Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#20
Suasana kamar yang tadinya hangat seketika berubah beku. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, seolah menegaskan keheningan itu.
Naysila menunduk dalam, jemarinya yang tadi menggenggam tangan Bu Tamara kini terasa gemetar. Ia tak berani menatap lama ke arah pintu, ke arah pria yang masih sah menjadi suaminya.
Alden berdiri kaku, matanya tak lepas dari Naysila. Sudah lama ia merindukan wajah itu, namun kini pertemuan mereka terasa asing. Bahkan terasa lebih asing daripada saat mereka masih tinggal seatap.
Bu Tamara menyadari ketegangan di antara keduanya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seakan berusaha mencairkan suasana. "Al... lihat siapa yang datang. Naysila menjenguk Ibu," ujarnya dengan suara setengah bergetar, berusaha menyembunyikan rasa harunya.
"Ibu pikir, Nay gak akan pernah datang untuk bertemu Ibu lagi. Tapi nyatanya, dia sangat peduli pada Ibu sampai-sampai mau datang meskipun jauh," tambahnya bangga.
Alden melangkah perlahan masuk. "Iya, Bu..." suaranya rendah, serak, seperti menahan sesuatu. Pandangannya kembali jatuh pada Naysila. "Terima kasih... sudah datang, Nay."
Naysila hanya mengangguk singkat, tidak berani menatapnya. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata yang keluar.
Hening kembali melingkupi ruangan. Bu Tamara tersenyum canggung, lalu menepuk tangan Naysila pelan. "Nak... tolong ambilkan Ibu air di meja sana, ya."
"Oh, iya, Bu." Naysila cepat-cepat berdiri, seakan itu alasan tepat untuk mengalihkan diri dari tatapan Alden. Ia melangkah ke meja, menuangkan air ke gelas dengan hati-hati.
Alden menatap setiap gerakannya, dadanya terasa sesak. Begitu gelas itu diberikan pada Bu Tamara, tangan Naysila sempat bersentuhan singkat dengan tangannya sendiri, dan itu membuatnya semakin sulit menahan perasaan.
"Terima kasih, Nak," ucap Bu Tamara, lalu menyeruput sedikit air.
Setelah itu, suasana kembali diam. Naysila duduk di kursi dengan sikap kaku, kepalanya terus menunduk, sementara Alden hanya berdiri di sisi ranjang ibunya, sesekali melirik ke arah Naysila yang tetap menunduk.
"Bagaimana keadaan Ibu sekarang? Apakah parah?" tanya Alden sambil duduk di dekat ibunya. Berusaha mengalihkan perhatiannya dari Naysila.
"Sekarang sudah lebih baik, Al. Maaf, kalau hal ini membuat kamu harus memaksakan diri datang."
"Aku sama sekali nggak terpaksa. Kebetulan memang hari ini aku nggak terlalu sibuk. Aku langsung ke sini begitu dapat telepon dari Ayah tentang Ibu yang jatuh di tangga."
Bu Tamara meraih tangan putranya dan tersenyum hangat. "Kamu mau menginap di sini, kan?"
"Ibu kangen anak Ibu menginap di rumah ini," tambahnya dengan tatapan penuh harap.
Alden mengangguk. "Tentu. Mana mungkin aku pergi dari sini, sementara ibuku sakit. Aku memang ada rencana untuk menginap di sini sejak melangkah pergi dari kantor."
Bu Tamara terlihat senang. "Syukurlah... Ibu senang sekali."
Alden tersenyum.
Kemudian, ia menoleh ke arah Naysila yang sejak tadi bungkam. Ia seolah tak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan wanita itu.
"Nay... akhirnya aku bisa melihatmu lagi," gumamnya dalam hati. "Tapi... kamu terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya."
Alden memperhatikan Naysila dari ujung kepala hingga ujung kaki. Istrinya benar-benar sangat kurus. Hal itu membuat Alden semakin merasa bersalah. Ia yakin, Naysila seperti itu akibat dari perpisahan dengannya, yang ia sebabkan sendiri.
