Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Akad Nikah
Kapal kargo Iron Whale mengerang berat saat menembus lapisan awan bawah yang dipenuhi turbulensi energi sisa badai. Di dalam perut besi yang luas dan berbau pelumas itu, ribuan pengungsi Elf meringkuk di antara tumpukan peti logistik. Kemewahan kain sutra mereka kini ternoda oleh debu mesin, dan kebanggaan ras yang biasanya menjulang setinggi Benua Langit kini tampak layu di bawah cahaya lampu neon kuning yang berkedip-kedip.
Di sebuah sudut yang dipagari oleh barisan kotak amunisi, Kaelan berdiri memunggungi kerumunan. Ia masih mengenakan seragam peraknya yang telah terkoyak di bagian bahu, menyingkap luka bakar akibat semburan energi Naga Laut yang mulai mengering. Tangannya yang kasar dengan telaten merapikan kerah gaun linen putih kusam yang dikenakan Lyra.
"Maafkan aku," bisik Kaelan, jemarinya gemetar saat menyentuh kulit leher Lyra yang dingin. "Seharusnya kau mengenakan mahkota kristal dan kain Azure terbaik di katedral Solaria, bukan kain bekas di ruang kargo yang menyesakkan ini."
Lyra tersenyum kecil, meski matanya tetap tertutup oleh balutan kain tipis yang baru saja diganti oleh Mina. Ia meraih tangan Kaelan, merasakan denyut nadi pria itu yang kuat namun tidak stabil akibat lonjakan evolusi energinya yang dipaksakan.
"Kristal bisa hancur, Kaelan. Mahkota bisa dilelehkan oleh api Void," sahut Lyra dengan suara yang tenang namun bergetar oleh kelelahan. "Tapi sumpah yang kita ucapkan di tengah badai ini... itu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun. Bahkan oleh takdir sekalipun."
"Kau kehilangan sayapmu karena aku, Lyra. Kau kehilangan segalanya."
"Aku melepaskan beban yang membuatku tidak bisa menyentuh tanah, Kaelan. Sekarang, aku bisa berjalan di sampingmu sebagai manusia fana. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Kaelan terdiam, rahangnya mengeras. Ia bisa merasakan resonansi kepedihan Lyra melalui ikatan batin mereka. Kehampaan di punggung Lyra terasa seperti lubang di jiwanya sendiri. Di kejauhan, terdengar bisikan-bisikan sinis dari sekelompok bangsawan Elf yang duduk tak jauh dari mereka.
"Lihatlah... Putri Elviana yang agung sekarang bersanding dengan seekor anjing Terra," desis seorang tetua Elf dengan jubah yang compang-camping. "Benua kita runtuh karena kita membiarkan darah kotor masuk ke lingkaran suci."
"Diamlah, Tetua," sahut yang lain dengan nada muak. "Tanpa 'anjing' itu, kau sudah menjadi kotoran di perut Naga Laut sekarang."
"Tetap saja! Menikahkan darah murni dengan budak di atas kapal kargo? Ini adalah penghinaan terhadap seluruh sejarah Aethelgard!"
Bara, yang berdiri sebagai penjaga di depan area tersebut, menghantamkan gagang kapaknya ke lantai besi hingga menimbulkan suara dentuman yang memekakkan telinga. "Satu kata lagi tentang 'budak', dan aku akan memastikan kalian berjalan kaki menuju Terra dari ketinggian sepuluh ribu kaki!"
Para bangsawan itu langsung terbungkam, namun tatapan benci mereka tetap tertuju pada punggung Kaelan. Kaelan sendiri tidak menoleh. Baginya, martabat mereka hanyalah debu yang tertiup angin badai di luar sana.
Sumpah di Atas Puing
Mina datang mendekat membawa mangkuk kecil berisi campuran minyak herbal dan setetes darah merah murni. Ia menatap Kaelan dengan tatapan peringatan. "Komandan, luka di punggungmu belum tertutup sempurna. Menggunakan energi untuk meresmikan sumpah darah sekarang bisa membuat sirkulasi Ignition-mu meledak."
