Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20.
Bayangan itu terus mendekat, walau dinding tempat ia menempel tidak bergerak. Dan kini bayangan itu seakan bukan lagi ilusi cahaya. Namun seakan akan bayangan adalah makhluk.
“Kowe nggawa aku metu alas… kowe ngombe kabeh sing ana ing jero kendi… kowe wis ngilangke kunci lawas…”
(Kau membawa aku keluar dari hutan… kau minum semua yang ada dalam kendi… kau telah menghilangkan kunci lama…)
“Saiki giliranmu mbayar…”
(Sekarang giliran mu membayar..…)
Kodasih terjatuh ke lantai, memeluk dirinya sendiri. Tubuh nya gemetar sangat hebat.
“Kenapa aku…? Aku tidak mengeluarkan kamu dari hutan, kamu yang mengikuti aku?”
Bayangan yang kini memiliki wajah Mbah Ranti itu tersenyum. Lalu tertawa...
“Ha..... ha.... ha.... ha... ha...”
“He.... he... he....he...”
“Hi.... hi.... hi....hi....”
Namun suaranya berubah ubah … menjadi suara laki laki. ... Lalu menjadi suara nenek nenek ... Lalu suara anak kecil.... Lalu suara orang menjerit.
Lalu suara yang sangat berat dan dalam... :
“Amargo kowe sing paling cocok dadi omahku…”
(Karena kau yang paling cocok menjadi rumahku…)
“Kowe pengin awet enom, to?”
(Kau ingin tetap muda, kan?)
“Rohku iso nggawe kowe langgeng selawase…”
(Rohku bisa membuatmu langgeng selamanya…)
“Tapi awakmu… jiwamu… kabeh dadi duwekku.”
(Tapi tubuhmu… jiwamu… semua jadi milikku.)
Kodasih menangis keras, memukul lantai berkali kali.
“Tidak! Tidak!! Aku tidak mau dikuasai!”
Ia berdiri tiba tiba dan berlari ke sudut joglo ke dekat cermin tua yang pecah. Ia menatap cermin itu dengan napas memburu. Namun… yang terlihat di cermin bukan Kodasih muda. Melainkan dirinya dalam versi tua.. sangat tua... Keriput... Punggung bungkuk... Wajah letih.
Lebih tua dari Wujud Kodasih sebelum ia minum kendi di rumah Mbah Ranti.
Namun mata di cermin wujud Kodasih tua itu… bukan mata manusia. Yang terlibat mata itu hitam penuh.. Bibirnya bergerak... dan keluar lagi suara berat dan dalam...
“Dasiiiih… kowe wis entuk kabeh sing mbok karepke…”
(Dasih… kau sudah mendapatkan semua yang kau inginkan…)
“Saiki giliranmu… nganti aku entuk sing tak karepke…”
(sekarang giliranmu… sampai aku mendapatkan yang kuinginkan…)
Kodasih memekik ngeri... menutup wajah dengan kedua tangannya.. Bayangan di balik cermin tertawa. Bayangan dinding ikut tertawa. Bayangan di lantai pun juga ikut tertawa.
Kini seluruh joglo dipenuhi suara makhluk makhluk yang tidak terlihat.
Kodasih menutup telinga, kepalanya terasa sakit dan sangat berat... akhirnya Kodasih terjatuh di lantai, tubuh nya menggigil hebat.
Dan kini bayangan itu kini terikat pada dirinya.. Perlahan... makhluk itu mulai belajar menggerakkan tubuh Kodasih dari dalam.
☀️☀️☀️☀️
Keesokan pagi, setelah malam ritual itu, desas desus yang beredar di dusun mulai berbeda. Sebelumnya, warga hanya mengatakan Kodasih kembali muda.
Namun sekarang…
“Joglo itu bersinar merah semalam…”
“Ada suara jeritan… bukan suara manusia…”
“Aku lihat bayangannya dua… satu nempel, satu berdiri sendiri…”
“Aku dengar Kodasih bicara sendirian, tapi jawabannya banyak suara… Serem tenan…”
Rumor makin kacau.
Tapi yang paling mengerikan terjadi sore hari, ketika beberapa warga melewati jalan dekat rumah Kodasih.
Waktu itu langit mendung. Angin pelan. Suara suara alam nyaris tidak ada.
Pak Dul, Bu Warti, dan dua pemuda, Gino dan Sarpan, sedang menuju surau kecil. Ketika mereka melewati depan joglo Kodasih… Mereka berhenti serempak. Karena melihat sesuatu bergerak di balik dinding kayu joglo.
Bukan manusia. Gerakannya terlalu panjang… terlalu melengkung. Bayangan nya memanjang ke tanah, kemudian kembali mengecil, seperti mahluk yang mencoba menyesuaikan bentuk nya.
Sarpan menelan ludah.
“Pak Dul… kok bayangan nya bukan seperti orang ya?”
Pak Dul memicingkan mata.
“Kok iso… bayangan ning kayu koyo kedutan ngono?”
