Saga, sang CEO dengan aura sedingin es, tersembunyi di balik tembok kekuasaan dan ketidakpedulian. Wajahnya yang tegas dihiasi brewok lebat, sementara rambut panjangnya mencerminkan jiwa yang liar dan tak terkekang.
Di sisi lain, Nirmala, seorang yatim piatu yang berjuang dengan membuka toko bunga di tengah hiruk pikuk kota, memancarkan kehangatan dan kelembutan.
Namun, bukan pencarian cinta yang mempertemukan mereka, melainkan takdir yang penuh misteri.
Akankah takdir merajut jalinan asmara di antara dua dunia yang berbeda ini? Mampukah cinta bersemi dan menetap, atau hanya sekadar singgah dalam perjalanan hidup mereka?
Ikuti kisah mereka yang penuh liku dan kejutan di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beauty and The Beast 20
Sudah hampir enam bulan lamanya kepergian Nirmala menjadi misteri yang tak terpecahkan. Seolah ditelan bumi, tak ada yang tahu di mana rimbanya, bahkan kuburnya. Berbagai cara telah dilakukan Saga demi menemukan sosok Nirmala.
Hari-hari yang dilalui terasa sunyi. Awalnya, ia pikir itu hanyalah kebetulan saja. Ia memutuskan untuk bermalam dengan Isabela, melakukan semua yang pernah mereka lakukan tidur satu ranjang dan menghabiskan malam dengan aktivitas berkeringat.
Namun, tetap saja hati Saga terasa kosong. Amukan dan amarah selalu mendominasi. Setiap orang yang ditemuinya tak luput dari amukan. Lebih baik mereka berputar arah daripada menerima amukannya yang dahsyat, seperti badai yang siap menghancurkan apa saja.
Semua mata-mata yang ia sewa selalu membawa hasil yang sama: gagal. Ia merasa ada sesuatu yang janggal. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia adalah Saga yang hebat, tak pernah kalah.
Tapi mengapa hanya karena seorang Nirmala ia bisa berubah seperti ini? Dari luar ia tampak kuat, namun di dalam ia sangat rapuh, seperti bangunan megah yang fondasinya retak.
Setiap pulang dari kantor, ia selalu menghabiskan waktu dengan menenggak alkohol. Entah sudah berapa banyak botol yang ia habiskan, mencoba menenggelamkan kesedihan dan penyesalannya dalam lautan minuman keras.
Ace sebenarnya merasa kasihan, namun ia hanya ingin memberikan efek jera. Ia tahu bahwa nanti, pada akhirnya, akan ada titik terang dan pelakunya adalah dirinya.
Ace pun siap dengan segala hukuman yang akan ia terima. Ini sudah termasuk membelot karena tidak sejalan dengan atasan. Namun, di sisi lain, Saga juga harus belajar memilih antara keduanya.
*****
"Nirmala, kamu di mana? Pulanglah, aku merindukanmu," ucap Saga sambil sesekali menenggak cairan dari botol. Di lantai sudah berserakan puluhan botol minuman, bukti bisu dari malam-malam sebelumnya yang penuh penyesalan dan kesepian.
Perlahan, Saga meraih foto yang berdiri di meja kerjanya. Foto seorang wanita cantik dengan kaus kebesaran dan celana jeans hitam sobek di bagian lutut, tersenyum tulus. Cantik, sungguh sangat cantik. Siapa pun yang melihat, tentu akan mengatakan bahwa gadis dalam figura itu memancarkan keindahan yang memikat.
"Kamu di mana? Pulanglah, katakan di mana kamu berada? Aku akan menjemputmu, kita akan menikah," gumam Saga, membawa figura itu ke dalam pelukannya, lalu tertidur sambil terus bergumam, meratapi kehilangannya.
Kepala pelayan sangat menyayangkan hal ini, namun ia pun tak bisa berbuat banyak. Ia pun merasa ada hal yang aneh. Biasanya, CCTV akan selalu aktif setiap waktu. Mengapa hanya di bagian balkon milik Nirmala saja CCTV aktif pada waktu itu? Ada misteri yang tersembunyi di balik kepergian Nirmala, sebuah teka-teki yang belum terpecahkan.
****
Pagi harinya, Saga terbangun karena cahaya yang berhasil menembus kaca balkon, menyadarkannya dari mimpi buruk. Ia segera bangkit, berjalan perlahan tertatih, sambil merambat dan meraba tembok, menuntun langkahnya menuju wastafel.
Saga menatap wajahnya di cermin. Sungguh menyedihkan mata yang menghitam, rambut yang bertambah panjang, brengos yang sudah tak beraturan. Ia segera membasuh wajahnya dan menyikat giginya. Tak butuh waktu lama, Saga pun sudah siap dengan pakaian kerja.
Ia keluar dari kamar, melewati kamar yang dulu menjadi milik Nirmala. Tangannya terulur untuk membuka pintunya. Ia ragu, namun tetap membuka pintu kamar Nirmala. Ia berharap Nirmala sudah berada di kamarnya, membaca buku sambil terlungkup seperti yang biasa ia lakukan.
Kosong. Tak ada siapa pun. Semuanya masih rapi. Saga melangkah masuk, menelisik sudut demi sudut. Ia menemukan empat kartu hitam yang ia berikan pada Nirmala tergeletak di atas meja, bagai duri yang menusuk hatinya.
