👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabotage
Beberapa hari berlalu, dan kecurigaan Shiera semakin menguat. Ia dan Liini mulai melakukan pemeriksaan diskrit terhadap daftar kehadiran dan jadwal.
"Tidak ada. Sama sekali tidak ada jejak kehadirannya sejak hari pernikahan ganda itu," bisik Shiera, menatap layar tablet di ruang OSIS. "Dan ini aneh. Lucius ada di daftar gaji sebagai guru tamu, tapi semua data jadwal mengajarnya tiba-tiba hilang."
"Itu baru permulaan," tambah Liini, wajahnya pucat. "Aku sudah mencoba menanyakan ke beberapa murid di kelas filosofi. Dan kau tahu apa? Setiap murid yang aku tanyai seketika tidak ingat atau tidak kenal."
"Mereka bilang apa?" tanya Shiera, matanya menyipit.
"Mereka bilang, 'Guru filosofi? Bukankah itu selalu Akihisa-sensei?' atau 'Siapa Lucius?'" jelas Liini. "Seolah-olah pria itu tidak pernah ada di Akademi."
Mereka berdua memutuskan untuk memperluas penyelidikan ke staf pengajar. Bahkan saat menanyakan kepada Nuita, Indra, Evelia, Miku, Akihisa, Nina, dan Kizana juga sama.
Shiera mendatangi Nina di Battle Arena. "Nina-sensei, apakah Anda ingat Guru Tamu yang mengajar filosofi, Tuan Lucius?"
Nina mengernyitkan dahi. "Lucius? Siapa itu? Aku tidak ingat ada guru tamu baru selain yang dibawa Akihisa untuk seminar Shape-Shifter sebulan lalu."
"Tapi dia hadir di pernikahan kalian!" desak Shiera.
"Aku tidak ingat. Aku hanya fokus pada Kizana saat itu," jawab Nina santai.
Frustrasi, Shiera dan Liini akhirnya mendatangi Indra dan Evelia di ruang Royal.
"Maaf mengganggu, Sensei," ujar Shiera. "Tapi apakah Anda ingat Tuan Lucius?"
Indra mengangkat bahu. "Tidak. Siapa dia?"
Evelia tersenyum lembut. "Aku hanya ingat ada banyak sekali tamu di pernikahan kita. Mungkin dia salah satu teman dari luar kota."
"Tapi, Evelia-sensei, Anda sempat mengobrol dengannya di koridor saat Indra-sensei sakit!" kata Shiera, suaranya sedikit meninggi. "Anda bahkan memanggilnya 'Tuan Lucius'!"
Evelia mengedipkan mata, seolah Shiera menceritakan cerita fiksi. "Mungkin kau bermimpi, Sayang. Aku hanya ingat aku buru-buru pulang untuk merawat Suamiku."
Membuat mereka kebingungan, Shiera dan Liini saling pandang. Hanya mereka berdua yang tampaknya mengingat pria berambut putih itu.
"Ini aneh, Shiera-chan. Benar-benar aneh," bisik Liini.
Shiera mengangguk, menggenggam erat gagang katana-nya. "Ini bukan amnesia. Ini sihir memori skala besar. Dia tidak menghapus dirinya dari Akademi, dia menghapus dirinya dari ingatan semua orang. Kecuali kita."
.
.
.
.
.
.
Shiera menatap Liini, rasa frustrasi dan bahaya tergambar jelas di matanya.
"Kita harus menemui Araya-sensei sekarang juga," desak Shiera, suaranya pelan namun penuh urgensi. "Dia satu-satunya yang tahu tentang sistem pertahanan Kerajaan secara mendalam, dan dia adalah satu-satunya yang aku yakini tidak akan terpengaruh sihir semacam ini."
Liini menggeleng, ekspresinya dipenuhi kebingungan. "Aku tidak tahu keberadaannya, Shiera-chan," kata Liini, suaranya nyaris berbisik. "Aku tahu dia adalah Wakil Kepala Akademi, dan aku tahu dia yang mengawasi intelijen. Tapi dia benar-benar tersembunyi. Bahkan Nuita-sensei pun seringkali kesulitan menghubunginya."
"Itu bodoh! Bagaimana mungkin kunci pertahanan Kerajaan tidak bisa dihubungi?!" raut Shiera, membanting tangannya ke meja dengan keras.
Mereka merasa buntu. Semua jalur komunikasi tertutup, dan musuh yang mereka cari telah menghapus jejaknya dari memori kolektif. Hanya dua murid ini yang memegang kebenaran yang mengerikan itu.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Liini, matanya menatap Shiera, mencari perintah. "Mereka semua tidak ingat! Bagaimana kita bisa meyakinkan Royal Indra bahwa ada bahaya yang akan datang?"
Shiera menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak, mengingat wajah tenang kedua orang tuanya. "Kita tidak akan meyakinkan mereka. Mereka tidak akan percaya kita tanpa bukti fisik. Ini bukan tentang menghapus ingatan; ini adalah sihir untuk mengisolasi kita."
Ia membuka matanya, mengambil katana bersarung di meja. "Kau benar-benar tidak tahu di mana tempat rahasia Araya-sensei?"
Liini menggeleng lemah. "Tidak ada yang tahu. Itu sebabnya dia disebut 'Bayangan'."
