"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Merasa Bersalah
Kanya terdiam. Matanya menatap meja. Sekilas, ia merasakan lirikan Kian di sampingnya, membuat dadanya terasa berat.
"Aku… Harus bilang apa? Bahkan aku belum siap memperlihatkan wajahku ke Kian... Apakah mereka akan salah paham?" pikirnya panik dalam diam.
Namun sebelum ia sempat menjawab, Keynan menyelamatkannya dengan kalimat penuh pengertian.
“Biar saja, Ma. Mungkin Kanya masih canggung dengan kehadiran Papa,” ucapnya ringan sambil menuang teh.
Aisyah menoleh lembut, menatap menantunya yang duduk tenang di samping putranya. Senyum kecil mengembang di wajahnya.
“Maaf, Mama cuma… penasaran dengan wajah menantu Mama,” ujarnya pelan, lebih seperti gumaman penuh kasih daripada permintaan.
Kanya menunduk makin dalam. Bukan karena marah, bukan pula karena malu—tapi karena bingung harus berkata apa. Ia tak ingin menolak, tapi juga belum siap.
Keynan menimpali dengan senyum tipis, tatapannya bergeser ke istrinya.
“Kalian bisa melakukannya berdua saja,” katanya kalem. “Nanti, di kamar. Tanpa paksaan, tanpa keraguan.”
Kanya menoleh sekilas, tatapan lembut penuh terima kasih terarah pada ayah mertuanya. Ia tak perlu menjelaskan apa pun. Ia hanya butuh waktu. Dan Keynan… memberinya ruang itu.
Suasana di meja makan jadi hening sejenak. Namun bukan hening yang canggung. Justru terasa hangat. Seperti sebuah ruang yang terbuka—untuk saling mengenal, pelan-pelan.
Keynan tahu, ada banyak perempuan bercadar yang tetap menjaga penutup wajahnya bahkan di hadapan keluarga suami. Dan ia menghormati itu. Bukan sekadar tradisi, tapi cara menjaga diri—lahir dan batin. Ia pun paham, dunia tak selalu aman bagi perempuan. Betapa sering ia membaca kabar tentang ayah mertua yang menyalahgunakan kuasa, atau bahkan ayah kandung yang merenggut kehormatan darah dagingnya sendiri.
Ia tak ingin rumah ini menjadi tempat yang memaksa atau membebani. Ia hanya ingin, Kanya merasa aman. Dan itu dimulai dari rasa nyaman.
Sarapan pagi itu pun dimulai dalam keheningan yang hangat. Di meja makan, aroma makanan bercampur dengan kehati-hatian, harapan, dan benih kepercayaan yang mulai tumbuh perlahan—dari sebuah keluarga yang asing, namun perlahan terasa… layak dihuni.
Kanya menoleh pelan ke arah Kian, suaranya lembut menembus hening di antara denting sendok dan piring.
“Kakak ingin makan apa?”
Kian sempat terdiam. Matanya melirik Kanya.
Panggilan itu—“Kakak”—terasa asing, namun tidak dingin. Justru… hangat dan lembut, seperti sapaan tulus yang datang dari hati.
Sejak mereka menikah, gadis itu tak pernah memanggilnya begitu. Biasanya hanya aku–kamu, pendek dan formal, seolah menjaga jarak. Tapi kini… ada sesuatu yang berbeda.
Nada suaranya lembut dan tatapannya tenang… terasa tulus.
Untuk sesaat, Kian kehilangan kata.
Sementara itu, Aisyah dan Keynan hanya bertukar pandang dan tersenyum kecil menyaksikan interaksi halus itu.
Kian akhirnya menjawab, sedikit canggung tapi suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya,
“Apa saja.”
Bukan hangat, memang. Tapi setidaknya, tak lagi datar apalagi dingin. Ia sedang mencoba… menjaga sikap, terutama di hadapan kedua orang tuanya.
Tak ada yang istimewa dalam kalimatnya. Tapi bagi Kanya, respons itu sudah cukup untuk membuatnya bergerak cepat menyiapkan piring Kian, mencarikan lauk yang terlihat paling segar, paling ia kenali dari menu pagi itu.
Setelah sarapan, suasana mulai longgar. Kanya menatap Aisyah dan Keynan bergantian, sebelum akhirnya berkata pelan.
“Maaf… Pa, Ma, aku ingin meminta izin. Hari ini aku ingin kembali ke pondok. Hanya dua atau tiga hari untuk mengambil semua barang-barangku dan menyelesaikan beberapa hal di sana.”
Aisyah mengangguk.
“Tentu, Sayang. Itu penting. Biar Kian yang antar, ya?”
Mata Kanya menoleh ke arah Kian. Pria itu hanya mengangguk sekilas, meski jelas dari sorot matanya—ia malas, tidak benar-benar ingin melakukannya.
Namun sebelum sempat mengeluh dalam hati, ponsel Kian yang diletakkan di meja bergetar, lalu berdering keras.
Kian melihat layar, keningnya berkerut.
Ia berdiri dari kursinya, mengangkat telepon dan berjalan menjauh, tapi tidak cukup jauh untuk suara percakapan itu tak terdengar.
Beberapa menit kemudian, Kian kembali ke meja makan.
Raut wajahnya berbeda—tegang, berat, penuh beban.
Keynan mengangkat alis. “Ada apa?”
Kian menarik napas panjang. Suaranya terdengar berat.
“Ayah Friska… membatalkan kerja sama. Padahal kita tinggal tanda tangan kontrak. Sekarang kita harus cari investor lain. Dan waktunya mepet. Ini bisa jadi masalah besar buat kita.”
Hening.
Kanya menunduk. Jantungnya mencelos. Wajahnya di balik cadar memucat.
Rasa bersalah menyergap tanpa ampun.
“Maaf…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Ini semua karena aku. Pernikahan kalian batal… dan sekarang—”
“Kanya.”
Suara Keynan memotong lembut namun tegas.
“Kau tak perlu minta maaf. Dalam dunia bisnis, hal seperti ini bukan hal baru. Justru, orang yang mencampur urusan pribadi ke meja kontrak menunjukkan… dia bukan rekan bisnis yang profesional.”
Aisyah mengangguk. Tatapannya menghangatkan.
“Papamu benar, Nak. Kamu tidak bersalah. Bahkan… mungkin ini perlindungan dari Allah. Kalau kerja sama itu berlanjut dalam keadaan hati yang menyimpan dendam, bisa saja di tengah jalan mereka mencelakai usaha ini.”
Kanya menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak—malu, bingung, bersalah. Tapi tatapan dan kata-kata Aisyah cukup memberi ruang untuk bernapas.
Sementara itu, Kian masih terdiam.
Ponsel dalam genggamannya tak lagi bergerak. Matanya menatap kosong, rahangnya mengeras. Bukan karena marah pada Kanya… tapi pada keadaan, dan pada dirinya sendiri yang tak bisa mengendalikan semuanya.
Namun entah kenapa… saat tadi Kanya memanggilnya “Kakak”, lalu kini menunduk dan meminta maaf—ada sesuatu dalam dirinya yang terusik.
Bagian kecil dari hatinya tergerak.
Ingin membela. Ingin berkata sesuatu.
Tapi egonya terlalu tinggi…
Untuk saat ini.
Kian akhirnya angkat suara, suaranya terdengar serius.
“Aku harus ke kantor. Aku akan adakan rapat dadakan… kita harus segera cari solusi sebelum semuanya makin runyam.”
Keynan mengangguk. “Itu keputusan yang tepat.”
Namun Aisyah tak langsung menanggapi. Tatapannya justru beralih ke arah Kanya, mengingat sesuatu yang belum lama dikatakan gadis itu.
“Pa… Kanya tadi bilang mau ke pondok, 'kan?”
Keynan langsung menangkap maksud istrinya.
Ia tersenyum tipis, lalu menoleh pada sang menantu.