Bu Tamara melirik Alden dan Naysila secara bergantian. Ia senang mereka ada di dekatnya, tetapi suasana canggung itu jelas membuatnya sedih. Baik Alden maupun Naysila, keduanya tak menampakkan niat untuk memperbaiki hubungan.
Bu Tamara akhirnya menarik napas panjang. "Nanti malam, kita makan malam bersama ya?"
Naysila spontan menatap ibu mertuanya. "Sepertinya aku nggak bisa, Bu. Aku harus pulang."
"Kenapa pulang? Lagi pula sebentar lagi magrib, gak baik kalau kamu pulang sendirian di waktu seperti ini. Jarak ke rumah orang tua kamu juga jauh, Nak."
"Nggak apa-apa, Bu. Aku 'kan bisa naik taksi, jadi nggak perlu khawatir."
"Tapi, Ibu nggak mau kamu pulang. Menginaplah... meskipun hanya satu malam. Tolonglah... Ibu sangat ingin kamu di sini." Bu Tamara berbicara sambil memohon.
Naysila terlihat bingung. Ia ingin menolak mentah-mentah permohonan itu, tetapi tak berani.
"Bu... aku belum izin kepada ibu dan bapakku kalau aku akan menginap. Takutnya mereka menungguku pulang," Naysila memberanikan diri memberikan alasan.
"Kamu nggak usah khawatir tentang itu, Ibu akan menghubungi ibu kamu dan meminta izin padanya," sahut Bu Tamara, seolah tak mau kalah dari Naysila.
Naysila diam tak berkutik lagi. Tak bisa memberikan alasan lain untuk menolak.
Alden akhirnya angkat bicara. "Bu, kalau dia nggak mau menginap di sini sebaiknya jangan dipaksa. Itu hanya akan membuat dia gak nyaman."
Bu Tamara terlihat sedih. "Baiklah..."
Melihat ibu mertuanya sedih, Naysila pun berkata, "Aku akan menginap, Bu. Aku akan masak makanan kesukaan Ibu."
Alden dan Bu Tamara langsung menatap wanita itu tak percaya. Bu Tamara kembali tersenyum bahagia, sementara Alden justru merasa heran karena tiba-tiba Naysila mau menginap, padahal tadi bersikeras ingin pulang.
"Kamu serius, Nay?" tanya Bu Tamara.
Naysila tersenyum tulus. "Iya, Bu. Gak apa-apa, aku akan menginap malam ini dan memasak untun Ibu. Tapi, besok aku harus pulang. Gak apa-apa, kan?"
"Iya, gak apa-apa meskipun cuma semalam. Ibu sudah sangat senang," jawab Bu Tamara.
Tak berselang lama, Adzan magrib berkumandang, suaranya menggema syahdu dari masjid besar tak jauh dari rumah itu. Suasana kamar Bu Tamara mendadak hening, hanya lantunan adzan yang terdengar memenuhi ruang.
Naysila menunduk, lalu menoleh pada ibu mertuanya. "Bu... boleh aku pinjam kamar tamunya?"
Bu Tamara tersenyum lembut. Dengan penuh pengertian ia menjawab, "Boleh saja, Nak. Kamar tamu ada dua, kamu bisa pilih yang mana saja."
"Terima kasih, Bu," ucap Naysila dengan sopan.
Alden yang masih duduk di dekat ibunya memperhatikan dengan seksama. Tatapannya tak bisa disembunyikan, ada perasaan aneh saat mendengar istrinya itu memilih kamar tamu, bukannya kamar dirinya yang dulu sering mereka gunakan untuk tidur bersama ketika berkunjung.
Meskipun mereka tak pernah benar-benar mesra di kamar itu (hanya pura-pura bersama), tapi mendengar kata-kata Naysila saat ini membuat dadanya terasa sesak, seolah semakin yakin bahwa Naysila tak ingin lagi satu atap dengannya, apalagi sekamar.
