Arya Satria (30), seorang pecundang yang hidup dalam penyesalan, mendapati dirinya didorong jatuh dari atap oleh anggota sindikat kriminal brutal bernama Naga Hitam (NH). Saat kematian di depan mata, ia justru "melompat waktu" kembali ke tubuh remajanya, 12 tahun yang lalu. Arya kembali ke titik waktu genting: enam bulan sebelum Maya, cinta pertamanya, tewas dalam insiden kebakaran yang ternyata adalah pembunuhan terencana NH. Demi mengubah takdir tragis itu, Arya harus berjuang sebagai Reinkarnasi Berandalan. Ia harus menggunakan pengetahuan dewasanya untuk naik ke puncak geng SMA lokal, Garis Depan, menghadapi pertarungan brutal, pengkhianatan dari dalam, dan memutus rantai kekuasaan Naga Hitam di masa lalu. Ini adalah kesempatan kedua Arya. Mampukah ia, sang pengecut di masa depan, menjadi pahlawan di masa lalu, dan menyelamatkan Maya sebelum detik terakhirnya tiba?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon andremnm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1. pengecut dan simbol naga...
Pukul tiga sore. Sinar matahari di luar gudang tempatnya bekerja memancarkan cahaya oranye kusam, terhalang oleh lapisan tebal debu yang tak pernah hilang di kaca jendela kotor. Di dalam, udara lembap dan dingin bercampur bau apek kardus serta oli mesin yang menusuk hidung. Arya Satria, dalam balutan kaus oblong kusam dan celana jeans yang sudah pudar, menyandarkan punggungnya ke tumpukan karung goni berisi suku cadang bekas. Ia adalah manajer gudang, sebuah jabatan yang terdengar penting di atas kertas, tetapi yang sebenarnya hanyalah penjaga kuburan bagi ambisi-ambisi orang lain dan dirinya sendiri.
Usia tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun yang terasa seperti tiga abad yang membusuk. Sejak kematian Maya, dua belas tahun lalu, label pecundang itu seolah-olah dicetak dengan besi panas di dahinya, menjadi identitas yang tak terhapuskan. Setiap hari adalah siklus yang sama: datang, menghitung, menyusun, pulang. Tanpa tujuan. Tanpa arti. Hidupnya adalah antitesis dari impian liar yang pernah ia miliki di masa remajanya, saat ia dan Maya duduk di bangku sekolah, merencanakan masa depan yang cerah di bawah langit yang sama.
"Maya..." gumamnya lagi. Nama itu adalah pengkhianatan terbesarnya. Ia telah berjanji akan selalu melindungi gadis itu, tetapi pada malam api itu, ia adalah orang pertama yang melarikan diri. Pengecut. Ironi pahit, mengingat Maya selalu melihatnya sebagai pahlawan.
"Arya! Kau mau dibayar untuk melamun?!" suara serak Pak Jaya, manajer gudang yang lebih tua dan galak, menggelegar dari ujung lorong. Pria itu bertubuh gempal, keringat membanjiri kausnya yang dekil.
Arya segera menegakkan diri, menyingkirkan bayangan Maya dari kepalanya. "Belum, Pak. Saya sedang mengecek konsolidasi pengiriman Blok D."
"Omong kosong! Kau hanya menyandarkan pantatmu! Cepat selesaikan tumpukan arsip lama di gudang belakang itu! Sampah-sampah itu harus dibuang sebelum audit datang. Aku tak mau ada barang usang yang memberatkan inventaris!" perintah Pak Jaya, meludah di lantai semen yang retak. "Ingat, gajimu dibayar untuk bekerja, bukan meratapi nasib."
Kata-kata 'meratapi nasib' menusuk Arya. Itu adalah ringkasan yang sempurna. Ia mengangguk kaku, mengambil gerobak dorong tua, dan berjalan ke area belakang yang lebih gelap dan dingin. Area ini adalah labirin rak-rak besi tua yang menjulang tinggi, berisi barang-barang yang terlupakan dan tidak berharga.
Tumpukan arsip yang dimaksud Pak Jaya berada di sudut yang paling terpencil, di bawah lampu neon yang berkedip-kedip seolah menari di atas kuburan ambisi. Kardus-kardus itu berwarna cokelat kusam, berjamur, dan penuh sarang laba-laba. Arya mengeluarkan sarung tangan kerjanya yang compang-camping dan mulai memindahkan tumpukan kardus satu per satu ke atas gerobak.
Srak!
Saat tangannya menyentuh kardus paling atas—yang terikat tali rafia yang hampir putus—Arya merasakan ada sesuatu yang tipis dan kaku terselip di sela-sela lipatan kardus. Ia menariknya keluar. Itu adalah selembar kertas foto buram, terasa tua dan dingin di tangannya.
Arya Satria membeku di tempatnya.
Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul tulang rusuknya dengan irama liar yang tak pernah ia rasakan sejak malam kebakaran.
