NovelToon NovelToon
PESUGIHAN POCONG GUNUNG KAWI

PESUGIHAN POCONG GUNUNG KAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Menjadi Pengusaha / CEO / Tumbal / Iblis / Balas Dendam
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: triyan89

Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
​Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28

​Iblis bertanduk itu mencengkeram leher Azmi, lalu melemparkannya dengan keras ke sudut ruangan bawah tanah. Tubuh Azmi menghantam dinding batu dengan keras. Ia terkapar, darah menetes dari bibirnya, dan napasnya hampir berhenti.

​Aryan, yang merasa sudah aman, kembali ke meja ritualnya. Ia terus menuangkan sisa darah segar ke atas boneka kayu, mencoba menyelesaikan ritual yang sangat ia butuhkan. Iblis bertanduk itu berdiri di dekat Aryan, memancarkan aura kemenangan.

​Namun, di tengah kesunyian ruang bawah tanah yang gelap, tiba-tiba boneka kayu Aryan bergetar hebat.

​Aryan panik. “Ada apa ini? Ritualnya belum selesai!”

​Iblis bertanduk itu melihat ke arah Azmi yang sudah terkapar. Meskipun sudah tidak sadarkan diri, energi suci Azmi ternyata masih tersisa di tubuhnya. Energi itu tidak cukup untuk melawan Iblis, tetapi cukup untuk mengacaukan benda-benda kotor itu.

​Keris Azmi yang tergeletak di dekat tangga, tiba-tiba memancarkan cahaya putih yang sangat kuat.

​Cahaya itu tidak menyerang Iblis, ia bergerak, membentuk perisai dan menarik tubuh Azmi yang tak berdaya. Azmi, yang secara ajaib dilindungi oleh energi kerisnya, terangkat dari lantai dan bergerak cepat menuju tangga.

​“Tidak! Hentikan dia!” teriak Aryan.

​Iblis bertanduk itu maju, mencoba menangkap tubuh Azmi. Tetapi keris itu berhasil melindunginya, memancarkan energi penghalang yang membuat Iblis itu tidak bisa mendekat.

​Dalam beberapa detik, tubuh Azmi yang tak sadarkan diri ditarik oleh energi keris, melewati anak tangga dan menghilang dari pandangan Aryan.

​“Sialan! Kekuatan macam apa ini?!” raung Aryan. Ia memukul meja ritualnya dengan penuh amarah.

​Iblis bertanduk itu mendekati Aryan. “Tenang, Tuan. Manusia itu telah kehabisan seluruh tenaganya. Dia tidak akan hidup lama. Biarkan saja. Kita harus selesaikan ritual ini. Kekuatanmu akan memanggilnya kembali ke sini.”

​Aryan, dengan napas terengah-engah, mengangguk. Ia tahu Iblisnya benar. Tujuan utamanya adalah menyelesaikan ritual.

​Di luar rumah, Bu Ratih dan Rina berlari sekuat tenaga. Energi yang tiba-tiba mendorong mereka keluar membuat mereka terkejut, tetapi mereka tidak berhenti. Mereka terus berlari hingga mencapai gerbang depan yang sudah roboh.

​Tepat saat mereka berada di balik reruntuhan gerbang, mereka melihat ada sesuatu yang bergerak cepat keluar dari rumah.

​Itu adalah tubuh Azmi, yang melayang beberapa jengkal di atas tanah, ditarik oleh cahaya kerisnya yang terbang di depannya. Tubuh Azmi tampak sangat lemas, tidak bergerak sama sekali.

​Bu Ratih dan Rina segera menghampiri Azmi. Keris itu jatuh ke tanah tepat di samping tubuh Azmi.

​“Azmi! Nak Azmi!” panggil Bu Ratih panik. Ia memeluk kepala Azmi.

​Rina memeriksa denyut nadi Azmi. Napasnya sangat lemah, tetapi ia masih hidup.

​“Dia… dia masih bernapas, Bu. Tapi dia terluka parah. Dia berkorban untuk kita,” kata Rina, air matanya menetes mengenai wajah Azmi.

​Mereka berdua melihat ke arah rumah Aryan yang gelap. Mereka tahu, Azmi telah kalah dan terluka parah. Kini, mereka sendiri, tanpa Azmi dan Kiai Syarif.

​“Kita harus membawa dia pergi dari sini, Bu. Kita harus cari bantuan,” ujar Rina.

​Bu Ratih mengangguk, menyeka air matanya. Meskipun takut, ia tahu mereka harus bertindak cepat.

​Dengan sisa tenaga mereka, Rina dan Bu Ratih memapah tubuh Azmi yang terkulai lemas, menjauh dari rumah Aryan. Mereka harus mencari tempat aman, dan yang terpenting, mereka harus mencari bantuan spiritual lain sebelum Aryan menyelesaikan ritualnya.