"Baiklah," putus Shiera. "Jika kita tidak bisa menghubungi Bayangan, kita akan menjadi Bayangan. Aku akan menggunakan jaringan pengawasanku sendiri. Kau tetap di sini, lanjutkan pekerjaan OSIS-mu seperti biasa. Jangan tunjukkan kecurigaan apa pun."
"Tapi kau mau kemana?" tanya Liini khawatir.
"Aku akan kembali ke tiang pemancar tertinggi," jawab Shiera, matanya menatap ke kejauhan, ke arah cakrawala kota. "Aku harus mencari di mana Tuan Lucius itu menyembunyikan rencananya. Jika dia sudah menghapus dirinya dari ingatan, dia akan segera bergerak."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa hari yang lalu, tepat saat Tuan berjubah hitam dan Lucius hendak menghilang dari tebing yang menghadap Sakura Flurry, sebuah kilatan perak menyambar.
Mereka di cegat oleh Araya.
Araya, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka, mengenakan setelan tempur berwarna merah-hitam dan memegang katana dengan mata pisau perak yang mematikan. Menghempaskan tebasannya, Araya mengirimkan gelombang energi dingin yang memaksa Lucius dan Tuannya berhenti bergerak.
Lucius menghadap Araya, wajahnya yang biasa tersenyum kini dipenuhi kejutan dan kalkulasi.
"Wah, wah. Tidak kusangka," ujar Lucius, nadanya masih terdengar seperti guru tamu yang sopan, namun ada nada berbahaya di baliknya. "Aku tidak menyangka akan berhadapan dengan wanita jenius seperti Araya saat ini. Kau bergerak cepat sekali, Bayangan."
Araya tidak menunjukkan emosi. Araya menjawab celotehan Lucius dengan nada sarkas dan lembut.
"Aku selalu tahu di mana kotoran terbesar Kerajaan berkumpul, Lucius," balas Araya, suaranya tenang. "Kau harus belajar untuk tidak meremehkan seorang pustakawan yang tenang. Aku membaca semua pergerakanmu. Dan aku harus mengatakan, sihir penghapus ingatanmu itu cukup ceroboh. Kau lupa bahwa aku tidak pernah benar-benar tidur."
Araya mengalihkan pandangannya ke pria berjubah hitam di belakang Lucius. Araya kemudian menyindir aura yang ia rasakan familiar dengan pria berjubah hitam disana.
"Dan Anda," kata Araya, menyeringai tipis. "Aura yang sangat familiar. Bau kebusukan yang sama yang merusak makan malamku bertahun-tahun yang lalu. Kurasa aku sudah tahu siapa yang berdiri di sana. Kau datang dengan pakaian serba hitam, mencoba terlihat misterius. Padahal hanya nostalgia."
Pria berjubah hitam hanya diam tetap membelakangi. Ia tidak repot-repot menanggapi.
Lucius melangkah maju, menempatkan dirinya di antara Araya dan Tuannya. Membenarkan kacamatanya dengan gerakan penuh perhitungan. "Jangan menyinggung Tuan, Nona Yamada. Tujuan kami jauh lebih besar daripada dendam pribadi yang kau pegang."
"Tujuanmu selalu sama, Lucius. Menghancurkan. Dan kali ini, aku akan menghentikanmu sebelum kau menyentuh Sakura Flurry," balas Araya, katana-nya bersiap di udara.
Araya terkekeh pelan, tawa yang tak bersuara namun terasa dingin menusuk. Araya kembali mengatakan sesuatu yang sarkas dengan lembut, bibirnya membentuk senyuman tipis yang berbahaya.
"Oh, tentu saja. 'Tujuan yang lebih besar'," ujar Araya, suaranya seperti bisikan angin musim dingin. "Aku sudah mendengar alasan itu dari makhluk-makhluk rendahan sepertimu selama berabad-abad. Selalu 'demi tujuan yang lebih besar' saat kalian ingin menghancurkan apa yang telah dibangun orang lain."
Ia mengarahkan pandangannya tajam ke pria berjubah hitam, diakhiri jika ia tahu bahwa itu Amon.
"Kau tahu, Amon," lanjut Araya, nada suaranya berubah menjadi lebih gelap. "Kau tidak pernah belajar. Kekalahanmu yang pertama itu hanya membuatmu lebih pengecut, bukan lebih pintar."
Kemudian, Araya mengalihkan tatapannya kembali ke Lucius. Matanya yang merah darah menyala penuh kemarahan dan penghinaan, kontras dengan rambut merah pendeknya.
"Dan kau, Lucius," desis Araya. "Kau hanya sampah yang menjilat iblis, Lucifer. Aku tidak tahu apa yang dijanjikannya padamu, tapi aku jamin itu tidak sepadan dengan kotoran yang kau pijak."
Kemarahan Araya meledak. Dengan satu gerakan tangan yang anggun namun mematikan, Araya mensummon berbagai bilah katana. Bilah-bilah katana transparan, terbuat dari energi murni, muncul di sekelilingnya, mengambang di udara. Mereka memancarkan cahaya dingin, siap untuk menyerang.
