NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: HARI YANG MENGUBAH SEGALANYA

# 😱

Pagi itu dimulai dengan suara burung.

Alviona terbangun pukul 6.30 pagi dengan sensasi gerakan lembut di perutnya—bayi yang sudah mulai aktif bergerak di minggu ke-16. Sensasi yang biasanya membuat dia tersenyum, membuat dia merasa ada tujuan untuk bertahan.

Tapi pagi ini... ada sesuatu yang berbeda.

Ada perasaan tidak enak di dadanya—bukan sakit fisik, tapi lebih seperti... peringatan. Seperti naluri binatang yang tahu badai akan datang.

Dia menggosok perut dengan lembut, berbisik seperti biasa: "Selamat pagi, sayang. Hari ini kita harus ekstra hati-hati ya..."

*Kenapa aku bilang begitu?*

Dia sendiri tidak tahu. Cuma... feeling.

---

Pukul 7.15 pagi, Alviona sudah mandi dan ganti baju—dress hamil biru muda yang longgar, satu-satunya dress yang masih muat dengan perut yang mulai membesar. Rambutnya diikat asal, wajah tanpa make-up memperlihatkan betapa pucatnya kulitnya.

Dia berdiri di depan cermin sebentar, menatap pantulannya.

*Aku terlihat seperti hantu.*

Tapi tidak ada waktu untuk self-pity. Syafira sudah mengirim pesan lewat pelayan tadi pagi: "Turun ke ruang makan jam 7.30. Ada yang perlu dibicarakan."

Pesan yang lebih terdengar seperti panggilan sidang daripada undangan sarapan.

Dengan napas dalam untuk kumpulkan mental strength, Alviona keluar dari kamarnya.

---

Koridor lantai dua sepi.

Hanya terdengar suara langkah Alviona yang pelan—sangat pelan karena kakinya masih lemas dari kurang nutrisi dan kurang tidur.

Setiap langkah terasa berat. Bukan karena berat badan—dia bahkan kehilangan berat badan selama kehamilan, yang seharusnya tidak terjadi. Tapi karena exhaustion yang mengakar dalam sampai ke tulang.

Dia sampai di ujung koridor, di puncak tangga utama.

Tangga marmer besar yang megah—16 anak tangga dengan pegangan besi tempa yang elegan, lantai marmer putih yang selalu mengkilat.

Tangga yang sudah dia lewati ratusan kali sejak menikah.

Tapi hari ini... entah kenapa, tangga itu terlihat lebih curam. Lebih berbahaya.

*Jangan parno, Alviona. Ini cuma tangga.*

Dia memegang pegangan tangga dengan erat—tangan kanan di pegangan, tangan kiri di perut dengan posisi protektif yang sudah jadi refleks.

Langkah pertama.

Aman.

Langkah kedua.

Aman.

Langkah ketiga—

"ALVIONA!"

Suara Syafira yang keras dari bawah membuat Alviona terlonjak kaget, hampir kehilangan keseimbangan.

Jantungnya berdebar keras. "I-Iya, Bu?!"

"Kembali ke atas! Ambilkan dokumen di meja kerja kamarku! Yang amplop cokelat!"

Alviona menghela napas—frustrasi bercampur lega karena belum harus turun. "Baik, Bu!"

Dia berbalik, naik lagi ke lantai dua dengan langkah yang lebih lambat—napasnya sudah mulai tersengal. Stamina yang sangat rendah untuk ibu hamil.

-

Lima menit kemudian, Alviona keluar dari kamar Syafira dengan amplop cokelat besar di tangan.

Tapi saat dia mau turun, Syafira berteriak lagi dari bawah:

"Bawa juga nampan teh di pantry lantai dua! Untuk tamu yang akan datang!"

*Tamu? Pagi-pagi begini?*

Alviona tidak berani tanya. Dia jalan ke pantry kecil di lantai dua—ruangan kecil dengan meja dan peralatan teh untuk keperluan tamu yang menginap.

Di sana sudah ada nampan besar dengan teko teh panas, beberapa cangkir porselen, gula, creamer.

Nampan yang berat.

Terlalu berat untuk ibu hamil yang lemah.

Alviona menatap nampan itu dengan perasaan tidak enak. "Kenapa tidak Bi Sari saja yang bawa?" gumamnya pelan.

Tapi dia tidak punya pilihan.

Dengan hati-hati—sangat hati-hati—dia mengangkat nampan itu. Berat. Tangannya langsung gemetar karena holding weight yang dia tidak biasa.

Amplop cokelat dia jepit di bawah ketiak.

Nampan di kedua tangan.

Perut yang mulai membesar sedikit menghalangi pandangan ke bawah.