Ia mengambil kartu itu. "Kalau kartu ini kamu tinggalkan, bagaimana kamu hidup di luar sana?" gumam Saga. Awalnya, Saga mengira jika Nirmala masih membawa kartu miliknya, maka dengan mudah ia akan mencari Nirmala karena akan ada laporan keluar uang. Tapi Saga salah besar.
Maka dari itu, ia tidak pernah bisa menemukan Nirmala, karena Nirmala lebih memilih kebebasan daripada kemewahan yang ia tawarkan.
Saga segera berlari menuruni tangga. Sesampainya di meja makan, langkahnya kembali tertahan. Di sana, ia melihat bayang-bayang Nirmala yang tengah sibuk menata masakan yang ia masak setiap pagi, aroma masakan itu seolah menusuk hidungnya, membangkitkan kenangan yang menyakitkan.
Ia juga melihat bayangan saat ia dan Nirmala makan bersama, Nirmala yang dengan telaten mengisi piringnya dengan menu yang setiap hari selalu bergonta-ganti, menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang tulus. Secangkir kopi hitam yang selalu Nirmala buatkan untuknya saat pagi, sebelum berangkat bekerja, saat pulang dari bekerja, juga saat ia lembur. Kopi itu bukan hanya minuman, tapi juga simbol cinta dan dukungan Nirmala.
Saga menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan itu. Ia melangkah keluar dari mansion, meninggalkan kenangan yang menghantuinya.
****
Di ruangan milik Saga, sudah berkumpul Ace dan mata-mata yang disewa oleh Saga. Akhirnya, ia menemukan titik terang dalam pencarian Nirmala.
Devan melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia melirik ke arah Ace, lalu menyerahkan map berisi bukti-bukti penyelidikannya selama seminggu ini.
"Maafkan aku, Ace," ucap Devan lirih. Ia dan Ace adalah teman seperjuangan. Maka dari itu, saat mengetahui bahwa dalang di balik semua ini adalah Ace, ia meminta maaf terlebih dahulu karena ini juga adalah pekerjaannya.
Saga mengambil map yang diletakkan oleh Devan. Lembar demi lembar ia buka dan ia baca. Saat ia menemukan foto seorang pria yang amat ia kenali duduk berhadapan dengan wanita yang selama ini ia cari, di waktu yang sama saat dirinya bertabrakan dengan Alexa, anak bungsu keluarga Maxim, amarahnya memuncak.
Pandangan Saga langsung mengarah pada Ace, tajam seperti pedang yang menghunus. Ace tahu arti pandangan itu. "Ke mansion sekarang," titah Saga, yang diangguki oleh Ace.
Keduanya pergi tanpa sepatah kata. Ace di depan mengendarai mobilnya sendiri, begitu juga dengan Saga. Map masih digenggam erat oleh Saga. Amarah, geram, dan heran merayap dalam dada Saga. Tangannya gemetar, namun tetap ia paksa untuk mengemudi.
Begitu juga dengan Ace, pikirannya sudah kalut. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Jagakan dia untukku. Pastikan dia aman," ucap Ace, langsung memutuskan panggilan. Ia tahu, badai akan segera datang.
Sesampainya di halaman mansion, Saga dan Ace berdiri berhadapan, dikelilingi oleh anak buah Saga. Semua yang ada di sana terheran-heran. Ada apa dengan bos dan tangan kanannya? Mengapa aura di sekitar mereka menjadi dingin dan mencekam, bahkan terasa seperti mencekik?
"Apa motifmu, Asher!" tanya Saga, dengan amarah yang sekuat tenaga ia tahan.
"Tidakkah kamu berpikir sebelum bertindak? Apakah kamu sudah benar dalam memilih dan membuat keputusan?" jawab Ace, penuh teka-teki.
Kening Saga berkerut. Sejenak ia bingung, namun akhirnya ia tahu ke mana arah pembicaraan Ace. "Kamu tahu pasti aku merasa kehilangan. Aku sudah menyewa beberapa mata-mata untuk mencarinya. Apakah itu masih kurang sebagai hukuman untukku?" Saga menjeda ucapannya, menarik napas dalam-dalam. Air matanya meleleh. "Aku tahu aku bodoh, Ace. Aku masih terjebak dalam permainan yang dibuat oleh Isabela. Ya, aku masih mencintai Isabela, tapi aku juga mulai mencintai Nirmala. Aku hanya ingin menyakinkan hatiku, ke mana aku harus memilih," lanjut Saga, dengan suara bergetar.
"Tapi tidak seperti itu caranya. Kamu salah, memanfaatkan keduanya. Di satu sisi, kamu meminta Nirmala menetap di sisimu, tapi di malam itu pula kamu bercumbu dengan Isabela," Ace menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sinis. "Kamu terlalu naif, Saga!" teriak Ace, dengan nada mengejek.
Saga dengan cepat menarik pelatuknya dan mengarahkan moncong pistolnya ke arah Ace.
Dor....
"Kakak... akh..." teriak seorang wanita yang menjadikan tubuhnya sebagai pelindung Ace dari peluru pistol Saga. Darah segar membasahi tubuhnya, mewarnai halaman mansion dengan noda merah yang mengerikan.