Di setiap ujung bilah, dan di kaki Araya, diiringi bunga higanbana merah yang bermekaran dari tanah yang tandus, menambah aura kematian dan kecantikan yang menakutkan. Bunga-bunga itu seolah menari bersama bilah pedang, mengantisipasi pertumpahan darah.
Lucius tetap tenang, tetapi senyumnya sedikit memudar. Ia tahu bahwa ia tidak berhadapan dengan guru biasa. Ia berhadapan dengan salah satu pembela terkuat Shirayuki Sakura, yang telah lama menanti kembalinya Amon.
.
.
.
.
.
.
Sesaat setelah aura Araya meledak, pertarungan dimulai.
Dengan kecepatan yang menentang logika fisika, Araya berpindah tempat ke dekat Lucius. Pergerakannya tidak mulus; ia tampak seperti glitch dalam realitas, meninggalkan jejak bunga higanbana merah yang mekar dan menghilang seketika. Glitch Higanbana Effect ini membuat Lucius dan Amon sedikit terkejut, karena kecepatan Araya jauh melampaui data yang mereka kumpulkan.
"Terlalu lambat," desis Araya.
Araya mengayunkan katana utamanya. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia berhasil mementalkan Lucius ke dalam hutan tebal di bawah tebing. Lucius menabrak beberapa pohon dengan suara gemuruh.
Namun, saat Araya mencoba menyerang Tuan berjubah hitam, serangannya tertahan. Amon tidak tergerak sedikit pun karena ia memiliki perisai tidak terlihat. Bilah katana Araya terpental kembali dengan kekuatan yang sama, membuat Araya terpental ke dalam hutan dan menjauh dari target utamanya.
Araya mendarat dengan anggun, berdiri di hadapan Lucius yang sedang bangkit dari puing-puing pohon. Membuatnya mau tidak mau berhadapan dengan Lucius.
"Perisai itu..." gerutu Araya, menyadari kesalahannya.
"Kau tidak akan pernah bisa menyentuh Tuan," kata Lucius, membenarkan kacamatanya yang ajaibnya tidak pecah. "Aku sudah memberitahumu, kau membuang-buang waktu dengan sampah seperti aku."
Tepat saat itu juga, Amon menghilang ke dalam kegelapan. Pria berjubah hitam itu menggunakan waktu yang didapatnya untuk menarik diri, meninggalkan Lucius sebagai pengalih perhatian.
Araya menghela napas, melihat energi residual Amon memudar. "Dia selalu pengecut. Baiklah. Jika aku tidak bisa mendapatkan Raja Iblis, aku akan mendapatkan pelayannya."
"Pelayan ini akan membuatmu menyesal telah meremehkanku, Araya," balas Lucius, tangannya mulai memancarkan energi.
"Aku meremehkanmu, Lucius, karena kau tidak lebih dari umpan," sahut Araya, mengangkat katana-nya. "Tapi aku akan senang merobek-robek umpan yang satu ini."
Pertarungan di hutan, jauh dari pandangan kota, semakin sengit. Teknik Araya berbeda dari Nina Yamada adiknya yang lebih mengandalkan volume dan manipulasi besar darah yang tersebar. Sebaliknya, Araya menguasai seni pengendalian diri ekstrem.
Araya mengurangi darahnya untuk memperbesar kerusakan dari serangan yang ia keluarkan. Setiap tebasan katana-nya diresapi dengan energi yang ditarik dari vitalitasnya sendiri, memperkuat serangan hingga ke batas maksimal. Akibatnya, setiap serangannya begitu cepat, dingin, dan mematikan, tetapi tubuh Araya harus menanggung beban guncangan internal yang besar.
Walau begitu, fungsi dari bunga higanbana yang selalu ada disekitarnya saat mode bertarung sebagai penyembuh. Bunga-bunga merah darah itu, yang kini bermekaran liar di sekitar mereka, berfungsi sebagai sistem auto-healing Araya, menyalurkan energi yang cukup untuk menjaga fungsi vitalnya agar tidak kolaps akibat tekniknya sendiri yang ekstrem.
Pertarungan terus berlanjut dengan dahsyat. Kilatan pedang Araya beradu dengan perisai energi yang diciptakan Lucius. Araya hanya menggunakan Katana-nya, bukan senjata utamanya, menghemat kekuatannya.
"Kau terlalu fokus pada pengorbanan, Araya!" teriak Lucius, memantulkan serangan katana ke-sepuluh Araya yang cepat. "Mengorbankan diri sendiri demi serangan adalah taktik yang bodoh!"
"Kebodohan? Atau efisiensi?" balas Araya, suaranya tetap tenang meski ia melompat mundur untuk menghindari serangan balasan energi Lucius. "Aku tidak membuang-buang darahku seperti adikku. Aku menggunakannya sebagai bahan bakar! Dan kau, Lucius, kau mencoba bertahan dan menyerang dengan ilmu tiruan! Bahkan Lucifer sendiri akan malu melihat teknikmu yang lemah!"
Lucius menyerang balik dengan rentetan proyektil energi oranye pekat. "Sarkasme-mu tidak akan menyelamatkanmu! Aku akan mengekstrak semua informasi pertahanan dari otakmu sebelum aku membunuhmu, Bayangan!"
Araya tersenyum tipis, menangkis semua proyektil itu. "Kau boleh mencoba. Tapi kau akan mati kelelahan sebelum kau berhasil menyentuh otak jeniusku."