​Tujuan mereka kini hanya satu, Pos keamanan, tempat Kiai Syarif ditahan. Mereka berharap, Kiai Syarif masih berada di sana.

​---

​Dengan susah payah, Bu Ratih dan Rina memapah tubuh Azmi yang terkulai lemas, berjalan terpincang-pincang menyusuri jalanan kompleks yang sepi. Mereka tiba di Pos Keamanan.

​Rina mengetuk kaca jendela dengan panik. “Pak! Tolong! Cepat buka!”

​Petugas keamanan, Pak Dani, terkejut melihat Bu Ratih dan Rina, istri Aryan, dan ibu dari pemilik rumah termewah di kompleks itu, dalam keadaan memprihatinkan, memapah seorang pemuda berpakaian lusuh yang penuh luka.

​“Astaga, Bu Ratih? Bu Rina? Ada apa ini? Kenapa Bapak ini terluka?” tanya Dani, segera membuka pintu pos.

​“Tolong kami, Pak! Azmi… dia terluka parah. Dan Kiai Syarif, di mana dia, Pak?” tanya Bu Ratih dengan napas tersengal-sengal.

​Pak Budi, petugas yang berjaga bersama Pak Dani, menunjuk bangku di sudut pos. Di sana, Kiai Syarif duduk bersandar ke dinding, dengan tangan terikat, tampak pucat dan lemah.

​“Itu dia, Bu. Orang ini membuat yang sudah membuat onar di rumah ibu, dia merobohkan gerbang. Kami amankan sambil menunggu polisi,” jelas Budi.

​Bu Ratih dan Rina segera membaringkan Azmi dengan hati-hati di lantai pos. Kiai Syarif, yang menahan sakit segera menoleh saat melihat kondisi Azmi.

​“Azmi! Nak!” panggil Kiai Syarif, berusaha bangkit.

​“Kiai!” Rina berlutut di dekatnya. “Aryan sudah menipu mereka. Dia penjahatnya, dia yang sudah berusaha membunuh kami, dan Kiai Syarif berusaha menolong kami. Tolong kami, Pak Satpam! Aryan menodongkan pistol!”

​Kedua satpam itu terkejut. Dani segera memutuskan. “Budi, lepaskan ikatan Kiai Syarif. Kita tidak bisa menahannya jika ada ancaman senjata api.”

​Setelah ikatan Kiai Syarif dilepas, beliau segera mendekati Azmi. Ia menyentuh dada Azmi.

​“Dia mengerahkan seluruh energinya. Dia menahan serangan Iblis itu,” bisik Kiai Syarif. Ia merasakan luka di tubuh Azmi yang cukup parah.

​“Kiai, apa Azmi masih bisa selamat?” tanya Bu Ratih putus asa.

​Kiai Syarif menggeleng pelan. “Tidak di sini. Energi Iblisnya terlalu kuat. Kita harus segera membawanya ke tempat yang aman, tempat aku bisa memulihkan tenaganya!”

​Ia menoleh ke arah Bu Ratih dan Rina, matanya kini tegas. “Dan kita harus pergi sekarang, sebelum Aryan sadar dan datang ke sini!”

​“Pak Dani, Pak Budi, kami mohon. Kami adalah korban. Aryan sedang melakukan ritual jahat di rumah. Kami tidak akan melaporkan tentang penahanan ini, tetapi mohon izinkan kami membawa Kiai Syarif dan Azmi pergi,” pinta Rina, dengan wajah memohon.

​Kedua satpam itu bingung, tetapi melihat Bu Ratih, dab istri sah Tuan rumah yang terkenal, dan Kiai Syarif yang tampak jujur, serta kondisi Azmi yang kritis, mereka mengalah, dan akhirnya melepaskan Kiai Syarif.

​“Baik, Bu. Tapi kalian harus segera menghubungi kami setelah aman,” kata Dani.

​Kiai Syarif, Bu Ratih, dan Rina segera memapah Azmi dan keluar dari pos keamanan. Mereka tidak berani kembali ke rumah Aryan. Mereka harus mencari perlindungan dan pemulihan bagi Azmi secepatnya.

​“Kita harus ke pondok, Nak Rina. Di sana lebih aman, kita bisa menolong Azmi, dan di sana kita bisa meminta bantuan yang lainnya,” kata Kiai Syarif, sambil memimpin jalan menuju pinggir kompleks perumahan.

​Mereka meninggalkan kompleks itu dengan tergesa-gesa, membawa Azmi yang tak sadarkan diri, menuju malam yang semakin gelap dan menuju pertolongan.

​---

​Kiai Syarif, Bu Ratih, dan Rina bergerak secepat yang mereka bisa, memapah tubuh Azmi yang terasa dingin dan berat. Kiai Syarif, meskipun masih lemah akibat serangan Iblis, menggunakan kekuatan yang tersisa untuk menopang Azmi di sisi kirinya. Bu Ratih dan Rina memapah di sisi kanan.

