Beauty And The Beast
Pagi yang cerah, sinar matahari hangat membangkitkan semangat untuk menjalani hari.
"Egh..." Nirmala menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhnya setelah keluar dari toko bunga miliknya. "Ehm..." Ia menarik napas panjang, menikmati segarnya udara pagi.
Nirmala Astrid Jovanka, seorang wanita cantik, ramah, dan berhati lembut, memulai usahanya dengan membuka toko bunga.
Ia adalah seorang yatim piatu yang tak pernah mengenal wajah kedua orang tuanya. Desas-desus mengatakan bahwa ia adalah anak haram yang dibuang di tempat sampah oleh orang tuanya sendiri.
Namun, takdir mempertemukannya dengan sepasang suami istri yang sudah lama mendambakan seorang anak. Mereka bukanlah orang kaya, tetapi cukup mampu memenuhi kebutuhan hidup Ratna dan Seno.
Lagi-lagi takdir mempermainkan perasaannya. Ratna, sang ibu angkat, meninggal karena sakit. Dua bulan kemudian, Seno, sang ayah angkat, menyusul karena terjatuh dari pohon saat memotong dahan dalam kegiatan kerja bakti.
Di tempat lain...
Brakkkk!
Seorang pria berbrewok dengan rambut panjang tergerai membanting sebuah map ke atas meja.
"Hasil sampah! Keluar!"
Satu per satu karyawan keluar dari ruangan CEO mereka dengan wajah pucat pasi, seolah baru melihat hantu.
Saga memijat pelan pangkal hidungnya. "Ace," panggil Saga pada asistennya. Pintu terbuka, menampakkan sosok pria yang tak kalah tampan dari sang CEO.
"Ya, Tuan," ucap Ace sambil membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat. "Siapkan mobil. Tenaga saya sudah habis untuk hari ini," ucap Saga, yang diangguki oleh Ace. Perlahan, siluet tubuh Ace menghilang di balik pintu.
Saga meminta setiap staf membuat laporan di bidang mereka masing-masing. Alih-alih mendapat laporan profesional dan berbobot, ia justru menerima laporan yang berantakan.
Seperti anak sekolah dasar yang baru belajar menulis, ejaannya kacau balau!
Saat jam makan siang, jalanan padat merayap. Sebagian orang memilih makan di luar kantor, sementara yang lain memenuhi kantin, membuat perjalanan terasa membosankan bagai mengarungi lautan manusia.
Saga memejamkan mata sejenak, mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk yang menyesakkan.
Mobil Daihatsu Terios silver tiba di halaman mansion mewah milik Tuan Saga Theodore Griffith, seorang pria muda dengan wajah angkuh, namun justru memancarkan aura yang membuat semua orang tunduk.
Para penjaga sudah berbaris rapi, membungkukkan tubuh saat Saga berjalan cepat. Ia memasuki ruang tamu yang didesain dengan warna keemasan, memancarkan kemewahan seorang Saga.
Baru saja ia menapaki dua anak tangga, suara cempreng memecah keheningan. "Heh... Anak kurang ajar! Main masuk saja, kamu tidak tahu Oma di sini? Atau kamu sudah menganggap aku tidak ada, hah?!" ucap Nyonya Griffith sambil berkacak pinggang, baru sehari ia disini tapi Sang cucu sudah membuat dirinya naik darah.
Saga tertegun sejenak, lalu menepuk pelan keningnya. Ia berputar arah menuju sang Oma dengan senyum bersalah, lalu mengecup singkat pipi Nyonya Griffith.
"Oma mau belanja apa?" tawar Saga.
Mata Nyonya Griffith berbinar nakal. Sebuah ide jahil terlintas di benaknya untuk mengerjai sang cucu yang kurang ajar. "Oma ingin cucu menantu. Apa kamu bisa memberikannya sebelum Oma menutup mata?" ucap Nyonya Griffith, menyiratkan tuntutan yang tak terduga.
Saga menggaruk keningnya, tanda kebingungan. "Oma tidak mau tas branded? Sepatu branded?" tawar Saga, mencoba mengalihkan perhatian dengan iming-iming kemewahan.
Nyonya Griffith mencebik, menunjukkan ketidakpeduliannya. Saga menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri. "Oke, Oma mau aku berbuat apa?"
"Besok, ikut kencan buta yang Oma buat. Tidak ada penolakan!"
Saga dengan enggan mengangguk dan tersenyum dipaksakan. Ia hanya ingin perdebatan ini segera berakhir, agar ia bisa segera merebahkan diri di tempat tidur.
Saga berendam di bathtub yang penuh busa sabun dan aroma menenangkan, membiarkan ketegangan hari larut dalam air hangat. Setelah merasa cukup, ia membilas tubuhnya di bawah guyuran air hangat yang memanjakan.
Ia merebahkan tubuhnya di ranjang king size miliknya, masih berbalut handuk kimononya. Permintaan sang Oma terus berputar-putar dalam benaknya, bagai melodi yang tak kunjung padam, mengusik ketenangannya.
Saga menjadi yatim piatu setelah kepergian kedua orang tuanya yang tragis. Mobil yang mereka tumpangi saat hendak berlibur disabotase, kabel remnya sengaja dipotong. Sang Ibu mendorongnya keluar dari mobil sesaat sebelum kendaraan itu kehilangan kendali sepenuhnya.
