Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Penyelamat yang Tak Terduga
"Bisa pinjam gerobaknya sebentar, Pak? Plis, darurat banget!"
Maya nyaris berteriak di depan Mang Dadang, tukang sayur keliling yang sedang mangkal di ujung gang. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya saat dia menunjuk motor bebeknya yang teronggok mengenaskan dengan ban belakang yang hancur berantakan.
"Waduh, Neng Maya, ini gerobak masih banyak sayurnya. Mau dibawa ke mana?" Mang Dadang menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung melihat mantan manajer kota itu tampak sangat berantakan.
"Ke pusat kabupaten, Pak! Ke gedung perkantoran Dirgantara Utama Group. Saya ganti uang sewa gerobaknya nanti, janji! Saya harus sampai sana sebelum jam sebelas!" Maya tidak menunggu jawaban lagi. Dia langsung membantu Mang Dadang menurunkan sisa kangkung dan sawi ke pinggir jalan.
"Duh, Neng, itu jauh lho! Lima kilo lebih kalau lewat jalan pintas!"
"Saya lari, Pak! Tolong ya!" Maya mengangkat dua keranjang besar berisi 50 kotak katering itu ke atas gerobak kayu yang ringkih.
Tanpa mempedulikan tatapan aneh dari warga kampung yang mulai keluar rumah, Maya mulai mendorong gerobak itu. Awalnya berat, sangat berat. Roda gerobak yang dari kayu itu berderit setiap kali melewati aspal yang panas. Sinar matahari pukul sepuluh pagi mulai membakar kulit pundaknya, membuat kemeja kerjanya yang rapi kini basah kuyup oleh keringat.
"Ayo Maya, jangan menyerah. Cuma lima kilo. Kamu pernah lari maraton di Jakarta, masa begini saja kalah?" gumamnya pada diri sendiri.
Dia berlari kecil, mendorong gerobak itu menanjak di jembatan layang Sukaasih. Nafasnya mulai terasa seperti api di tenggorokan. Setiap kali ada mobil mewah lewat dan mencipratkan air ke arahnya, Maya hanya memejamkan mata dan terus mendorong. Pikirannya cuma satu: Arlan dan 50 kotak nasi bakar yang tidak boleh dingin.
Gedung tinggi dengan kaca biru mengkilap itu akhirnya terlihat di kejauhan. Gedung Dirgantara Utama Group. Maya mempercepat langkahnya, mengabaikan rasa perih di telapak tangannya yang mulai melepuh karena gesekan kayu gerobak.
Sampai di depan lobi yang megah, Maya berhenti sejenak untuk mengatur napas. Penampilannya hancur. Rambutnya yang tadi disanggul rapi kini berantakan, wajahnya merah padam karena panas, dan bau keringat bercampur aroma asap nasi bakar menguar dari arah tubuhnya.
Begitu dia hendak mendorong gerobak itu menuju pintu masuk kaca yang otomatis, seorang sekuriti berbadan tegap dengan seragam lengkap langsung merentangkan tangan.
"Eh, eh! Mau ke mana ini? Dagang sayur nggak boleh di sini! Lewat belakang, lewat pintu karyawan!" bentak sekuriti itu, namanya terbaca Bambang di papan namanya.
"Pak, saya bukan dagang sayur. Saya mau antar catering pesanan Pak Arlan," kata Maya sambil terengah-engah.
Bambang tertawa mengejek, menoleh ke arah temannya yang juga berjaga. "Dengar nggak? Dia bilang pesanan Pak CEO. Kamu lihat gerobakmu ini? Bau terasi begini mana mungkin pesanan bos besar. Sudah, jangan bikin kotor lobi, pergi sana!"
"Saya serius, Pak! Ini kartu namanya!" Maya merogoh saku celananya, mencari kartu nama hitam elegan pemberian Arlan. Tapi sial, kartu itu tidak ada. Sepertinya jatuh saat dia sibuk memindahkan barang tadi.
"Mana? Nggak ada kan? Sudah banyak orang kayak kamu mau masuk cuma buat minta sumbangan atau jualan asongan pakai modus begini. Pergi atau saya seret gerobaknya ke pos?" Bambang mulai mendorong gerobak Maya menjauh.
"Jangan pegang gerobaknya, Pak! Ini makanannya bisa hancur!" Maya menepis tangan sekuriti itu dengan berani.
"Wah, ngelawan ya? Kamu tahu nggak ini gedung siapa? Jangan main-main!"
Di saat keributan itu terjadi, beberapa staf kantor yang berpakaian modis keluar masuk lobi. Mereka menatap Maya dengan pandangan jijik, menutup hidung saat melewati gerobak sayur yang diparkir di depan pintu mewah itu.
"Duh, kok ada gerobak sampah di sini sih?" bisik seorang perempuan berambut pirang dengan tas bermerek. "Sekuriti kerjanya gimana sih? Malu-maluin kalau ada tamu asing lihat."