Pertarungan itu adalah duel antara kecepatan mematikan melawan kekuatan tiruan, dengan hutan yang tak berdosa menjadi saksi bisu.
.
.
.
.
Pertarungan semakin memanas. Araya melancarkan tebasan horizontal yang memaksa Lucius melompat mundur. Darah tipis yang keluar dari hidungnya segera diserap kembali oleh bunga higanbana di bawah kakinya.
"Kau tahu, Lucius," kata Araya, nadanya kini terdengar seperti sedang memberi ceramah di Akademi. "Aku sudah bosan dengan trik imitasi murahmu ini. Kau hanya menyalurkan kekuatan, tidak menguasainya."
Sambil menyerang, Araya memancing Lucius untuk bertransformasi menjadi Lucifer sesungguhnya.
"Mengapa tidak tunjukkan wujud aslimu? Jika kau benar-benar ingin menghancurkan Kerajaan, tunjukkan pada kami mengapa kami harus takut. Atau kau terlalu takut kehilangan wajah guru tamu tampanmu itu? Aku ragu kau sekuat itu, atau Lucifer tidak akan pernah meninggalkanmu dengan tugas babysitting ini."
Lucius tersentak. Matanya yang orange menyala penuh amarah, membenarkan dugaan Araya.
Lucius juga memancing Araya untuk mensummon Nodachi-nya. "Hentikan ocehanmu! Dan keluarkan senjatamu yang sebenarnya! Bukankah kau menyimpan Nodachi terkutukmu itu? Aku tahu kau tidak bertarung serius tanpanya. Apakah kau takut aku akan menghancurkannya, Araya?"
Araya tertawa sinis, tawa yang tak sampai ke matanya. "Ketakutan? Aku tidak mengenal kata itu. Dan Araya berkata ia tidak perlu mengeluarkan senjata utamanya untuk kroco seperti Lucius."
"Kau hanya pengalih perhatian yang gagal, Lucius. Jika aku mengeluarkan Nodachi-ku untuk kroco sepertimu, aku akan merusak mood untuk pertarungan yang sebenarnya. Aku akan selesaikan kau dengan ini, dan kemudian aku akan memburu Tuanmu yang pengecut itu."
Lucius menggeram. "Kau akan menyesalinya! Kau akan mati karena kesombonganmu!" Lucius memutuskan bahwa ia harus menggunakan lebih banyak kekuatan, meskipun itu akan mengurasnya. Ia tidak bisa mentolerir penghinaan Araya lagi.
.
.
.
.
.
.
Pertarungan sengit antara Araya dan Lucius terhenti secara tiba-tiba. Tepat di antara dua petarung itu, muncul pusaran kegelapan, dan Amon kembali muncul.
Amon, yang kali ini menghadap Araya, tidak memancarkan aura fisik yang kuat, tetapi kehadirannya saja sudah menindas. Dengan satu lambaian tangan yang santai, ia menghempaskan Araya dengan mudah. Araya terlempar membentur batang pohon yang tebal, menjatuhkan katananya dan merusak pertahanan higanbana-nya.
"Cukup bermain-main, Lucius," kata Amon, suaranya dalam dan berwibawa, penuh perintah. "Lucius, mundur."
Lucius segera menghentikan serangannya. "Baik, Tuan."
Araya yang melihat Amon muncul dan menyerang, semua pengendalian diri yang ia miliki runtuh. Emosinya mulai terlihat, matanya yang merah darah kini memancarkan amarah murni. Sifat asli Araya yang menyeramkan terpancar kuat dari tatapan matanya—seorang wanita yang dipenuhi kebencian dan tekad untuk menghancurkan musuh lamanya.
Mengabaikan rasa sakitnya, Araya bangkit. "Kau! Kau yang menyebabkan semua ini!" teriak Araya, suaranya bergetar karena amarah.
Ia tidak membuang waktu. Dengan Higanbana Effect yang bergejolak, Araya bahkan mensummon Nodachi-nya. Pedang besar yang diselimuti energi merah darah muncul di tangannya, memancarkan aura kematian.
"Kau akan membayar kehancuran yang kau sebabkan!"
Araya menyerang Amon dengan brutal, mengayunkan Nodachi ke arah leher Amon. Itu adalah serangan penuh kekuatan dan duka yang ia pendam selama bertahun-tahun.
Namun, Amon dengan mudah mematahkan Nodachi Araya. Iblis itu hanya menggunakan dua jari, menangkap mata pisau Nodachi yang terkutuk itu, dan menghancurkannya menjadi serpihan tanpa usaha sedikit pun.
Amon kemudian mengulurkan cakar hitamnya, mengarah ke kepala Araya. Namun serangannya meleset, hanya meninggalkan goresan fatal di sisi kiri wajah Araya.
Araya terjatuh, mencengkeram wajahnya. Darah segar membasahi pipinya.
"Aku bisa saja membunuhmu sekarang, Bayangan," ujar Amon, suaranya tenang, namun menusuk. "Tapi aku ingin kau hidup dan menyampaikan pesan ini kepada Royal kesayanganmu."