“Kalau begitu, biar Papa yang antar kamu ke sana.”
Namun Kanya buru-buru menggeleng pelan.
“Gak usah, Pa… Aku ke sana bareng Kyai dan Umi saja. Lagian aku masih harus beresin barang-barang. Belum bisa langsung pulang ke sini.”
Keynan sempat terdiam. Ada nada kecewa samar, tapi ia memahami.
“Baiklah. Kalau begitu… Papa antar kamu sampai hotel tempat Kyai dan Umi menginap. Ada sedikit yang ingin Papa bicarakan dengan mereka.”
Kanya menatapnya penuh rasa lega.
“Terima kasih, Pa.”
Aisyah tersenyum dan ikut bersuara, “Mama juga ikut ya, Nak. Sekalian mengantar.”
“Terima kasih, Ma, Pa,” ucap Kanya tulus, merasa benar-benar diterima.
Di sisi lain, Kian mendorong kursinya mundur. Ia berdiri sambil menepuk celana.
“Aku bersiap ke kantor,” ujar Kian singkat, suaranya terdengar stabil tapi tergesa.
“Aku bantu,” sahut Kanya cepat. “Setelah itu aku pulang ke pondok.”
Keynan melirik keduanya sejenak. Senyum tipis terukir di wajahnya, menyadari bahwa ada sesuatu yang mulai berubah—meski kecil, tapi ada usaha dari keduanya untuk saling hadir.
Aisyah ikut tersenyum pelan, matanya mengikuti langkah Kanya yang berjalan di belakang Kian.
“Pelan-pelan, Nak,” ucapnya lembut, lebih seperti doa yang diselipkan dalam kalimat biasa.
Mereka berdua hanya saling menatap sebentar, kemudian membiarkan pasangan itu masuk ke kamar dan menutup pintu.
Sesampainya di kamar, Kanya langsung membuka lemari dan memilihkan jas abu gelap untuk suaminya.
“Cepat sedikit,” ujar Kian tanpa menoleh, terdengar tak sabar.
Kanya menahan napas. Ia berusaha bergerak cepat, mengenakan jas ke tubuh Kian, lalu mengambil dasi dan membantunya merapikan dengan tangan gemetar.
Ia tak bicara. Hanya ingin membantunya sebaik mungkin. Merapikan lipatan jas, memastikan dasi terikat sempurna. Meskipun ada jarak… meskipun perasaannya belum sepenuhnya stabil… tapi ia ingin menunjukkan bahwa ia berusaha menjadi istri yang hadir, setidaknya dalam hal kecil seperti ini.
Setelah semuanya rapi, Kian langsung berbalik dan melangkah keluar tanpa berkata apa pun.
Pintu kamar tertutup. Suasana kembali sepi.
Kanya menatap kosong ke depan. Lalu menghela napas panjang.
Sambil menunduk, ia bergumam lirih,
“Semoga Allah memberikan jalan keluar… untuk segala kesulitanmu.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
Kanya juga bukan Wanita yang akan bertindak bodoh dan tidak akan nuduh Kian tanpa bukti yang kuat...
ayo Kanya berikan hakmu pada Kian...biar Kian tidak menyentuh wanita lain di luar,,perlihatkan wajahmu Kanya jika sedang berdua di kamar
Kamu melanggar larangan orang tua mu..
jangan sampai kamu kehilangan baru nyadar Kanya wanita terbaik.
ingat pesan ayahmu
Kedua orang tua Kian itu agamis - Kian membalas pesan Kanya tanpa salam - mungkin menjalankan ibadah sholat juga bolong-bolong 🤭. Suami tak bisa jemput Kanya kata mama Aisyah - Kian tiba-tiba keluar kota.
Tiga malam Kanya telah berada di rumah mertua - Kian masih di luar kota.
Wuuaaahhh Kian pulang dari luar kota bau parfum wanita - kerah kemeja ada noda lipstik - gile bro. Awal pernikahan yang mengecewakan.