"Iya nih, baunya kayak pasar tradisional. Norak banget," sahut temannya.
Maya merasa harga dirinya diinjak-injak kembali. "Saya bukan sampah! Saya mengantar makanan yang sudah dipesan secara resmi!"
"Siapa yang pesan?" sebuah suara dingin dan berat menginterupsi perdebatan itu.
Semua orang menegang. Bambang si sekuriti langsung berdiri tegak dan memberi hormat dengan sangat kaku. "Pagi, Pak Arlan! Ini Pak, ada orang gila bawa gerobak mau masuk lobi. Saya lagi coba usir dia."
Arlan berdiri di sana, di tengah lobi, mengenakan setelan jas abu-abu yang sangat licin tanpa ada kerutan sedikit pun. Dia menatap sekuriti itu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Maya yang berdiri gemetar di samping gerobak sayur.
Arlan memperhatikan wajah Maya yang penuh keringat, baju yang kotor, dan gerobak kayu yang sangat kontras dengan kemewahan gedungnya.
"Kamu yang mau mengusirnya?" tanya Arlan pelan, tapi suaranya bergetar karena amarah.
"I-iya Pak, dia bilang pesanan Bapak, padahal penampilannya begini..." Bambang mulai gagap.
"Dia memang pesanan saya," potong Arlan tajam.
Suasana lobi mendadak senyap. Staf-staf perempuan yang tadi menghina Maya langsung menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel mereka.
Arlan melangkah mendekati Maya. Dia tidak peduli dengan bau keringat atau gerobak kotor itu. Dia mengambil satu kotak katering dari keranjang dengan tangannya sendiri.
"Maaf saya telat, Arlan. Motor saya ban-nya meledak dan..." Maya bicara dengan suara serak, hampir menangis karena lega sekaligus malu.
"Kamu membawa ini semua pakai gerobak? Dari kampung?" Arlan menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Iya. Saya sudah janji jam sebelas tepat," jawab Maya tegak.
Arlan menoleh ke arah sekuriti itu. "Bambang, bantu dia angkat semua kotak ini ke ruang rapat lantai sepuluh. Sekarang. Dan kalau sampai ada satu kotak yang miring, kamu saya pecat hari ini juga."
"Ba-baik, Pak! Siap!" Bambang langsung kalang kabut membantu Maya.
"Dan kalian," Arlan menatap staf perempuan yang tadi berbisik-bisik. "Siapapun yang merasa hidungnya terlalu wangi untuk mencium aroma makanan tradisional di kantor ini, silakan letakkan surat pengunduran diri di meja saya sekarang juga."
Para staf itu langsung bubar dengan wajah pucat.
Arlan kembali menatap Maya. Dia melihat telapak tangan Maya yang lecet dan berdarah karena mendorong gerobak. Tanpa kata, Arlan mengeluarkan saputangan sutra dari sakunya dan memberikannya pada Maya.
"Bersihkan wajahmu. Saya tidak suka mitra bisnis saya terlihat seperti habis perang," kata Arlan dingin, tapi dia tetap berdiri di sana sampai Maya selesai mengusap keringatnya.
Mereka naik ke lantai sepuluh. Di dalam ruang rapat yang mewah, 50 karyawan sudah menunggu. Meja panjang itu kini dipenuhi dengan kotak katering milik Maya. Aroma nasi bakar yang gurih dan wangi daun pisang terbakar langsung memenuhi ruangan, mengalahkan aroma pengharum ruangan kimiawi yang membosankan.
Beberapa manajer di sana tampak ragu melihat kotak makanan yang terlihat "biasa" itu. "Pak Arlan, apa tidak sebaiknya kita pesan dari hotel seperti biasanya? Ini sepertinya kurang... formal."
Arlan tidak menjawab. Dia mengambil satu kotak, membukanya, dan aroma rempah yang kuat langsung menyergap hidung semua orang. Dia mengambil sendok kayu sekali pakai yang disediakan Maya, lalu menyuap nasi bakar cakalang itu ke mulutnya.
Seluruh ruangan hening. Maya berdiri di sudut ruangan, meremas saputangan Arlan dengan jantung berdebar. Dia tahu, ini adalah penentuan hidup dan matinya warung ibunya.
Arlan mengunyah perlahan. Matanya terpejam. Dia menelan makanan itu, lalu meletakkan sendoknya. Dia berdiri dan menatap seluruh karyawannya yang sedang menonton dengan tegang.
Arlan kemudian menatap Maya dengan tatapan yang sangat tajam, seolah sedang menghakimi setiap butir nasi yang tadi dia telan.
"Semuanya, dengarkan saya," suara Arlan menggema. "Saya sudah makan di berbagai belahan dunia. Tapi..."
Dia menjeda kalimatnya, membuat suasana semakin mencekam.
"Ini bukan cuma makanan, Maya," kata Arlan dengan nada suara yang sangat dalam. "Ini gila. Rasanya... sangat berbahaya."
Maya tertegun. "Berbahaya?"