Amon menyeringai. "Jangan khawatir. Seranganku meleset, hanya mengenai mata kirimu. Kau akan buta sebelah. Sekarang kau benar-benar menjadi bayangan. Sampaikan pada Pangeran Es itu, bahwa aku akan kembali untuk tahtaku dalam waktu yang sangat, sangat dekat."
Lalu Amon pergi meninggalkan Araya sendirian di hutan dengan sekarat, hanya menyisakan aroma kehancuran dan bunga higanbana yang kini layu.
.
.
.
Araya tersandar ke batang pohon yang remuk, meringis menahan mata kirinya. Darah mengalir deras dari luka sayatan Amon. Bunga Higanbana yang ada di sekitarnya mencoba menyembuhkan Araya; bunga-bunga merah itu bermekaran dengan cepat, memancarkan energi penyembuhan. Namun nihil, kekuatan Amon terlalu murni dan destruktif. Setiap bunga yang muncul dan bermekaran akan cepat layu dan menjadi abu sebelum sempat menyalurkan energi yang cukup.
"Tidak... tidak bisa..." gumam Araya, suaranya lemah. "Kekuatan Amon... murni... tidak bisa diatasi dengan... trik..."
Kesadarannya memudar, dan cengkeramannya pada kehidupan melemah. Araya akhirnya pingsan, tubuhnya tergeletak di antara bunga higanbana yang layu, menjadi simbol kekalahan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kembali ke masa kini, di kota yang ramai, Shiera berada di tiang pemancar. Ia menghabiskan berjam-jam mengamati kota, mencari anomali yang tidak disadari orang lain. Pandangannya akhirnya tertuju pada satu titik.
"Tebing itu," bisik Shiera, menatap tebing terpencil yang menghadap ke Sakura Flurry. "Itu tempat yang sempurna untuk pengamatan dan operasi senyap. Aku harus memeriksa di sana."
Ia segera turun dengan teknik parkour-nya dan memanggil taxi-drone pribadi. Ia bergegas menuju ke sana.
Sesampainya di sana, Shiera melompat keluar dari drone. Ia terkejut melihat hutan di belakang tebing luluh lantah. Pohon-pohon besar tumbang, bebatuan hancur, dan tanahnya hangus dan penuh lubang. Seperti ada pertarungan kekuatan besar yang baru saja terjadi.
"Astaga... ini bukan ulah iblis rendahan," gumam Shiera, tangannya otomatis memegang gagang katana yang kini ia bawa. "Ini ulah Arch-Demon atau Guardian yang marah."
Ia memeriksa area sekitar. Sisa-sisa energi masih terasa di udara, dingin dan mencekik. Ia memeriksa bekas pertarungan yang masih hangat walau aslinya sudah beberapa hari terjadi. Energi merah darah dan sedikit aroma es masih tersisa, membeku di udara.
"Ini... ini energi yang sangat kuat. Dan ada jejak energi yang familiar... mirip dengan energi es Indra-sensei, tapi jauh lebih kacau," analisis Shiera. "Dan... dan ini adalah energi dari Higanbana."
Shiera tahu hanya ada satu orang di Shirayuki Sakura yang menggunakan teknik berbasis Higanbana.
"Araya-sensei," bisik Shiera, matanya membelalak. "Dia ada di sini. Dan dia bertarung."
Shiera akhirnya menelusuri hutan yang hancur itu, mengikuti jejak energi Higanbana yang samar, berusaha mencari sosok Bayangan yang selama ini ia coba hubungi.
Shiera menelusuri hutan yang rusak itu, berhati-hati melompati puing-puing dan pohon tumbang. Berusaha mencari Araya namun nihil. Jejak energinya terlalu samar, dan hutan yang hancur membuatnya sulit untuk menemukan arah.
Namun, perhatiannya tertuju pada sesuatu yang aneh. Meskipun banyak bunga higanbana yang layu menjadi abu, ada beberapa yang tetap merah cerah, tumbuh berdekatan dan seolah membentuk jalur.
Hingga ia menyadari jika bunga higanbana yang ada di sekitarnya sedang mencoba menuntun ke suatu tempat. Seolah bunga ini memiliki jiwa, bunga-bunga itu memancarkan denyutan energi yang sangat lemah, sebuah whisper dari teknik Higanbana milik Araya sendiri. Shiera mengikutinya, mempercayai instingnya dan energi dari bunga-bunga itu.
Beberapa saat kemudian ia melihat Araya tergeletak di bawah lindungan batu besar. Wakil Kepala Akademi itu sudah babak belur, seragamnya robek, dan yang paling mengerikan, mata kirinya sudah berlubang dan diselimuti darah kering. Namun, ia masih bernapas, samar dan lemah.
Shiera segera berlutut di samping Araya, meletakkan dua jarinya di leher Araya untuk merasakan denyut nadinya.
"Araya-sensei! Siapa yang melakukan ini?" desis Shiera, air mata menggenang karena shock.
Ia segera menyentuh earpiece-nya. Shiera menghubungi Liini dengan suara yang teparsa tenang.
"Liini-san, kau harus segera bertindak. Hubungi ambulans darurat Kerajaan. Aku ulangi, darurat Royal! Dan hubungi Nuita-sensei. Bilang padanya, kita menemukan Bayangan."
Suara Liini terdengar panik di earpiece. "Apa?! Di mana kau? Apa yang terjadi?!"