​Mereka menjauh dari kompleks perumahan Aryan, menuju jalan raya utama yang lebih ramai. Kiai Syarif tahu, mereka tidak bisa berjalan kaki terlalu jauh. Pondok pesantrennya berada di luar kota, membutuhkan waktu perjalanan sekitar dua jam dengan mobil.

​“Kita harus cari taksi, Nak Rina. Atau kendaraan apapun yang bisa kita tumpangi,” kata Kiai Syarif, wajahnya tegang.

​“Tapi, Kiai, kita tidak punya uang tunai,” bisik Rina. Sebagai istri Aryan, semua akses uangnya dikontrol ketat, dan Bu Ratih juga tidak membawa dompet saat melarikan diri.

​Kiai Syarif menghela napas. Situasi ini lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Mereka adalah orang-orang terhormat yang kini melarikan diri tanpa bekal sepeser pun, membawa seorang pemuda yang terluka, dan dikejar oleh kekuatan iblis dari kegelapan.

​Tiba-tiba, tubuh Azmi merosot. Ia terbatuk keras, mengeluarkan darah segar kehitaman.

​“Azmi!” seru Bu Ratih panik.

​Kiai Syarif segera memeriksa Azmi. “Lukanya cukup parah. Dia kehilangan banyak tenaga. Energi Iblis itu sudah meracuni tubuhnya.”

​Kiai Syarif tahu, waktu mereka sangat terbatas. Jika Azmi tidak segera ditangani, ia bisa meninggal.

​Di tengah keputusasaan itu, sebuah mobil bak tua yang membawa sayuran melintas pelan di pinggir jalan.

​“Nak Rina! Bu Ratih! Panggil mobil itu! Cepat!” perintah Kiai Syarif.

​Rina melambaikan tangan ke arah mobil itu dengan sekuat tenaga. Pengemudi itu, seorang pria paruh baya bernama Pak Tani, menghentikan mobilnya.

​Pak Tani melihat mereka dengan tatapan bingung, seorang Kiai yang lemah, dua wanita berpakaian mahal yang berantakan, dan seorang pemuda tak sadarkan diri.

​“Ada apa, Pak Kiai? Kenapa Bapak ini berdarah?” tanya Pak Tani, khawatir.

​“Tolong kami, Pak. Pemuda ini baru saja mengalami kecelakaan parah. Kami harus membawanya ke pesantren saya di desa secepatnya. Kami tidak punya uang, tetapi kami berjanji akan membayar Bapak begitu kami sampai,” pinta Kiai Syarif, suaranya berwibawa yang meyakinkan.

​Pak Tani, meskipun ragu, merasakan kesungguhan dan kepanikan di wajah mereka. Ia melihat luka Azmi yang mengerikan.

​“Masuklah, Kiai. Saya antar. Soal biaya, nanti saja. Tapi, tolong cepat,” kata Pak Tani.

​Bu Ratih dan Rina segera menaikkan Azmi ke bak mobil, melindunginya dengan tubuh mereka. Kiai Syarif duduk di depan, menunjuk arah ke desa.

​Perjalanan pun dimulai. Pak Tani mengemudi dengan cepat.

​Di belakang, Bu Ratih memegang tangan Azmi, sementara Rina terus mengipasi wajah Azmi dengan telapak tangannya.

​“Kiai, apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan sekarang?” tanya Rina, air matanya sudah mengering, kini ia hanya fokus untuk menolong Azmi.

​Kiai Syarif memejamkan mata. Ia tahu, meskipun Azmi berada di di belakang, ia harus berusaha menahan racun Iblis di tubuhnya.

​“Nak Rina, pegang tasbih ini,” Kiai Syarif menyerahkan tasbih dari kayu yang selalu ia bawa. “Letakkan di dada Azmi, dan bacalah surah Al-Fatihah berulang kali. Ini akan sedikit menahan racun itu.”

​Rina menerima tasbih itu, meletakkannya di dada Azmi, dan mulai membaca Al-Fatihah dengan suara yang bergetar. Bu Ratih ikut mendampingi.

​Di tengah perjalanan yang penuh ketegangan dan bahaya, mereka hanya bisa berharap, semoga ada pertolongan untuk Azmi.

1
Siti Yatmi
seru dan menegangkan...baca maraton....semoga Mereka baik2 saja .
Siti Yatmi
kasian bapaknya....
Oriana
Kok susah sih thor update, udah nungguin banget nih 😒
bukan author: Masih review kak
total 1 replies
Dallana u-u
Gemes banget deh ceritanya!
bukan author: lanjutannya masih review kak
total 1 replies
cocondazo
Jalan cerita seru banget!
bukan author: lanjutannya masih review kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!