"Lakukan saja, Mina. Aku tidak akan membiarkan Lyra mendarat di Terra tanpa perlindungan namaku," tegas Kaelan.
"Kau keras kepala," gumam Mina sambil meletakkan mangkuk itu di atas meja besi yang dialasi selembar sapu tangan Azure milik Lyra—satu-satunya benda yang tersisa dari masa lalu mereka di langit. "Silakan, mulailah sebelum getaran kapal ini semakin parah."
Kaelan mengambil pisau kecil, lalu menggores telapak tangannya sendiri. Darah merah pekat menetes ke dalam mangkuk, diikuti oleh gerakan lembut Lyra yang melakukan hal yang sama. Saat kedua darah itu bercampur, aroma besi yang tajam menusuk indera penciuman mereka, bercampur dengan wangi dupa Azure yang tipis dari dalam mangkuk.
"Dengan darah ini, aku mengikat jiwaku pada jiwamu," ucap Kaelan, suaranya berat dan penuh wibawa. "Di bawah langit yang runtuh dan di atas tanah yang menanti, aku adalah perisaimu."
Lyra menggenggam tangan Kaelan yang terluka, membiarkan darah mereka menyatu di antara telapak tangan. "Dengan darah ini, aku menyerahkan sisa napas fana ini padamu. Tidak ada kasta, tidak ada darah suci, hanya kau dan aku hingga akhir dunia."
Tiba-tiba, pendar perak Ignition dari tubuh Kaelan melonjak keluar, bereaksi dengan sisa-sisa energi Void yang masih mendekam di dalam tubuh Lyra. Cahaya itu menerangi ruang kargo yang gelap, menciptakan siluet yang begitu megah hingga membuat para pengungsi di sekitarnya terpaku. Namun, wajah Kaelan memucat. Ia merasakan nyeri yang luar biasa, seolah-olah tulang-tulangnya sedang dipahat ulang.
"Kaelan! Hentikan alirannya!" teriak Mina panik melihat tangan Kaelan yang mulai mengeluarkan uap panas.
"Jangan... belum selesai," geram Kaelan, giginya bergeletuk menahan perih.
Resonansi penderitaan itu merambat ke arah Lyra. Tubuh wanita itu bergetar hebat. Ia bisa merasakan panasnya energi Kaelan yang mencoba membungkus jiwanya yang kini rapuh tanpa perlindungan mana. Ini adalah dilema martabat yang nyata; seorang putri yang dulunya abadi kini harus menanggung beban energi manusia yang kasar demi sebuah ikatan.
"Aku kuat, Kaelan... teruskan," bisik Lyra, air mata darah mengalir dari balik perbannya, menetes di atas sapu tangan Azure di bawah mereka.
Interupsi Berdarah
Goncangan hebat menghantam kapal Iron Whale. Suara logam yang bergesekan terdengar nyaring, diikuti oleh matinya lampu-lampu neon secara mendadak. Di tengah kegelapan, segel darah di tangan mereka bersinar dengan warna merah keemasan yang aneh sebelum akhirnya meredup dan menyerap ke dalam kulit masing-masing.
"Berhasil?" tanya Bara sambil bersiaga dengan perisainya.
"Berhasil," jawab Mina dengan napas lega, meski matanya tetap waspada. "Mereka sekarang terikat. Jika salah satu mati, yang lain akan merasakan kehancuran jiwanya."
Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik. Suara ledakan terdengar dari arah pintu besi besar yang menghubungkan ruang kargo dengan dek komando. Pintu seberat beberapa ton itu terlempar, menghantam tumpukan peti hingga hancur berkeping-keping.
"Siapa di sana?" teriak Kaelan, segera berdiri di depan Lyra dengan tangan yang masih bersimbah darah.
Dari balik asap dan debu mesin, muncul beberapa sosok prajurit dengan zirah perak yang telah menghitam. Mereka adalah sisa-sisa pengawal setia Alaric yang berhasil menyusup ke dalam kapal evakuasi. Di tengah-tengah mereka, High Lord Valerius melangkah dengan tertatih, tubuhnya dipapah oleh dua orang ksatria.
