak kemana-mana, kok."
"Ish Emak jawa teh tega pisan sama Euis!Mentang-mentang sudah ada Teh Amara, Euis teh di anak tirikan!"
"Wes sini, nggak usah marah-marah." Eli lantas menggandeng tangan Euis yang tengah cemberut dan memaksanya duduk di kursi di sebelah Amara. "Kalau masih pagi sudah marah-marah nanti cepat tua lo."
"Ish Emak Jawa! Euis teh masih perawan, nggak mungkin atuh tiba-tiba tua!"
"Wes cepet makan!" pungkas Eli usai menyodorkan piring berisi nasi goreng pada Euis.
"Makasih Mak," Euis tersenyum senang, lantas menoleh pada Amara yang sejak tadi hanya tersenyum sembari mengamati tingkah dua orang wanita beda usia itu.
Walaupun setiap hari mereka selalu ribut seperti kucing dan anjing, namun terlihat sekali jika keduanya saling menyayangi satu sama lain.
"Ish Teteh sudah mandi? Eleh-eleh meni geulis pisan," puji Euis dengan logat sundanya.
Amara hanya tersenyum menanggapi pujian Euis yang hampir tiap hari ia dengar.
"Teteh sudah lama jadi perawat?" Dengan wajah penasaran, Euis bertanya sambil mengunyah nasi di mulutnya.
"Belum terlalu lama kok," Amara menjawab singkat sembari tersenyum, lantas kembali mengunyah makanannya.
"Motivasi Teteh kerja di sini teh apa? Betah tidak?"
"Ya, betah tidak betah." Amara menjawab santai, namun hal itu justru kian membuat Euis semakin penasaran.
"Ish, jawabannya teh ambigu. Jadi antara betah dan tidak betah gitu ya?"
"Hehe," Amara hanya tersenyum kecut menanggapi pertanyaan Euis. Setidaknya ia tak perlu mengatakan jika sedang terlilit hutang atau sengaja menghindari Juan.
"Wih Teh Amara hebat pisan. Padahal ya, sudah banyak Perawat yang tumbang akibat serangan dari Mas Dimas. Tapi Teh Amara bisa bertahan sampai sekarang. Hebat pisan Teh Amara, mah." Lagi-lagi Euis memuji penuh kekaguman sambil bertepuk tangan.
"Biasa saja kali, Euis, aku nggak sehebat itu kok."
Amara tersenyum getir. Sudah beberapa hari disini, tapi ia belum berhasil membuat emosi Dimas kembali stabil. Padahal ia selalu melakukan setiap petunjuk yang Dokter Khanza perintahkan.
Lelaki itu masih sering mengamuk oleh sebab yang tidak Amara ketahui yang lagi-lagi harus memaksanya untuk menyuntikkan obat penenang.
"Kamu benar-benar betah kerja disini? Dengan perlakuan Mas Dimas yang seperti itu?" Kali ini Eli bertanya setengah mendesak.
Namun wanita paruh baya itu bisa menyimpulkan sendiri jawaban Amara melalui senyuman getir yang Amara tunjukkan.
Wanita paruh baya itu mengerti betul bagaimana perjuangan Amara dalam upayanya merawat Dimas. Menghadapi lelaki dewasa yang mengalami masalah kejiwaan sungguh tak semudah apa yang dibayangkan. Sehingga membuatnya salut dan bahkan merasa iba pada gadis tangguh di hadapannya.
"Kalau memang nggak tahan, kenapa kamu masih bertahan?"
"Saya kan sudah janji sama Nyonya, Bi, jadi nggak mungkin saya ingkari. Lagi pula saya sudah terlanjur basah, jadi ya sudah. Mending mandi sekalian, kan."
"Keputusan ada di tangan kamu Amara, Bibi cuma bisa dukung kamu. Lagi pula kalau kamu pergi juga siapa yang bakal rawat Mas Dimas." Eli diam sejenak sembari menghela nafas sebelum ia meneruskan ucapannya kembali. "Semoga keadaan Mas Dimas bisa kembali lagi seperti semula," lirihnya penuh harap dengan pandangan menerawang. Tiba-tiba wajahnya pun terlihat pias penuh kesedihan.
Amara yang menangkap perubahan mimik wajah wanita itu pun tiba-tiba merasa penasaran dengan sosok Dimas sebelum kecelakaan.