Harapan Alden untuk kembali memperbaiki hubungan tampaknya kian samar.
Naysila pamit dengan sopan lalu keluar dari kamar Bu Tamara. Kakinya melangkah tenang menuruni tangga, menuju lantai satu. Ia sudah tahu betul letak setiap ruangan di rumah itu, karena dulu sering membantu pembantu membersihkan rumah ketika berkunjung.
Di depan pintu salah satu kamar tamu, Naysila berdiri dan pembantu rumah itu datang menghampirinya, membawakan sebuah mukena bersih milik Bu Tamara. "Ini, Mbak Nay. Mukena bersih buat shalat."
Naysila menerima dengan senyum tulus. "Terima kasih banyak."
Ia masuk ke kamar tersebut, menutup pintu perlahan. Naysila melepaskan jilbab yang dipakainya lalu masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu, ia mengenakan mukena itu. Wajahnya yang tadinya penuh canggung, kini tampak lebih tenang. Ia berdiri di atas sajadah, lalu menunaikan shalat magrib dengan khusyuk.
Sementara itu di kamar lain, Alden duduk di sisi ranjangnya sambil memikirkan Naysila. Pikirannya tak tenang setelah bertemu dengannya. Lebih tepatnya karena hubungan mereka benar-benar terasa asing.
"Bagaimana caranya supaya aku bisa bicara dengan dia? Aku hanya ingin berbicara empat mata dengannya, supaya aku bisa tahu bagaimana keputusannya tentang hubungan kami."
Alden berbicara sendiri. Memikirkan cara supaya bisa berbicara berdua saja dengan Naysila.
Hubungan mereka belum benar-benar selesai. Saat ini, hubungan mereka sedang berada diujung tanduk, dan Alden butuh kejelasan untuk itu.
Akhirnya, Alden berdiri dari duduknya dan gegas masuk ke kamar mandi untuk berwudhu juga. Ia kemudian melaksanakan shalat magrib di kamarnya.
Sedangkan di kamar tamu...
Setelah salam terakhir, Naysila terdiam. Mukena masih membungkus tubuhnya. Ia duduk bersimpuh di atas sajadah, menatap kosong ke arah lantai.
Pertemuan barusan dengan Alden terus berputar di kepalanya. Tatapan mata pria itu, suaranya yang lirih, dan kehadirannya yang selalu membuat hatinya bergetar.
Entah mengapa, walaupun Alden sudah sangat menyakitinya, tetapi kenyataannya Naysila tidak benar-benar bisa membencinya.
Air mata mulai membasahi pelupuknya. Ada rasa sedih yang begitu dalam, karena pertemuan itu justru membangkitkan kembali cinta yang selama ini berusaha ia kubur. Cinta yang selama dua tahun tak pernah dihargai, cinta yang dirasakan sendirian tanpa pernah dibalas dengan ketulusan.
"Kenapa...?" bisiknya lirih. Jemarinya meremas sajadah, seolah ingin mencari pegangan.
Hatinya bergetar hebat, di antara rindu dan luka yang menyesakkan.
Naysila menengadahkan kedua tangannya, berdoa dengan suara lirih penuh tangis.
"Ya Allah... kenapa sesulit ini menghapus perasaanku padanya? Kenapa Engkau tidak membuatku membencinya saja? Jika memang dia bukan jodohku, tolong hilangkanlah rasa ini dari hatiku... jangan biarkan aku jatuh lagi ke dalam lubang yang sama..."
"Cinta ini terlalu menyakitkan untukku... tapi aku tak tahu bagaimana caranya supaya aku bisa membenci dirinya dan melupakan tentangnya."
Air matanya jatuh deras, membasahi pipi dan mukena putihnya. Suara tangisnya tertahan, hanya hatinya yang benar-benar tahu betapa berat perjuangan melawan cinta yang masih bersemayam di dalam jiwa.
_____________