"Ayah?" Lyra bersuara, kepalanya menoleh ke arah suara langkah kaki tersebut dengan raut cemas.
Valerius tidak menjawab dengan kata-kata. Ia batuk dengan sangat keras, menyemburkan gumpalan darah hitam ke lantai besi. Wajahnya yang dulu agung kini tampak seperti mayat hidup, kulitnya pucat dengan urat-urat biru yang menonjol di pelipis.
"Kaelan..." suara Valerius terdengar parau dan penuh kebencian yang bercampur dengan putus asa. "Kau... kau berani menodai putriku di saat-saat terakhir ras kita?"
"Aku melindunginya, Valerius. Sesuatu yang gagal kau lakukan sejak invasi dimulai," sahut Kaelan dingin. Ia bisa merasakan energi di ruangan itu berubah menjadi sangat tidak stabil.
"Melindunginya?" Valerius tertawa getir, tawanya berubah menjadi erangan kesakitan. "Kau mengikat jiwanya pada jiwa seorang manusia yang dikutuk! Alaric benar... kau adalah racun bagi Benua Langit!"
"Alaric sudah mati di pelabuhan, Valerius. Sadarlah!" bentak Kaelan.
"Dia tidak mati!" teriak salah satu pengawal di belakang Valerius. "Dia telah menyatu dengan kehendak Void, dan dia menuntut haknya atas Putri Lyra!"
Prajurit-prajurit itu mulai menghunus pedang mereka. Para pengungsi Elf yang ketakutan berteriak dan mencoba menjauh, menciptakan kekacauan di dalam ruang kargo yang sempit. Kaelan merasakan energi Ignition-nya bergejolak. Luka di punggungnya kembali terbuka, membasahi kain seragamnya dengan warna merah yang kontras.
"Bara, jaga pengungsi! Mina, amankan Lyra di belakang peti amunisi!" perintah Kaelan.
"Tapi kau tidak bisa bertarung dalam kondisi ini, Kaelan!" Mina mencoba menarik lengan Kaelan.
"Aku tidak punya pilihan," ucap Kaelan tanpa menoleh. Ia menatap lurus ke arah Valerius dan para pengawal yang mulai bergerak maju. "Jika mereka ingin mengambil Lyra, mereka harus melewati tumpukan tulangku lebih dulu."
Kaelan melangkah maju, membiarkan tubuhnya menjadi pagar hidup antara Lyra dan barisan pedang pengawal Valerius. Energi Ignition Tahap 3 miliknya berdesis pelan, menciptakan distorsi udara yang tampak seperti riak air transparan di sekeliling tubuhnya. Meskipun dadanya terasa sesak dan sirkulasi energinya menjerit karena kelelahan, Kaelan tidak memberikan tanda-tanda kelemahan. Rahangnya mengeras, dan tatapannya terkunci pada High Lord yang kini tampak seperti bayangan dari kejayaan masa lalunya.
"Kau bicara tentang noda, Valerius?" suara Kaelan rendah, namun bergema di seluruh ruang kargo yang kini sunyi senyap. "Noda sebenarnya adalah membiarkan putrimu mengorbankan sayap dan keabadiannya demi menyelamatkan rakyat yang kau telantarkan di atas awan. Di mana martabatmu saat dia jatuh berlutut di pilar tertinggi?"
Valerius terbatuk lagi, kali ini noda hitam di sapu tangannya jauh lebih luas. "Dia melakukannya untuk darahnya! Bukan untuk seorang ksatria rendahan sepertimu!"
"Dia melakukannya karena dia manusia, sesuatu yang telah kau lupakan sejak kau memakai mahkota itu," balas Kaelan tajam. Ia merasakan tangan Lyra meraba dan menggenggam ujung seragamnya dari belakang. Genggaman itu gemetar, namun memberi Kaelan kekuatan yang melampaui logika.
Seorang pengawal Alaric yang bermata merah karena pengaruh residu Void berteriak histeris, "Cukup! Bunuh manusia ini! Ambil Putri Lyra untuk Pangeran yang agung!"