"Jangan tanya. Lakukan saja! Dan jangan biarkan siapa pun tahu selain mereka. Ini adalah masalah Royal! Cepat!" perintah Shiera.
Shiera kemudian melepaskan syal rajutan ibunya dan menyelimutkannya pada tubuh Araya, mencoba menyalurkan sedikit kehangatan. Ia harus memastikan Araya bertahan.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa jam berlalu. Di bawah kerahasiaan ketat, Shiera, Nuita, dan Liini membawa Araya ke rumah sakit Kerajaan. Nuita tiba dengan helikopter medis pribadinya, memimpin evakuasi dengan wajah kaku namun panik.
Setelah Araya segera dimasukkan ke ruang operasi darurat, mereka bertiga menunggu dengan tegang.
Setelah operasi selesai, dokter kepala keluar dengan ekspresi keheranan.
"Operasi berhasil, tetapi ada yang aneh," kata dokter tersebut, menyeka keringat di dahinya. "Kami berhasil menstabilkan kondisinya dan mengobati luka internal yang parah."
"Lalu, apa yang aneh, Dokter?" tanya Nuita, sahabat sekaligus rival jenius Araya, dengan nada tajam.
Sang dokter menjelaskan, "Saat mengobati luka Araya, bunga higanbana terus menutupi mata kiri Araya. Bunga-bunga itu tumbuh dari luka sayatan itu sendiri. Kami mencoba membersihkannya, tetapi setiap kali kami melakukannya, mereka tumbuh kembali dan menyalurkan energi yang aneh. Bukan energi penyembuhan biasa, tapi energi chi yang sangat murni."
"Jadi, apa yang Anda lakukan?" tanya Shiera, cemas.
"Kami akhirnya memilih membiarkannya," jawab dokter itu, menggelengkan kepala. "Kami fokus mengobati luka lainnya termasuk patah tulang. Namun, kami perhatikan, penyembuhan dari Higanbana membantu pemulihannya dengan cepat termasuk patah tulang tersebut."
Nuita menghela napas lega. "Syukurlah. Kekuatan Blood Manipulation-nya masih bekerja, meskipun dengan cara yang aneh."
Shiera, Nuita, dan Liini lega mendengar hal itu.
Mereka kemudian pindah ke ruang tunggu pribadi untuk berdiskusi. Mereka lalu berdiskusi apa yang terjadi. Shiera menceritakan semua yang ia temukan, mulai dari kecurigaannya terhadap Lucius, sihir penghapusan ingatan, hingga jejak pertempuran epik di tebing.
"Shiera-chan dan aku bersumpah, Nuita-sensei. Ada guru tamu bernama Lucius. Dia berambut putih, berpakaian formal, dan sangat mencurigakan," tegas Liini.
Nuita mengusap dahinya, wajahnya yang cantik dipenuhi keraguan. Namun Nuita masih tidak ingat ada guru bernama Lucius di Akademi beberapa minggu kebelakang.
"Aku tidak meragukan kesaksian kalian," kata Nuita. "Tapi aku memeriksa semua log sensor Kerajaan. Tidak ada entitas non-staf yang tercatat masuk atau keluar dengan deskripsi seperti itu. Tapi ada satu hal... aku mendeteksi lonjakan energi yang sangat besar dan sangat kuno di area tebing itu beberapa hari yang lalu."
Shiera mencondongkan tubuhnya. "Itu pasti dia. Lucius. Dan orang yang bersamanya, yang mematahkan Nodachi Araya-sensei."
"Lucius atau siapa pun itu, dia menggunakan sihir kuno yang sangat spesifik untuk menyembunyikan kehadirannya dari semua data dan memori kami," simpul Nuita. "Sekarang, kita hanya punya satu petunjuk: luka Araya dan pesan yang mungkin ada di balik serangan itu. Dan kalian berdua... kalian adalah satu-satunya saksi yang bisa kami percaya."
.
.
.
.
.
.
.
.
Di Istana Kerajaan yang kini terasa sunyi setelah pernikahan, Amanda Yamada, yang mengenakan gaun hitam-emas megah dan jubah Royal, beranjak dari takhtanya. Ia hendak keluar dari ruangannya untuk memeriksa keadaan Akademi setelah insiden Araya.
Namun, tepat saat ia mendekati pintu, ia dihadang oleh pengawalnya.
"Ampun, Yang Mulia! Ada penyerangan ke Istana!" lapor pengawal itu, wajahnya pucat pasi, seragamnya compang-camping.
Amanda menghentikan langkahnya, aura Royal-nya seketika menjadi berat dan dingin. "Siapa? Dan dari mana mereka datang?"
"Mereka muncul entah dari mana, Yang Mulia! Mereka... mereka melumpuhkan perimeter pertahanan Level Dua dalam sekejap mata. Mereka langsung menuju ke sayap utara."
Amanda memandang pengawal tersebut dengan tatapan tajam yang menuntut jawaban. "Sayap utara adalah area pemukiman staf. Apakah ada yang selamat?"
Pengawal itu menundukkan kepala, tubuhnya bergetar. Pengawal tersebut menggelengkan kepala dengan kecewa. "Kami... kami tidak sempat menyelamatkan siapa pun, Yang Mulia. Mereka terlalu cepat. Itu adalah pembantaian."
