"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjalani Hari Layaknya Biasa
"Mama sudah mendengar semuanya, dan Mama kecewa kenapa berita ini masih saja belum mereda" Dinda duduk di depan putranya, Aksa. "Mama sudah bilang, menikahlah Aksa," Dinda merasa gemas dengan Aksa.
"Ma..."
"Kenapa? kalau kamu memang tidak memiliki pasangan sekarang, Mama akan carikan jodoh buat kamu," ancaman Dinda membuat Aksa semakin frustasi. Impian menikah itu bukan prioritasnya sekarang. Dia masih ingin berkarir.
"Karir itu nanti akan mengikuti, kalau beritanya seperti ini terus, bukan tidak mungkin kamu akan merusak citra perusahaan itu sendiri, tahu sendiri juga kan bagaimana kondisi Papa kamu," seolah Dinda bisa menebak apa yang akan diucapkan oleh Aksa. "Gimana mas?" tanya Dinda.
"Apanya yang bagaimana Ma?"
"Perjodohan,"
Aksa memijit pelipisnya, semakin membuat pusing saja mendengar kalimat perjodohan. "Iya iya...nanti mama saya kenalkan sama pacar Aksa, sabar ya ma," Aksa memegang kedua tangan wanita kesayangannya itu dengan senyum indahnya.
"Bukan Martin kan?" Dinda melirik.
"Ih Mama...dibahas lagi, lagian ganteng begini masih doyan yang cantik Ma..." Aksa merajuk, mirip anak kecil.
"Iya iya..Mama percaya, hanya saja berita di luaran sana membuat mama tidak tahan lagi, mama khawatir saja kamu kena dampaknya,"
"Aman ma, lagian berita begitu dipercaya,"
"Kamu harus mikirin Papamu mas, nggak hanya kamu sendiri,"
"Iya ma..."
"Oh ya, kamu ada kerjaan di luar kota berapa hari?" tanya Dinda.
"3 harian mungkin Ma,"
"Jadi berangkat sama siapa? Putra? oh Ya katanya kamu rekrut sekretaris baru kan?" meskipun tidak memegang perusahaan, namun Dinda tetap mengawasi walau dari jauh.
"Putra nggak bisa Ma, Putra harus tetap tinggal untuk bertemu dengan sponsor yang ada di sini, kan kemarin gagal semua kan sama si Martin, nah yang disini biar dipegang sama Putra, yang di luar nanti aku,"
"Hati-hati lah kamu di sana. Oh ya...apa sekretarismu itu cowok?"
"Sebentar deh Ma, heran sama orang-orang, padahal Putra kan cowok, kenapa berita yang keluar malah aku sama Martin?.
"Kenapa? kamu mau digosipkan sama Putra juga?" Dinda melotot.
"Ampun...nggak gitu maksudnya Ma..."
"Kamu belum jawab pertanyaan Mama,"
"Wanita Ma,"
"Bagus lah, setidaknya tidak akan ada berita miring,"
"Udah ah Ma, mau mandi, bau" Aksa menghindari pertanyaan yang lebih lagi dari Mamanya.
Meskipun nampak tegas, namun jika sudah bersama keluarganya, Aksa akan terlihat sangat ramah dan manja. Pamit mandi bukan berarti Aksa segera mandi, dia membanting tubuhnya di ranjang yang empuk dan luas itu. Apa benar yang diucapkan Mamanya jika dia harus segera menikah? Membayangkan saja belum mampu rasanya.
***
Perjalanan luar kota pertamanya dengan Aksa. Binar berjalan tergopoh-gopoh mengikuti langkah Aksa yang panjang, keluar dari bandara dan bergegas masuk ke dalam mobil yang sudah menjemputnya. Binar kerepotan menarik koper bajunya, Aksa sudah masuk ke dalam mobil. Binar baru berhasil memasukkan koper ke bagasi dibantu oleh sopir.
"Terima kasih, Pak" Binar mengangguk. Binar duduk di samping pengemudi, sedangkan Aksa tengah sibuk melihat ipad di bangku belakangnya.
Kebetulan sekali perjalanan bisnisnya ini berada di kota kelahirannya, antara senang dan sedih. Senangnya kedatangannya kesini mengobati rasa rindunya akan kota kelahirannya yang sudah hampir setahun dia tinggalkan, tapi sedihnya dia tidak bisa bertemu dengan orang tuanya.
Perjalanan menuju hotel kurang lebih 30 menit, tidak ada percakapan di antara mereka. Binar sibuk memperhatikan jalan. Tidak banyak yang berubah.
