Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Brankas, Bakwan, dan Kebohongan yang Wangi
Malam itu, mansion Gavriel terasa lebih sunyi dari biasanya. Damian harus pergi ke pertemuan mendadak yang ia sebut sebagai "urusan pembersihan aset" sebuah istilah yang menurut Aruna terdengar seperti mencuci piring, padahal ia tahu itu pasti kode untuk sesuatu yang jauh lebih menyeramkan.
Aruna, yang tidak bisa diam, merasa seperti kucing dalam kandang emas. Setelah menghabiskan martabak telur yang ia beli (dan berhasil membuat interior limosin Damian berbau bawang selama tiga jam), ia kini merasa bosan setengah mati.
"Kenapa rumah ini tidak punya Wi-Fi yang bisa dipakai untuk main game online sih?" keluh Aruna sambil berjalan mondar-mandir di koridor lantai dua. "Isinya cuma lukisan orang-orang cemberut yang matanya seolah mengikutiku ke mana-mana."
Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kayu jati besar yang ukirannya sangat rumit. Itu adalah ruang kerja Damian zona terlarang yang sudah diberi label "Jangan Masuk Kecuali Ingin Dipecat dari Kehidupan" oleh Damian.
"Tapi... tadi Damian bilang jangan masuk kalau dia ada di rumah. Sekarang kan dia tidak ada," gumam Aruna, mulai mencari pembenaran untuk rasa penasaran akutnya. "Siapa tahu di dalam ada koleksi komik atau setidaknya camilan rahasia yang tidak dibagikan padaku."
Dengan jantung berdegup kencang seolah sedang ikut lomba lari maraton, Aruna memutar kenop pintu. Ceklek. Tidak dikunci.
Ruangan itu sangat gelap, hanya diterangi cahaya bulan dari jendela besar di belakang meja kerja. Aruna menyalakan lampu senter dari ponselnya. Meja Damian sangat rapi terlalu rapi hingga Aruna merasa berdosa jika menaruh sebutir debu di sana. Namun, perhatiannya teralih pada sebuah lemari besi kecil yang tersembunyi di balik lukisan potret Damian yang sangat narsis.
"Klasik sekali. Orang kaya memang hobi menyembunyikan sesuatu di balik lukisan," Aruna mendekat. Ia melihat deretan angka digital di brankas itu. "Kira-kira apa ya kodenya? Tanggal lahirnya? Tidak mungkin dia se-klasik itu. Tanggal jadian kita? Lah, kan belum jadian."
Iseng, Aruna memasukkan deretan angka yang baru saja ia dengar dari Damian saat pria itu menelepon pengacaranya tadi sore: 0707. Pip. Pip. Pip. klik.
Pintu brankas terbuka. Aruna ternganga.
"Wah, Mas Damian benar-benar harus belajar tentang keamanan siber. Kode begini saja bisa ditembus oleh mahasiswi yang indeks prestasinya pas-pasan seperti aku."
Di dalam brankas tidak ada emas batangan atau berlian sebesar telur puyuh. Hanya ada sebuah map merah tebal bertuliskan "PROJECT MAHEWARI".
Aruna mengerutkan kening. "Maheswari? Itu kan nama keluargaku."
Ia membuka map itu dan mulai membaca dengan teliti. Semakin ia membaca, rasa dingin mulai menjalar dari ujung kakinya hingga ke ubun-ubun. Di sana terdapat bukti-bukti transaksi bukan transaksi hutang biasa, melainkan skenario sabotase. Damian sengaja menyabotase kapal kargo milik ayah Aruna, membatalkan kontrak-kontrak besar secara sepihak melalui perusahaan cangkang, dan sengaja memojokkan perusahaan ayahnya hingga titik nol.
Semua itu dilakukan agar ayah Aruna tidak punya pilihan selain meminjam uang pada Gavriel Group.
"Jadi... ini semua bukan kebetulan?" bisik Aruna. Suaranya bergetar. "Dia bukan menyelamatkan keluargaku. Dia... dia yang menghancurkan kami supaya bisa membeliku?"
Aruna merasa mual. Humor yang biasanya menjadi perisainya mendadak lenyap. Ia merasa bodoh karena sempat terpana oleh wangi parfum dan senyum miring pria itu.
"Menarik sekali, bukan?"
Suara bariton yang dingin itu membuat Aruna menjatuhkan map merah tersebut. Ia berbalik dengan cepat dan menemukan Damian sudah berdiri di ambang pintu. Pria itu masih memakai jas lengkap, namun auranya kini jauh lebih gelap dan mengintimidasi daripada biasanya.
Damian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan bunyi pelan yang terasa seperti dentang lonceng kematian.
"Mas... Mas Damian, ini apa maksudnya?" Aruna menunjuk berkas yang berserakan di lantai, suaranya parau.