Amarah dan duka membekas di wajah Amanda. Namun, ia harus bertindak. Saat akan mendekati pintu untuk keluar dan menghadapi musuh, sebuah bayangan gelap muncul, materialisasi yang mematikan.
Amon muncul dan menghadang Amanda. Ia berdiri di pintu, memblokir jalan keluar Amanda, senyum menyeringai menghiasi wajahnya.
Dengan seringai keji, Amon merubah wujudnya menjadi iblis. Kulitnya berubah menjadi kemerahan, tanduk iblis mencuat dari kepalanya, dan tato sihir gelap muncul di wajah serta tubuhnya. Sayap hitamnya kini terlihat lebih besar dan lebih menakutkan, memancarkan aura kegelapan murni.
"Wah, wah. Mau ke mana buru-buru, Ratu Amanda?" sapa Amon, nadanya penuh ejekan.
Amanda mengabaikan demon itu. Kekhawatiran terbesarnya adalah tentang anaknya yang baru dioperasi. Amanda bertanya apa yang ia lakukan kepada putrinya Araya.
"Amon! Apa yang kau lakukan pada putriku?!" desak Amanda, suaranya dipenuhi amarah yang terkontrol.
Amon tertawa kecil, tawa yang menusuk tulang. "Putrimu? Ah, maksudmu Bayangan yang konyol itu? Dia melakukan tugas yang tidak perlu. Dia mencoba mengganggu rencana yang sudah sempurna."
Amon menjawabnya dengan dingin jika Araya itu pengganggu rencananya. "Dia hanya pengganggu, Ratu. Jadi aku memberinya pesan yang jelas untukmu dan Guardian kecilmu itu: Aku telah kembali. Dan aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Seluruh Kerajaan ini."
.
.
.
.
.
.
.
.
Melihat transformasi mengerikan itu, wajah Amanda mengeras. Ia tahu ini bukan lagi ancaman biasa. Ini adalah perang terbuka. Amanda seketika mensummon Odachi-nya—pedang besar yang merupakan simbol kekuasaannya sebagai Ratu dan Guardian. Bilah Odachi itu memancarkan cahaya keemasan terang, berlawanan dengan aura gelap Amon.
"Kau berani muncul di hadapanku seperti ini," desis Amanda, suaranya dipenuhi kemarahan yang membara. "Dan kau melukai putriku."
Amon tertawa, suaranya lebih dalam dan seram dari sebelumnya. "Tentu saja. Ini adalah pertunjukan untukmu, Ratu. Pertunjukan kehancuran Kerajaanmu."
Amanda tahu, semua rencana, semua pertahanan, semua taktik yang telah mereka siapkan, kini tidak relevan. Ia tidak punya pilihan untuk bertarung sekarang. Ini adalah pertarungan hidup atau mati, demi putrinya yang sekarat, demi Kerajaannya yang diserang, dan demi orang-orang yang ia cintai.
"Kau tidak akan pernah mendapatkan Kerajaan ini, Amon," kata Amanda, mengangkat Odachi-nya tinggi-tinggi. "Aku akan pastikan kau mati di sini, sekarang juga!"
"Coba saja, Ratu tua," balas Amon, dengan seringai mengejek. "Kau sudah usang. Kerajaanmu sudah membusuk. Dan anak-anakmu... mereka terlalu lemah untuk menghentikanku."
Pertarungan antara Ratu dan Raja Iblis kuno pun pecah di tengah Istana yang kini menjadi medan perang.
.
.
.
.
.
Meski murka membakar jiwanya, Amanda bertarung dengan tenang melawan Amon. Setiap gerakan Odachi-nya dihitung dengan presisi seorang Ratu yang berpengalaman. Dia bergerak lincah, memblokir dan menangkis serangan brutal Amon dengan kekuatan yang luar biasa. Serangan demi serangan beradu dengan dahsyat, menghasilkan ledakan energi yang mengguncang seluruh ruangan.
"Kau masih sekuat dulu, Ratu," ujar Amon, suara tawanya bergema di aula Istana yang mulai retak. "Tapi berapa lama kau bisa bertahan? Ingat, kau sudah tua."
Tepat saat itu, pengawal tadi yang akan kabur terkena serangan Amon. Dengan kecepatan luar biasa, Amon mengulurkan tangannya, dan cakar tajamnya menusuk punggung pengawal yang malang itu. Jeritan pengawal itu terhenti saat cakar yang menusuknya lalu menyerap inti kehidupannya. Dalam hitungan detik, tubuh pengawal itu mengering, berubah seketika menjadi tulang dan abu, berjatuhan ke lantai.
"Lihat," kata Amon, menunjuk sisa-sisa pengawal itu. "Inilah yang terjadi pada mereka yang tidak memiliki kekuatan."
Kemarahan Amanda mencapai puncaknya. "Kau monster! Kau tidak akan pernah mendapatkan satu jiwa pun dari rakyatku lagi!"
Pertarungan berlanjut hingga Istana menjadi sangat hancur. Pilar-pilar runtuh, dinding-dinding retak, dan lantai marmer pecah berkeping-keping di bawah tekanan kekuatan mereka. Setiap pukulan Amon dan setiap tebasan Odachi Amanda menghantam struktur kuno itu, mengubahnya menjadi puing-puing.