Prajurit itu menerjang dengan pedang terhunus. Namun, sebelum ujung logam itu menyentuh aura Kaelan, sebuah hantaman masif terdengar. Bara telah melompat ke depan, menggunakan perisai besarnya untuk menghantam prajurit itu hingga terpental ke dinding besi kapal.
"Siapa pun yang bergerak selangkah lagi, akan aku jadikan bagian dari lantai kapal ini!" geram Bara, matanya menyala dengan kemarahan seorang prajurit Terra yang sudah muak.
"Bara, cukup," Kaelan mengangkat tangan. Ia menatap Valerius yang kini terlihat mulai kehilangan kesadaran sepenuhnya. "Valerius, dengarkan aku. Kita tidak lagi berada di Benua Langit. Di bawah sana hanya ada tanah, debu, dan perjuangan hidup. Jika kau ingin putrimu hidup, kau harus menerima bahwa duniaku adalah dunianya sekarang."
Valerius menatap wajah putrinya yang buta, lalu menatap segel merah keemasan yang masih berpendar di pergelangan tangan Kaelan dan Lyra. Sumpah darah itu telah mengunci nasib mereka; memisahkannya secara paksa hanya akan membunuh keduanya. Kesadaran itu tampak menghancurkan sisa-sisa kesombongan sang High Lord.
"Pergi..." bisik Valerius, suaranya nyaris hilang ditelan deru mesin kapal. "Bawa dia... menjauh dari bayang-bayang Alaric yang memanggil dari kegelapan."
Pelabuhan Harapan yang Gersang
Guncangan kapal perlahan mereda saat Iron Whale mengeluarkan jangkar magnetiknya. Suara desisan uap panas memenuhi ruangan saat pintu kargo samping terbuka, menyingkap pemandangan yang sangat kontras dengan kemilau kristal Solaria. Di depan mereka terbentang Bastion—kota benteng manusia yang dibangun dari baja hitam dan batu kasar, diselimuti oleh kabut debu kristal yang membuat matahari tampak seperti piringan pucat.
Kaelan menggendong Lyra keluar dari kapal. Kakinya menginjak tanah Terra yang keras dan dingin. Di belakangnya, ribuan pengungsi Elf melangkah ragu, menatap dunia bawah dengan ngeri dan jijik. Namun, saat mereka melihat Kaelan berjalan tegak dengan Lyra di dekapannya, suara-suara hinaan itu perlahan lenyap.
Mina berjalan di samping Kaelan, membawa tas medisnya yang kini hampir kosong. "Kita harus segera menemukan tempat isolasi untuknya, Komandan. Udara Terra terlalu keras untuk paru-paru Elf yang baru saja kehilangan mana."
"Gunakan barak di sektor tiga," perintah Kaelan. "Pastikan semua pengungsi mendapatkan jatah air bersih. Jangan biarkan ada gesekan antara rakyatku dan mereka."
Lyra mengeratkan pelukannya pada leher Kaelan, menghirup aroma besi dan tanah yang kini menjadi rumah barunya. "Kaelan... baunya berbeda."
"Ini bau kehidupan, Lyra. Pahit, keras, tapi nyata," jawab Kaelan lembut. Ia menatap ke arah cakrawala, di mana ia tahu bahwa kematian Valerius dan kejatuhan Solaria barulah pembukaan dari babak yang lebih mengerikan.
Di pergelangan tangannya, segel darah itu berdenyut hangat—sebuah jangkar emosi yang mengingatkannya bahwa meski ia kini memimpin ribuan nyawa di atas tanah yang gersang, ia tidak lagi berjuang sebagai budak yang sendirian. Ia adalah seorang Komandan, dan di sampingnya ada seorang wanita yang telah menukar langit demi sebuah janji yang lunas.
"Selamat datang di rumah, Lyra," bisik Kaelan saat mereka melangkah memasuki gerbang Bastion yang berat, meninggalkan bayang-bayang masa kehidupan sebelumnya di Benua Langit yang kini telah sirna ditelan kegelapan Void.