Namun, nasib berkata lain. Keduanya tidak tertolong saat mobil menabrak pembatas jalan dan langsung dilalap api. Saga, yang kala itu baru berusia sepuluh tahun, hanya bisa menangisi kepergian orang tuanya. Kini, hanya Oma satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Malam hari, di restoran termewah Saga sudah menolak beberapa wanita yang menjadi kencan buta nya, "Ayo pulang," ajak Saga pada Ace sembari bangkit dari kursinya, meninggalkan beberapa wanita yang sudah ada janji temu dengan dirinya.
dor... dor... dor...
Tiba-tiba, serentetan tembakan memecah keheningan malam. Kaca mobil pecah berantakan, serpihannya menghujani mereka berdua.
"Brengsek!" umpat Ace, refleks membanting setir ke kanan, menghindari mobil di samping mereka yang mulai merapatkan barisan.
Saga dengan tenang meraih tuas di bawah kursinya. Kompartemen rahasia terbuka, memperlihatkan koleksi senjata api yang mematikan. Matanya yang tajam memilih pistol Heckler & Koch P30L dengan peredam. "Mereka sudah lama mengincar kita," desis Saga, suaranya dingin seperti es.
Ace menginjak pedal gas dalam-dalam, mobil melaju kencang di jalanan yang sepi. Ia melirik kaca spion, melihat dua mobil hitam mengejar mereka dengan brutal. "Kita tidak bisa lari dari mereka, Saga. Mereka terlalu cepat."
"Kita tidak akan lari," jawab Saga, memasang magasin ke pistolnya. "Kita akan bertarung."
Ace membalas tembakan dengan pistol Glock 19 miliknya, sambil terus mengendalikan mobil dengan satu tangan. Peluru-peluru mereka menghantam mobil pengejar, membuat percikan api dan suara logam beradu. Namun, mobil-mobil itu tetap mendekat, semakin rapat.
Nirmala, yang baru saja pulang dengan sebungkus besar keripik singkong dan minuman dingin di tangannya, terlonjak kaget saat rentetan tembakan memekakkan telinga membelah kesunyian malam.
Suara desingan peluru dan raungan mesin mobil yang terguling membuat jantungnya berdebar kencang. Tanpa ragu, ia mematikan mesin motor Ninjanya, memarkirkannya di balik semak belukar yang rimbun, dan menyelinap perlahan mendekati sumber keributan.
Matanya yang tajam menyapu kegelapan, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tengah jalanan sepi itu. Ia bergerak bagaikan bayangan, memanfaatkan setiap celah dan bayangan untuk bersembunyi, hingga akhirnya pemandangan mengerikan itu terpampang jelas di hadapannya dua pria dalam kondisi babak belur, dikepung oleh para penyerang.
Mobil Saga berputar tak terkendali setelah dihantam tembakan bertubi-tubi. Ban mobil menjerit memekakkan telinga sebelum akhirnya terguling, menghantam aspal dengan keras. Saga dan Ace terlempar ke sana kemari di dalam kabin yang remuk.
"Ugh..." Saga mengerang, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Kepalanya berdenyut nyeri, dan pandangannya kabur.
"Ace! Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara serak.
Ace batuk-batuk, berusaha keluar dari himpitan badan mobil. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya tersengal-sengal. "Tapi kita dalam masalah besar."
Dengan susah payah, mereka berdua keluar dari mobil yang berasap. Musuh-musuh mereka sudah keluar dari mobil, mengepung mereka dengan senjata terhunus.
Saga dan Ace berdiri berdampingan, saling melindungi. Nafas mereka tersengal-sengal, tubuh mereka penuh luka dan memar Bau anyir darah menusuk hidung, bercampur aroma logam terbakar dan mesiu yang menyesakkan.
Perkelahian sengit kembali terjadi. Saga dan Ace bergerak lincah, menghindari tembakan sambil membalas serangan.
Saga menendang pistol salah satu musuh hingga terlempar jauh. Ace meninju wajah musuh lainnya hingga tersungkur ke tanah. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Mereka terus terdesak, semakin terpojok.
"Saga, awas!" teriak Ace, mendorong Saga hingga terjatuh saat seorang musuh mengarahkan pistol ke arahnya.
Dor....
Tiba-tiba, suara tembakan memecah keheningan. Musuh yang mengincar Saga tersungkur ke tanah dengan lubang di dadanya. Dari balik kegelapan, muncul seorang wanita misterius yang mengawasi mereka. Di tangannya tergenggam pistol yang tadi ditendang Saga, asap masih mengepul dari moncongnya.
Setelah menembak, wanita itu terhuyung mundur, tubuhnya gemetar hebat. Pemandangan pria yang baru saja ia robohkan, terkapar tak bergerak di tanah, menghantamnya bagai gelombang dingin. Rasa mual menyeruak, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. "Akh...." Dengan tangan gemetar, ia melemparkan pistol itu ke hadapan Saga, seolah benda itu adalah bara api yang membakar tangannya.
Ace dengan sigap meraih pistol itu, matanya tetap waspada mengawasi sekeliling.
Sebelum wanita itu benar-benar jatuh ke tanah, Saga bergerak cepat. Dengan sigap, ia menangkap tubuhnya dan menggendongnya erat. Wajahnya pucat pasi, dan napasnya lemah. Saga menatap wajah wanita itu dengan tatapan bingung dan khawatir. Siapa wanita ini? Dan mengapa ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk mereka?
Beauty and The Beast
Jangan lupa tinggal kan jejak di kolom komentar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments