Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laporan Status
Ren bersandar di pintu depan rumahnya yang tertutup, masih bisa mendengar gema langkah kaki Marika yang berlari menjauh di jalanan yang sepi. Tubuhnya terasa berat karena demam, tapi kepalanya terasa ringan, hampir melayang.
Dia menatap kotak bekal di tangannya. Benda itu persegi, dibungkus kain furoshiki (kain pembungkus) sederhana berwarna biru laut. Terasa hangat di telapak tangannya yang dingin.
Ibuku yang membuat...
Ren mendengus pelan, yang berubah menjadi batuk. Alasan yang payah. Tsukishima Marika, si Ratu Logika, ternyata adalah pembohong yang payah jika sudah menyangkut perasaannya.
Dia membawa kotak itu ke meja makan yang sepi. Perlahan, dia membuka ikatan kainnya. Di dalamnya ada kotak bekal dua tingkat sederhana. Tingkat atas berisi okayu (bubur) putih yang masih mengepul, ditata dengan sangat... kaku.
Potongan jahe diletakkan di sudut kiri atas. Irisan telur rebus di sudut kanan atas. Daun bawang ditaburkan di tengah, tapi dalam barisan yang terlalu lurus. Ini jelas bukan karya seorang ibu yang memasak dengan santai. Ini adalah karya seseorang yang memasak sambil membaca buku manual "Cara Membuat Bubur Secara Efisien".
Ren tersenyum. Dia mengambil sendok.
Dia menyendok sesuap bubur ke mulutnya. Rasanya... hambar.
Sangat hambar. Sepertinya Marika lupa—atau tidak tahu—bahwa bubur butuh garam, atau setidaknya kaldu. Tapi di balik kehambaran itu, ada rasa hangat yang menjalar langsung ke perutnya. Kehangatan yang tidak ada hubungannya dengan suhu.
Lalu dia mencoba sepotong telur. Terlalu matang. Kuning telurnya sudah berubah abu-abu di pinggirnya.
Ren tertawa kecil. Dia memakan semuanya. Setiap suap bubur yang hambar dan setiap potongan telur yang terlalu matang. Itu adalah sarapan paling aneh dan paling enak yang pernah ia makan seumur hidupnya.
Setelah piringnya bersih—benar-benar bersih—dia merasa jauh lebih baik. Demamnya belum hilang, tapi rasa dingin di tulangnya sudah sedikit mereda.
"Baiklah," gumam Ren. "Saatnya melapor."
Dia mengambil ponselnya, membuka LINE, dan menatap obrolan mereka.
[Tsukishima Marika]: Status? (07.15) [SatoRenjiro77]: Masih hidup. Demamnya sedikit turun. Maaf\, ketiduran. (10.31) [Tsukishima Marika]: Hmph. Baguslah. Tetap kompres. Laporan lagi nanti siang. (10.32)
Ren mengetik pesan baru, jarinya terasa agak kaku.
[SatoRenjiro77]: Laporan Status Aset (Pembaruan): Pengisian bahan bakar selesai.
Dia menekan kirim.
Satu detik. Dua detik. Read.
Ren menahan napas. Dia bisa membayangkan Marika di kelas—mungkin sedang pelajaran Sejarah yang membosankan—melotot ke ponselnya, mencoba memahami pesannya.
Tsukishima Marika sedang mengetik...
Notifikasi itu muncul, lalu hilang. Muncul lagi. Hilang lagi.
Ren tersenyum. Dia membuatnya panik.
Akhirnya, balasan datang.
[Tsukishima Marika]: Apa maksudmu 'bahan bakar'? Bicara yang jelas. Efisiensi komunikasi\, Sato-kun!
Ren terkekeh.
[SatoRenjiro77]: Buburnya. Sudah habis. Enak.
Read.
Kali ini, tidak ada jeda. Balasan datang seketika, seolah ditembakkan dari meriam.
[Tsukishima Marika]: SUDAH KUBILANG ITU BUATAN IBUKU! JANGAN SALAH PAHAM!
[SatoRenjiro77]: Aku tidak bilang apa-apa. Aku cuma bilang enak.
[SatoRenjiro77]: Tapi bilang ke ibumu\, lain kali mungkin bisa ditambah sedikit garam.
Read.
Ren menunggu. Ini adalah bagian yang berbahaya. Dia mungkin sudah keterlaluan. Dia baru saja mengkritik masakan si Ketua Kelas.
Sepuluh detik hening. Tiga puluh detik.
Tsukishima Marika sedang mengetik...
Ren mempersiapkan diri untuk omelan penuh huruf kapital tentang betapa tidak bersyukurnya dia.
[Tsukishima Marika]: ...Hmph. Akan kusampaikan. Sekarang istirahat. Berhenti main ponsel. Itu tidak membantu pemulihanmu.
[SatoRenjiro77]: Siap\, Ketua.