(Kenapa bayangan di dinding kayu seperti berdenyut begitu?)
Mereka melihat lagi. Dan benar, bayangan di dinding itu tampak bergerak sendiri, bergelombang seperti kain yang ditiup angin. Padahal tidak ada angin sama sekali. Seketika bulu kuduk mereka berdiri.
Lalu, sesuatu yang membuat mereka semua mundur sekaligus: Bayangan itu tidak hanya bergerak… bayangan itu membuka mata... Dua titik merah menyala di dalam bentuk gelap itu.
Bu Warti menjerit kecil dan bersembunyi di belakang Pak Dul suaminya.
“Gusti… itu dudu bayangan manungsa!!”
(Gusti.. itu bukan bayangan manusia!”)
Gino memegangi dadanya. Nafasnya pendek pendek.
Lalu terdengar suara… suara menekan… suara dari dalam rumah Kodasih. Bukan suara manusia. Bukan suara hewan. Suara itu seperti banyak mulut berbicara bersamaan.. suaranya bergema.. bergetar..
“Ssssttt… ojo cedhak cedhak… … iki omahku…”
(Jangan dekat dekat … ini rumahku…)
Keempat orang itu panik. Mereka mundur perlahan, hendak pergi. Tapi tiba tiba pintu joglo terbuka dan mereka melihat Kodasih. Kodasih berdiri di depan pintu, menatap lurus ke arah mereka.
Namun yang membuat mereka hampir pingsan:
Kodasih tersenyum, kedua tangan di bawah, namun bayangannya justru memegang kepala sendiri seperti orang sekarat.
“Ny… Nyi Kodasih?” Pak Dul memanggil.
Namun suara yang keluar dari mulut Kodasih … bukan suara Kodasih.
“muliiihhh… kono… iki dudu urusanmu…”
(Pulang... sana.. ini bukan urusanmu..)
Gino terlonjak mundur, sambil berteriak . “Lah… itu… bukan suara Nyi Kodasih, Pak!”
Namun yang lebih membuat mereka ngeri! Tiba tiba, tanpa Kodasih bergerak, bayangannya melompat ke dinding lain seperti makhluk merayap.
Suara dari bayangan itu muncul.. lebih jelas, lebih dalam, lebih tua:
“Sopo wae sing nyedhak… tak pangan jiwane…”
(Siapa saja yang mendekat.. ku makan jiwanya.)
Semua langsung lari terbirit birit. Tanpa menoleh. Mereka lari tunggang langgang . setelah sampai surau. Menutup pintu. Mengunci. Menangis.
Di dalam surau, napas mereka masih sesak.
Pak Dul memegang dadanya, wajahnya pucat seperti orang habis melihat malaikat maut.
“Kita… harus lapor Pak Bayan …” katanya dengan suara lemah.
Bu Warti menangis. “Joglo itu… tidak boleh dekati lagi… sudah bukan rumah manusia…”
Gino dan Sarpan saling berpandangan, wajah mereka sangat pucat..
“Kita harus minta bantuan… siapa? Dukun? Kyai? Siapa saja?
“Sing penting ora telat…”
(Asal jangan terlambat…)
Karena mereka tahu: Apa pun yang menghuni rumah Kodasih itu… Bukan Kodasih. Dan bukan roh biasa.
Sementara warga gempar, di dalam rumah joglo. Kodasih sedang terduduk di lantai, memegang dadanya.
“Tolong…” bisiknya lirih, matanya berkaca kaca.
“Tolong… jangan kuasai aku…”
Bayangannya memanjang ke langit langit ruangan. Lalu dari bayangan itu terdengar suara cekikikan rendah.
“Kabeh wong kuwi wedi karo kowe… kowe butuh aku, Dasiihhh…”
(Semua orang orang itu .. takut padamu…kamu butuh aku, Dasih…)
“Tidak…” teriak Kodasih bergetar, memegangi kepalanya.
“Aku tidak butuh kamu! Lepas aku!!”
Bayangan itu merayap di lantai, seperti tinta hitam hidup.
Ia melingkari kaki Kodasih.
“Sakjane… kowe wis milih aku wektu kowe ngombe kendi kuwi…”
(Sebenarnya… kau sudah memilihku saat kau minum kendi itu…)
“Tidak… aku tidak tahu..” ucap Kodasih lirih.
“Mesthi wae ora ngerti… Iku tujuanku…”
(Tentu kau tak tahu… itu tujuanku…)
Bayangan itu naik perlahan ke tubuh Kodasih. Ia merasakan dingin luar biasa. Seperti ada tangan tangan kecil mencengkeram jantungnya.
“Wayahe wis cedhak, Dasih… aku mung butuh siji raga …”
(Waktunya sudah dekat, Dasih.. aku Cuma butuh satu raga. )
Dan....
Saat itulah.. dari luar.. terdengar kerumunan warga mulai mendekat, membawa obor dan tombak.
“NYI ODASIH! BUKA PINTUNE!”
(Nyi Kodasih buka pintunya)
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