*Ini berbahaya. Ini sangat berbahaya.*

"Pelan-pelan ya, sayang," bisiknya pada bayinya sambil melangkah keluar pantry. "Ibu akan hati-hati..."

---

**

Alviona berdiri di puncak tangga lagi.

Kali ini dengan nampan berat di tangan, amplop di ketiak, perut yang menghalangi pandangan, dan kaki yang lemas.

Resep untuk bencana.

Dia mengambil napas dalam. "Pelan-pelan. Satu anak tangga dalam satu waktu."

Langkah pertama—sangat hati-hati, memastikan kaki menapak stabil sebelum pindah ke langkah berikutnya.

Aman.

Langkah kedua—nampan sedikit bergoyang, tapi masih terkontrol.

Aman.

Langkah ketiga—

Kakinya menginjak sesuatu yang... licin.

Sangat licin.

Kaki kanannya slip—langsung kehilangan pijakan—tubuhnya oleng ke depan dengan gravitasi yang mengerikan.

"AH!"

Jeritan reflek keluar dari mulutnya.

Nampan terjatuh dari tangannya—bunyi keras KRASSHH! teko dan cangkir pecah berkeping-keping, teh panas berceceran.

Alviona mencoba meraih pegangan tangga—jari-jarinya menyentuh besi tapi terlalu licin untuk digenggam—

Dan kemudian—

Dia merasakan sesuatu di punggungnya.

Bukan benda.

Tapi... dorongan.

Dorongan yang keras, yang disengaja, yang membuat tubuhnya yang sudah kehilangan keseimbangan terlempar lebih jauh ke depan.

Waktu melambat.

Alviona sempat menoleh—sempat melihat sekilas siluet seseorang di belakangnya, seseorang dengan dress merah yang familiar, seseorang dengan senyum tipis yang mengerikan—

*Kireina.*

Tapi tidak ada waktu untuk proses informasi itu karena—

Tubuhnya jatuh.

Jatuh ke depan.

Jatuh menuruni tangga dengan cara yang paling mengerikan.

**BRUK!**

Tubuhnya membentur anak tangga pertama—bahu terlebih dahulu, rasa sakit yang menusuk tapi itu bukan yang paling menakutkan—

**BRUK!**

Berguling—punggung membentur anak tangga kedua—

**BRUK!**

Kepala membentur anak tangga ketiga—pandangan blur, telinga berdengung—

**BRUK!**

Dan kemudian—hal yang paling mengerikan—

Perutnya.

Perut yang membawa bayinya.

Membentur anak tangga keempat dengan keras.

Benturan yang membuat seluruh dunia Alviona berhenti.

Rasa sakit yang indescribable—bukan sekedar sakit fisik, tapi sakit yang mencabik jiwa—meledak dari perutnya, menyebar ke seluruh tubuh seperti api yang membakar dari dalam.

"TIDAAAAAAK!"

Jeritan Alviona memecah keheningan mansion—jeritan yang bukan dari rasa sakit fisik, tapi dari ketakutan yang paling dalam, paling primitif.

Ketakutan seorang ibu yang tahu anaknya dalam bahaya.

Tubuhnya terus berguling—

**BRUK! BRUK! BRUK!**

Anak tangga kelima, keenam, ketujuh—setiap benturan menambah rasa sakit, menambah luka, menambah... kerusakan.

Dan akhirnya—

**BRAKKK!**

Tubuhnya terhenti di dasar tangga.

Tergeletak di lantai marmer yang dingin dan keras.

Posisi yang tidak natural—kaki terlipat, lengan terlempar, kepala miring.

Seperti boneka yang dibuang dari ketinggian.

---

**

Untuk beberapa detik, tidak ada suara.

Hanya keheningan yang mencekik.

Alviona tergeletak dengan mata terbuka tapi tidak fokus—pandangan blur, telinga berdengung keras, tubuh... mati rasa untuk sebentar karena shock.

Tapi kemudian—

Rasa sakit datang.

Rasa sakit yang luar biasa dari seluruh tubuh—kepala berdenyut, punggung kayak patah, lengan kesemutan, kaki tidak bisa digerakkan.

Tapi yang paling menakutkan—

Perut.

Rasa sakit di perut yang berbeda dari rasa sakit yang lain.

Rasa sakit yang dalam, yang tajam, yang... salah.

Alviona mencoba bergerak—tubuhnya tidak merespon dengan baik—tapi tangannya—tangannya bergerak ke perut dengan gerakan desperate, panik.

"Ba...yi...ku..." suaranya keluar parau, nyaris tidak terdengar.

Tangannya meraba perut—dan merasakan sesuatu yang membuat dunianya benar-benar runtuh.

Basah.

Perutnya basah.

Dengan tangan gemetar yang tidak terkontrol, dia mengangkat tangannya—membawanya ke depan mata yang blur—

Merah.