"Bi kalau boleh tau, Tuan Dimas itu sebelumnya sosok lelaki seperti apa sih?"
Mendengar pertanyaan Amara itu seketika membuat Eli menyimpul senyum di bibirnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi Amara bisa menangkap jelas guratan bahagia wajah wanita itu saat mengingatnya.
"Dia itu lelaki yang baik dan berhati lembut, sayang pada keluarga dan pekerja keras. Dia bahkan tak pernah menganggap Bibi sebagai seorang pembantu, melainkan seperti keluarga. Mas Dimas bahkan sudah merintis usahanya sejak remaja. Dengan modal sedikit yang diberikan Ayahnya." Eli bercerita dengan pelan namun jelas. Agar Amara bisa dengan jelas pula menangkap apa yang sedang ia ucapkan.
"Sejak kapan Bibi kerja disini?" Amara bertanya semakin antusias sambil bertopang dagu.
"Lumayan lama, sejak Mas Dimas SMP. Jadi Bibi tau betul seperti apa Mas Dimas itu. Makanya bibi sedih kalau mas Dimas seperti ini terus."
Eli tersenyum saat pandangan bertemu dengan mata Amara. Tangan rampingnya lantas bergerak menggenggam jemari gadis itu. "Semoga kamu bisa membuat Mas Dimas kembali seperti dulu lagi ya, semoga kamu berhasil," tuturnya kemudian dengan nada penuh harap.
"Aku akan berusaha keras Bi, tantangan ini membuatku semakin bersemangat. Bibi percaya sama Amara, kan?" Amara meremas lembut jemari Eli, sementara sorot matanya memancarkan binar penuh keyakinan.
"Euis teh punya semboyan supaya kerja teh lebih bersemangat," sela Euis sembari mengunyah makanan di mulutnya. Membuat dua wanita yang tengah saling pandang dengan suasana haru biru itu pun seketika menoleh ke arahnya.
"Apa?" tanya Amara penasaran.
Euis pun berdiri dengan tangan terkepal yang terangkat setinggi kepala. Lalu berucap dengan penuh semangat. "Terus berusaha dan rajinlah bekerja! Jangan patah arang sebab cicilan masih panjang!" Euis pun kembali duduk dan melanjutkan makannya setelah berucap. Dengan mimik polosnya, ia bersikap abai dan tak menghiraukan tak Amara dan Eli yang tengah susah payah menahan tawa.
"Ya iyalah. Kalau nggak kerja terus siapa yang bayar itu cicilan kamu Euis ...!" ucap Amara deli sembari terkekeh bersamaan dengan Bi Eli.
"Ya iya atuh. Kalau nggak ada cicilan mah, Euis jadi nggak semangat kerja."
Suapan demi suapan nasi goreng telah masuk ke mulut Amara hingga habis tanpa sisa di piringnya. Ia pun segera pamit pada Eli dan Euis untuk memulai pekerjaannya.
Amara melangkah menuju kamar Dimas dengan nampan berisi peralatan medis ditangannya. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar itu.
Amara menghirup nafasnya dalam dan melepasnya perlahan. Berusaha menenangkan dirinya yang selalu dihinggapi kecemasan setiap kali akan memasuki ruangan itu.
Ia sedang mempertaruhkan hidup dengan memutuskan untuk masuk kesana. Namun Amara sadar ini telah menjadi tanggung jawabnya. Sehingga tak ada jalan untuknya lari dari tempat itu.
"Bismillah." Amara memulainya dengan doa sebelum ia menekan handle pintu dengan penuh keyakinan Allah Swt akan menolongnya.
"Assalamualaikum Tuan Dimas, hari ini kita buka perban di kepala anda, ya." Amara tersenyum semanis madu dan bersikap sehangat senja. Seolah-olah sama sekali tak merasakan tekanan apapun dalam benaknya.
Ia melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Lantas berdiri tak jauh dari Dimas yang saat itu sedang bersandar sambil memainkan ponsel. "Kalau bekas jahitan sudah kering, berarti Tuan sudah diperbolehkan mandi dengan normal."
Dimas tak bergeming. Ia sama sekali tak menghiraukan keberadaan Amara. Namun hal itu tak membuat Amara menyerah begitu saja.
"Emm-mari kita mulai sekarang, ya." Amara menaruh nampan di atas nakas lalu menyentuh kepala Dimas dengan lembut dan sangat hati-hati. Ia membuka perban yang melilit di kepala Dimas dengan perlahan. Sikap Dimas yang pasif pun mempermudah pekerjaan Amara.