Binar turun dari mobil, sopir sudah menurunkan kopernya dan juga koper Aksa. Tidak lupa Binar mengucapkan terima kasih.
Binar bergegas masuk ke dalam lobby untuk mengambul kunci kamar, Binar sudah mengurusnya beberapa hari sebelum keberangkatannya. Aksa duduk di sofa lobby sambil menatap layar ponselnya. Setelah mendapatkan kuncinya, Binar berjalan mendekat ke arah Aksa yang nampak tidak menyadari kehadirannya.
"Permisi, Pak. Kamarnya sudah siap" Binar memberitahu. Aksa mengangguk lalu menyimpan ponselnya di saku celana, bergegas berdiri sambil menggeret kopernya dan masuk ke dalam lift.
Kamar mereka bersebelahan, sebenarnya Binar merasa tidak enak jika harus mendapatkan kamar yang sama fasilitasnya dengan Aksa. Tapi Aksa tidak keberatan, agar memudahkan koordinasi di antara keduanya.
Mereka tiba di lantai 7, di mana kamar mereka berada. Mereka sama-sama masuk ke dalam kamar masing-masing. Binar memasukkan kartu agar lampu menyala, kamar yang amat luas menurutnya dengan berbagai fasilitas mewah di sana. Binar mendekat ke arah jendela, pemandangan kota terlihat dengan indah. Kota kelahirannya.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dari Tama yang mengabarkan jika surat perceraiannya sudah siap.
Binar menghela nafas panjang, akhirnya perjalanannya usai, benar-benar usai. Binar tersenyum, senyum kekecewaan. Di mana dia harus memulai hidup baru lagi.
Binar melepas sepatunya dan menyimpan di tempatnya, melongok ke kamar mandi yang tak kalah mewah dengan aromaterapi yang seolah memanggilnya untuk segera mandi.
Jadwal bertemu klien hari ini dimulai jam 3 sore, Binar sudah mengingatkan dengan jelas. Jangan sampai ada yang terlewat, karena ini adalah agenda penting perusahaan.
Selepas mandi, Binar bergegas mengenakan pakaian formal karena akan mendampingi Aksa bertemu dengan klien.
"Permisi, Pak" Binar mengetuk pintunya. Tak berapa lama, muncul lah Aksa dengan rambut basahnya dan masih belum selesai mengancingkan kancing lengan kemejanya.
"Maaf Pak, ini sudah melewati jam makan siang, apa Bapak ingin saya pesankan makan siang sekarang?"
"Tidak usah, nanti sekalian saja," Aksa menolak.
"Baik, Pak. Jadi jadwal kita bertemu klien sekitar 30 menit lagi, jika Bapak tidak berkenan untuk makan siang, maka saya akan menunggu Bapak di lobby". Binar menyudahi.
Tak sampai 15 menit Binar menunggu, Aksa tiba di lobby dengan langkah panjangnya, setelan jas warna hitam dan juga jam bermerk menghiasi laki-laki itu, tak lupa kacamata hitam dia kenakan. Binar segera berdiri menyambut Aksa, dan bersiap hendak pergi.
Sebuah mobil berwarna hitam mewah sudah tiba di depan lobby, sopir membuka pintu untuk Aksa. Binar duduk di depan sambil mengecek layar ipad, mempelajari hal-hal yang akan dibahas saat meeting nanti. Menyiapkan dengan detail bahan presentasi Aksa.
Antara hotel dan tempat bertemunya dengan klien tak butuh waktu lama, hanya sekitar 10 menit. Mobil memasuki sebuah tempat yang eksklusif, sebuah restoran jepang yang ada di kota ini.
Binar mengekor di belakang Aksa yang sudah turun terlebih dahulu, sebuah tempat yang disewa khusus. Sudah ada beberapa orang yang tiba di sana, sengaja menunggu Aksa.
"Maaf jika saya terlambat," Aksa melepas kacamatanya dan menyalami satu per satu orang yang ada di sana, sekitar 10 orang sudah tiba.
"Tidak masalah Pak Aksa, kami tahu perjalanan anda tidak sedekat kami," gurau seorang laki-laki berambut putih itu sambil menepuk lengan Aksa dengan akrab. "Mari silahkan duduk," imbuhnya mempersilahkan.
Binar duduk tak jauh dari Aksa, agar memudahkan dia menyiapkan hal yang diperlukan oleh Aksa untuk presentasi nantinya. Menurut rencana, Aksa akan menjaring beberapa pengusahaa di sini untuk berinvestasi membangun mall di kota ini. Aksa harus mempersiapkan sebaik mungkin agar rencana ini terwujud.