Darah.

Darah di tangannya.

"Tidak... tidak... tidak..." bisiknya dengan suara yang pecah total.

Dia menoleh ke bawah—dengan penglihatan yang blur—dan melihat...

Darah.

Darah yang mengalir dari antara kakinya—basah, merah pekat, terus mengalir, membuat genangan kecil di lantai marmer putih yang sebelumnya bersih.

"TIDAK! TIDAAAAAK!"

Jeritan Alviona kali ini berbeda—ini bukan jeritan kesakitan fisik.

Ini jeritan jiwa yang tercabik.

Jeritan ibu yang tahu anaknya... anaknya...

"BAYIKU! BAYIKU!" Dia berteriak histeris sekarang—suara yang memilukan, yang membuat siapapun yang mendengar merasakan sakit di dada.

Tangannya mencengkeram perut dengan desperate—seperti dengan mencengkeram dia bisa menghentikan apa yang terjadi di dalam, seperti dia bisa melindungi bayinya yang sudah terlambat untuk dilindungi.

"KUMOHON! KUMOHON JANGAN AMBIL DIA! KUMOHON!" Dia berteriak pada Tuhan, pada takdir, pada siapapun yang mendengar.

Air mata mengalir deras dari matanya—bercampur dengan darah di wajahnya dari luka di kepala.

"Aku janji akan jadi ibu yang baik... aku janji akan melindunginya... kumohon jangan ambil dia dariku... kumohon..."

Suaranya makin lemah—bukan karena dia berhenti berusaha, tapi karena tenaganya mulai habis, karena darah terus mengalir, karena shock mulai mengambil alih.

---

*

"YA ALLAH! NONA ALVIONA!"

Bi Sari berlari dari dapur dengan wajah pucat—dia dengar jeritan tadi, dia dengar benturan keras.

Begitu melihat Alviona tergeletak di dasar tangga dengan darah di sekitarnya, Bi Sari langsung menutup mulut, kakinya hampir lemas.

"NONA! BERTAHAN! BIBI PANGGILKAN AMBULANS!" Bi Sari berlari ke telepon dengan tangan gemetar.

Pelayan lain mulai berdatangan—wajah mereka shock, takut, tidak tahu harus berbuat apa.

Dan di puncak tangga—

Kireina masih berdiri di sana.

Dengan dress merah yang elegan, rambut masih rapi, wajah... tanpa ekspresi bersalah.

Hanya ada kepuasan kecil di sudut bibirnya—kepuasan yang dia coba sembunyikan tapi masih terlihat.

Dia berbalik pelan, berjalan dengan langkah tenang menuju kamar tamu di lantai dua—seolah tidak ada yang terjadi, seolah dia tidak baru saja... mendorong seseorang dari tangga.

Tidak ada yang melihatnya.

Semua orang fokus pada Alviona yang tergeletak berdarah.

Alviona tergeletak dengan tangan masih mencengkeram perut—grip yang desperate, yang tidak mau lepas walau tenaga sudah hampir habis.

"Ba...yi...ku..." bisiknya semakin lemah, suaranya hampir tidak terdengar.

Pandangannya mulai gelap di pinggiran—tanda dia akan kehilangan kesadaran.

Tapi sebelum gelap total mengambil alih, dia berbisik satu kali lagi—bisikan yang ditujukan pada bayi yang dia tidak tahu masih bisa mendengar atau tidak:

"Maafkan... ibu... maafkan ibu tidak... bisa... melindungimu..."

Air mata terakhir jatuh dari sudut matanya.

Dan kemudian—

Gelap.

Kesadaran menghilang.

Meninggalkan tubuhnya yang tergeletak di genangan darah yang terus membesar, tangan masih di perut dengan posisi protektif yang sudah terlambat.

Meninggalkan mansion yang sekarang dipenuhi suara chaos—pelayan yang berteriak, Bi Sari yang menangis sambil telepon ambulans, Syafira yang akhirnya keluar dari ruang kerjanya dengan wajah shock.

Dan di suatu tempat di lantai dua, Kireina duduk di sofa kamar tamu dengan segelas air, mengambil ponselnya, mengetik pesan ke Mbak Rina:

*"Tidak perlu lagi. Sudah selesai."*

Lalu delete semua chat history mereka.

Dan tersenyum.

---

**Apakah Alviona akan selamat? Apakah bayinya... masih ada? Apakah ada yang akan mengetahui kebenaran—bahwa ini bukan kecelakaan, tapi pembunuhan terencana? Dan ketika Daryon mengetahui... apa yang akan terjadi? Waktu terus berjalan... darah terus mengalir... dan nyawa dua orang—ibu dan anak—bergantung pada detik-detik yang tersisa...**

---

**[ END OF BAB 28 ]**

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!