Itu adalah Maya.
Foto itu pasti diambil saat mereka SMA. Wajahnya yang ceria, senyum lebar yang selalu bisa meredakan badai di jiwa Arya. Rambut panjangnya yang terurai, diterpa angin. Di latar belakang, terlihat pagar besi berkarat yang Arya kenali—pinggiran gudang lama tempat mereka biasa bolos dan menghabiskan waktu, sebelum semua berubah menjadi abu.
Rasa bersalah menelan Arya hidup-hidup. Bagaimana foto ini bisa ada di sini? Di antara tumpukan arsip gudang yang seharusnya tidak ada hubungannya dengan masa lalunya? Arya membalik foto itu, berniat menyelamatkannya, menyimpannya sebagai penyesalan pribadinya.
Namun, yang tertulis di baliknya bukanlah puisi cinta remaja, melainkan sebuah simbol yang menggigit kesadarannya seperti sengatan listrik.
Dengan tinta merah yang samar, yang tampak seperti darah kering, sebuah simbol dilukis kasar: seekor naga hitam yang melilit pedang katana. Simbol itu terlihat seperti coretan tergesa-gesa, namun kekuatannya memancarkan ancaman yang nyata.
Di bawah simbol itu, ditulis tangan dengan huruf kapital yang tergesa-gesa: "Gudang Tua K-7."
Naga Hitam. Nama itu menghantam kesadaran Arya seperti tinju. Itu bukan sekadar rumor masa SMA. Itu adalah nama yang sering dibisikkan di antara preman jalanan di Kota Cakra Manggala, sebuah sindikat kriminal yang kabarnya mengendalikan perdagangan gelap, narkoba, dan premanisme.
Arya ingat betul. Beberapa bulan setelah kematian Maya, ia pernah mendengar bisikan samar bahwa kebakaran gudang itu bukan kecelakaan, melainkan "pembersihan" yang diatur oleh kelompok kriminal. Ia selalu menganggapnya sebagai teori konspirasi yang ia ciptakan sendiri untuk mengurangi rasa bersalahnya.
Tapi gambar ini... simbol ini... Alamat ini...
"Mereka berbohong..." bisik Arya, suaranya tercekat dan bergetar, tetapi penuh kemarahan. Ia mengingat laporan polisi yang dingin dan kaku: kecelakaan tragis akibat korsleting listrik.
Naga Hitam. Gudang Tua K-7. Foto Maya.
Koneksi itu bagaikan kunci yang membuka sel penjara amarahnya.
"Maya... kau dibunuh?" Pertanyaan itu terasa seperti pecahan kaca di tenggorokannya.
Ia menatap foto itu lagi. Kenangan brutal menyeruak: malam kebakaran dua belas tahun lalu. Api yang menjilat langit malam, suara sirine yang memekakkan telinga, dan bau asap yang menyesakkan. Ia ingat teriakannya sendiri, teriakan pengecut yang melarikan diri, alih-alih mencoba masuk kembali ke dalam gudang yang terbakar untuk menyelamatkan Maya. Ketakutan itu. Ketidakberdayaan itu. Rasa mual yang selalu ia rasakan setiap kali mengingatnya.
Tapi kini, selembar foto usang ini membongkar semua kebohongan itu. Ini bukan kecelakaan. Ini adalah eksekusi yang direncanakan, dan ia, Arya, telah meninggalkan korbannya pada malam itu.
Tangannya mencengkeram foto itu erat-erat hingga kertas itu hampir sobek. Rasa takut yang selama ini melumpuhkannya tiba-tiba terasa tak berarti dibandingkan dengan ledakan kebenaran ini.
"Tidak. Kali ini, tidak," katanya, suaranya rendah dan penuh tekad yang dingin. Ia tidak akan membiarkan Maya mati sia-sia dan namanya dicemari kebohongan. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi hantu masa lalu yang paling kelam. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi Naga Hitam sendirian.
Arya meremas kunci motor bututnya di saku. Gudang Tua K-7. Ia harus pergi ke sana. Sekarang. Ia harus tahu siapa yang harus ia benci.
Jalanan menuju Gudang Tua K-7 diselimuti malam yang sepi dan dingin. Arya memacu motor bututnya, mata sipitnya dipenuhi fokus yang tajam. Dia bukan lagi pria yang melarikan diri.
Arya akhirnya tiba. Gudang Tua K-7 tampak seperti kuburan yang berlumut, gerbang besinya berkarat dan menganga. Bau lembap dan busuk menyambutnya. Arya menyelinap masuk melalui celah gerbang yang rusak.
Kegelapan di dalam gudang hampir absolut. Hanya cahaya bulan yang menyusup melalui lubang atap yang memberi penerangan minim. Arya melihat bayangan: tumpukan palet, mesin tua, dan yang paling menonjol—coretan-coretan di dinding. Simbol Naga Hitam terlukis di mana-mana.
Kreek!