[Tsukishima Marika]: DAN JANGAN PANGGIL AKU KETUA DI LUAR SEKOLAH!
Ren tertawa, lalu batuk lagi. Dia meletakkan ponselnya. Perasaannya jauh lebih ringan.
Ren menghabiskan sisa hari itu dengan tidur, minum obat, dan menatap langit-langit kamarnya. Demamnya perlahan turun, tapi pikirannya berkecamuk.
Di satu sisi, ada kehangatan dari interaksi paginya. Marika yang galak, kaku, dan tsundere, ternyata rela bangun pagi-pagi, memasak (dengan buruk), dan mengantarkan bubur ke rumah "aset"-nya yang sakit. Itu... manis. Sangat manis.
Di sisi lain, ada kegelapan dari "panggilan telepon" semalam.
"Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan dia sendirian malam itu." "Penyesalan terbesarku."
Peringatan Marika dewasa terasa berat di dadanya. Festival budaya tinggal satu hari lagi. Besok adalah hari H. Malam festival... apa yang akan terjadi?
Dia teringat Marika (17) yang marah-marah di depan rumahnya tadi. Dia terlihat kuat, tapi Ren tahu sekarang, berkat buku sketsa dan bubur yang hambar itu, bahwa di baliknya ada kerapuhan yang luar biasa.
"Aku tidak akan membiarkannya pergi," bisik Ren pada dirinya sendiri di kamar yang sepi.
Dia mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia mungkin tidak punya panduan lagi dari masa depan. Tapi satu hal yang pasti: Dia tidak akan mengulangi "penyesalan terbesar" Marika dewasa.
Dia harus ada di sana.
Keesokan paginya. Hari H Festival Budaya.
Ren terbangun pukul 5 pagi, bahkan sebelum alarmnya berbunyi. Demamnya sudah turun drastis, hanya menyisakan rasa pusing dan badan yang sedikit pegal. Itu sudah cukup baik.
Dia mandi, memakai seragamnya, dan menelan obat dosis terakhir. Dia mengambil MP3 player-nya, ragu-ragu. Dia memasang earphone.
"Marika-san?" bisiknya.
Hanya statis.
Ren menghela napas. Dia sudah menduganya. Dia sendirian dalam hal ini.
Dia tiba di sekolah pukul 07.30. Suasananya sudah seperti medan perang. Gerbang sekolah dipenuhi spanduk warna-warni. Siswa dari berbagai klub berlarian membawa properti, berteriak satu sama lain. Udara dipenuhi aroma takoyaki yang dipanggang (Klub Bisbol) dan kecemasan.
Ren berjalan lurus melewati kekacauan itu menuju markasnya: Ruang OSIS.
Dia membuka pintu.
Ruangan itu... berantakan. Berantakan dalam standar Marika. Ada tumpukan kertas di mana-mana, kotak P3K terbuka di atas meja, dan tiga gelas kopi instan yang sudah kosong.
Dan di tengah-tengah semua itu, Tsukishima Marika berdiri di depan papan tulis jadwal master. Dia tidak menyadari Ren masuk. Rambut kuncir kudanya sedikit miring. Ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya. Dia jelas tidak tidur nyenyak.
"Tidak, tidak, tidak..." gumam Marika pada dirinya sendiri, menatap papan tulis. "Kalau Klub Paduan Suara telat 5 menit, mereka akan bentrok dengan Klub Drama. Yamada bodoh itu pasti salah meletakkan speaker-nya..."
Dia terlihat sangat stres. Dia memikul beban ini sendirian kemarin.
"Mungkin," sebuah suara serak berkata dari pintu. "Kita bisa pindahkan speaker Klub Drama ke sisi kiri panggung. Akustiknya lebih baik di sana, dan tidak akan menghalangi jalur masuk paduan suara."
Marika membeku. Dia tidak perlu menoleh. Dia tahu suara itu.
Perlahan, dia berbalik. Matanya melebar saat melihat Ren berdiri di ambang pintu, masih terlihat sedikit pucat tapi tegap.
Reaksi pertama Marika bukanlah lega. Itu adalah kemarahan murni seorang tsundere.
"SATO-KUN!" teriaknya, suaranya menggema di ruang OSIS yang kecil. "APA YANG KAMU LAKUKAN DI SINI?! KUBILANG ISTIRAHAT! LAPORAN STATUS ASET-MU JELAS-JELAS BELUM MENUNJUKKAN PEMULIHAN 100%! KAMU INI IDIOT ATAU APA?!"
Dia melangkah maju, siap menyeret Ren keluar dari sekolah sendirian jika perlu.
Ren hanya berdiri di sana, menerima omelannya. Dia tidak mundur.
Saat Marika sudah berdiri tepat di depannya, melotot dengan mata berkaca-kaca (entah karena marah atau lelah), Ren hanya tersenyum tipis.
"Lapor, Ketua," katanya pelan. "Aset... sudah kembali bekerja."