Amara memeriksa kepala itu dengan seksama. Kepala yang semula botak itu kini mulai ditumbuhi rambut-rambut lembut. Bekas jahitannya pun tampak kering dengan sempurna. Amara terlihat senang dengan kemajuan ini.
"Alhamdulillah bekas operasinya sudah kering, jadi tidak perlu diperban lagi," ucap Amara dengan nada riang, lantas memasukkan bekas perban itu ke tempat sampah beserta kaus tangan yang ia gunakan. Usai mensterilkan tangannya, gadis itu mengambil beberapa butir obat dari nampan yang ia bawa dan segelas air putih.
"Sekarang Tuan minum obat dulu, ya," bujuknya sembari melangkah mendekati Dimas. "Silahkan Tuan," ucap Amara sembari menyodorkan obat yang ia bawa.
"Tidak mau." Jawab Dimas datar tanpa ekspresi.
"Tapi Tuan harus minum obat supaya lekas sembuh."
"Gue sudah sembuh! Jadi gue nggak perlu minum obat! Ngerti lo!" teriakan Dimas yang tiba-tiba itu pun mengejutkan Amara. Gadis itu berjingkat, lalu menatap Dimas penuh antispasi.
Dimas mendesah pelan. Hari ini ia benar-benar malas berdebat. Malas ribut dan malas bertengkar. "Sekarang gue minta elo keluar dari kamar gue. Gue nggak mau diganggu." Dimas berucap dengan suara datar, namun sarat akan pengusiran.
Amara yang tak gentar begitu saja dengan pengusiran yang Dimas lakukan. Dengan begitu percaya diri, ia bahkan menunjukkan senyum sambil mendekatkan obat itu pada Dimas. "Tapi saya tidak akan keluar sebelum Tuan meminum obat ini."
Dimas mendongak dan menatap Amara yang tengah memainkan alisnya. "Huh dasar keras kepala," dengusnya kesal sambil memalingkan wajah. sesaat kemudian pandangannya kembali terarah pada Amara, namun kali ini lengkap dengan seringai liciknya. "Lo mau maksa gue lagi? Silahkan lo berusaha! Tapi lo tidak akan berhasil kali ini."
"Apapun yang terjadi, Tuan harus minum obat!" tegasnya penuh ancaman. "Ini demi kesembuhan Tuan juga, bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk saya ataupun mama anda. Kalau Tuan nggak bisa, apa perlu saya bantu?"
Amara diam sejenak, mengawasi Dimas yang tak menjawab.
"Perlu saya bantu?"
Dimas masih diam. Tak menolak tapi tak juga mengiyakan.
Amara mendesah pelan. Iapun kemudian memutuskan untuk memaksa pria itu dengan cara halus. "Anda tidak menolak, jadi saya menyimpulkan anda membutuhkan bantuan. Jadi, biarkan saya bantu."
Amara mendekatkan obat ke bibir Dimas. Harap-harap cemas ia menunggu, dan gadis itu tersenyum senang karena pada akhirnya Dimas mau membuka mulutnya.
Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bukannya meminum obat, Dimas justru mengigit tangan Amara hingga gadis itu menjerit dan memekik kesakitan karena Dimas tak kunjung melepaskan gigitannya.
"Biar kau rasakan! Hahaha!" Dinas tertawa jahat melihat Amara meringis sambil mengibaskan jari yang membekas giginya.
Tangan lelaki itu pun bergerak cepat menyambar gelas berisi air putih itu dari tangan Amara dan menghempaskannya di lantai dengan keras hingga pecah dengan beling kaca yang berserak kemana-mana.
"Pergi lo dari sini! Pergi!" teriak Dimas sambil menunjuk Amara.
Dimas menyibak selimut yang menutup setengah badannya seperti akan beranjak dari sana menyerang Amara. Sontak pikiran Amara langsung tertuju pada beling kaca itu. Kaki Dimas pasti akan terluka jika sampai menginjaknya.
Maka dengan sigap Amara langsung mendorong tubuh Dimas sebelum kakinya sempat menyentuh lantai. Ia segera naik ke ranjang menyusul Dimas yang sudah terlentang. Dan saat itulah ia menyuntikkan obat penenang yang selalu siap di saku pakaian dinasnya demi keamanan bersama.
Bersambung.
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