Suara derit sepatu menghentikan langkah Arya. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia menolaknya.
"Kau datang juga, pecundang," suara serak dan berat menggelegar dari bayangan.
Dua siluet besar melangkah maju. Jaket kulit hitam tebal dengan logo 'NH' di punggung mereka. Pria di depan, bertubuh besar dengan kepala plontos dan bekas luka melintang di alis kirinya, tersenyum sinis.
Pria Plontos: "Aku tahu kau. Arya Satria. Pengagum gadis kecil itu. Kau benar-benar bodoh datang ke sini."
Arya mencengkeram tinjunya. "Kalian Naga Hitam. Kalian yang membunuh Maya!"
Pria Plontos: (Tertawa keras, serak seperti geraman) "Membunuh? Itu istilah yang kasar. Kami hanya membersihkan kekacauan, dan si gadis kecil itu kebetulan ada di gudang Ayahnya saat terjadi insiden. Kerusakan sampingan yang manis."
Wajah Arya menegang. "Ayahnya? Jadi ini bukan kecelakaan karena korsleting?"
Pria Plontos: "Tentu saja tidak. Itu sandiwara yang bagus, kan? Sayang, kau yang paling tahu sandiwara. Kau lari malam itu, meninggalkan dia di dalam api. Pengecut."
Kata 'pengecut' itu menghantam Arya lebih keras daripada tinju. Itu adalah label yang ia bawa mati-matian, dan kini para pembunuh Maya mengkonfirmasinya, bahkan mengejeknya.
Arya maju selangkah. "Aku tidak peduli apa pun yang kalian inginkan, atau kenapa kalian melakukan ini. Kalian tidak akan lolos."
Pria Plontos: "Oh, kami akan lolos. Sama seperti kami lolos dua belas tahun lalu. Dan kau? Kau akan menjadi bunuh diri tragis. Sebuah akhiran yang cocok untuk pengecut yang tak bisa melindungi siapa pun."
Amukan Arya tak terbendung lagi. Ia meledak.
Arya: "Tutup mulutmu!"
Arya melemparkan dirinya maju. Itu adalah tindakan bunuh diri. Pukulan-pukulannya hanya melayang di udara atau memantul dari tubuh kekar anggota Naga Hitam.
Pergulatan itu singkat dan brutal. Arya merasakan sakit menusuk saat sebuah tinju keras menghantam perutnya, membuatnya tersentak. Ia diseret, kakinya tersandung puing-puing, menuju tangga darurat yang berkarat.
Pria Plontos: "Angkat dia! Kita berikan dia pemandangan yang bagus untuk detik-detik terakhirnya."
Mereka menyeret Arya menanjak ke atap gudang.
Angin malam di atap gudang mencambuk wajah Arya. Lampu-lampu kota di bawah tampak jauh dan dingin.
Anggota Naga Hitam itu mencengkeram lengannya kuat-kuat, menyeretnya ke tepi atap yang licin.
Pria Plontos: "Lihat, Arya Satria. Kota yang acuh tak acuh. Dan kau, di atas tempat penyesalanmu. Mati sendirian, tak berdaya, sama seperti dulu."
Kata-kata itu, "mati sendirian, tak berdaya," adalah paku terakhir yang menancap di peti mati penyesalannya.
Arya: "Aku... tidak akan... membiarkanmu... menang!"
Arya meronta, menggunakan sisa tenaga terakhirnya. Ia mencengkeram lengan anggota Naga Hitam yang paling dekat.
Dorongan keras.
Rasa sakit menusuk tulang rusuknya. Arya merasakan dirinya melayang di udara. Detik-detik itu terasa seperti keabadian.
Aku belum menyelamatkanmu, Maya. Aku tidak bisa mati sebagai pecundang lagi. Aku ingin kembali. Aku ingin mengubahnya!
Keinginan itu, untuk mengubah masa lalu, membanjiri setiap selnya, menjadi mantra terakhirnya sebelum kegelapan menelannya.
Sensasi jatuh itu berubah. Bukan lagi gravitasi. Melainkan distorsi. Kilatan cahaya putih yang menyakitkan. Suara hiss yang tinggi. Dinding-dinding realitas bergetar.
BUGH!
Suara benturan tumpul. Bukan aspal keras.
Arya membuka mata. Ia mencium aroma debu papan tulis. Ia mendengar tawa riang.
Seorang gadis dengan rambut panjang membungkuk di atasnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
Maya: "Arya! Astaga, kamu tersandung meja dan jatuh. Kamu tidak apa-apa?"
Arya melihat tangannya—kecil, mulus, berbalut seragam SMA. Ia melihat kalender di dinding: September 2013.
Ia telah kembali.
Ia menatap Maya. Senyum kecil yang dingin muncul di bibirnya.
Arya: "Aku tidak apa-apa, Maya."
Arya: Aku tidak jatuh, aku dikirim kembali. Aku tidak akan lari lagi. Kali ini, aku akan menyelamatkanmu.