"Ini baru permulaan, Ratu," ejek Amon, melepaskan gelombang energi gelap yang melumpuhkan. "Aku akan menghancurkan Kerajaanmu, satu per satu. Dan kau... kau akan melihatnya dengan mata kepalamu sendiri."
Amanda terhuyung mundur, namun tekadnya tak goyah. "Tidak akan! Aku akan mati melindungi mereka semua!"
Intensitas pertempuran tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Pertarungan terus berlanjut dengan dahsyat, dua kekuatan yang hebat saling beradu di jantung Istana. Amon melancarkan serangan sihir gelap, memanggil bayangan dan proyeksi energi mematikan, sementara Amanda menangkis semuanya dengan Odachi keemasannya yang memancarkan cahaya penangkal.
Kemampuan bertarung Amanda yang tidak bisa dianggap remeh terlihat jelas. Dia adalah Ratu yang sudah melalui banyak kepedihan—kehilangan suaminya, saudaranya, dan kini melihat putrinya terluka parah. Pengalaman dan duka itu membentuknya menjadi pejuang yang sangat tangguh. Ia bertarung dengan tenang dan anggun, gerakannya adalah tarian kematian, setiap langkahnya menghemat energi, tetapi setiap ayunan pedangnya diresapi dengan kekuatan Guardian sejati.
"Kau menghabiskan terlalu banyak energi dengan kemarahanmu, Amon," ujar Amanda, berhasil menghindari serangan cakar yang menghancurkan singgasana di belakangnya.
Melihat ketenangan Amanda, membuat Amon sedikit kewalahan. Dia mengira Ratu akan panik setelah melihat mayat pengawal dan kondisi putrinya.
"Diam! Aku akan menghancurkan ketenangan palsumu itu!" raung Amon. Ia melancarkan pukulan berantai yang merobek udara.
Amanda menangkis dengan Odachi, energi tabrakan itu menciptakan ledakan sonic. "Ketenangan ini bukan palsu, Amon. Ini adalah tekad. Aku sudah melihat Kerajaan ini hancur sekali, dan aku membangunnya kembali. Kali ini, aku akan menguburmu di bawah reruntuhan ini sebelum aku membiarkanmu menyentuh keponakanku!"
Amon menyeringai, meskipun ada nada frustrasi dalam tawanya. "Keponakan? Ya, Royal Indra yang malang. Aku tidak sabar untuk mendengar teriakannya saat aku mengambil nyawa istrinya."
"Kau tidak akan menyentuh mereka!" desis Amanda, melompat maju untuk serangan balik. "Kau hanya akan menghadapi kemarahan seorang ibu dan seorang Ratu!"
.
.
.
.
Pertarungan di aula Istana yang hancur itu mencapai puncaknya. Pertarungan terus berlanjut dengan dahsyat di tengah puing-puing marmer dan emas. Amanda, sang Ratu, adalah badai emas dan perak, sementara Amon adalah pusaran kegelapan yang merusak. Dua kekuatan yang hebat saling beradu, menghasilkan gelombang kejut yang merobek sisa-sisa atap Istana.
Amanda, menggunakan Odachi-nya, memotong setiap serangan energi gelap Amon. Meskipun ia adalah seorang wanita paruh baya, pengalaman pertempurannya selama beberapa dekade sebagai pelindung Royal memberinya keunggulan taktis. Gerakannya efisien, memanfaatkan setiap celah pertahanan Amon, yang kini didorong oleh kemarahan dan arogansi.
"Kau terlalu banyak bicara, Amon!" seru Amanda, sambil menangkis pukulan cakar yang nyaris mengenainya. Ia menggunakan dorongan balik dari Odachi untuk memutar dan melancarkan serangan chi yang fokus.
Serangan itu mengejutkan Amon. Ia terpaksa mundur beberapa langkah, menutupi area yang terkena serangan. "Kau...!" desis Amon, sedikit terkejut.
Membuat Amon sedikit kewalahan, ia tidak menyangka Ratu, yang seharusnya fokus pada administrasi dan diplomasi, masih mempertahankan kemampuan bertarung pada level yang sangat tinggi. Ia mengira hanya Indra dan Araya yang menjadi ancaman serius.
"Aku sudah mengatakan padamu," lanjut Amanda, Odachi-nya memancarkan cahaya yang semakin terang. "Aku bukan hanya Ratu. Aku adalah yang membangun kembali Kerajaan ini dari abu yang kau tinggalkan. Dan aku tidak akan membiarkan iblis rendahan sepertimu menghancurkannya lagi!"
Amon mendengus, membersihkan darah hitam dari sudut bibirnya. "Rendahan? Kau akan menyesali kata-kata itu, Amanda. Aku tidak akan membuang waktu lagi untukmu. Setelah aku selesai, aku akan membuat putrimu yang buta sebelah itu menyaksikan kehancuran putranya."
"Coba saja!" balas Amanda, melompat maju untuk serangan terakhir yang terfokus, mengumpulkan semua sisa energinya ke dalam Odachi-nya. "Kau tidak akan melewati aku!"
Amon sudah menduga serangan terakhir Amanda. Namun saat Amanda melompat ke arahnya dengan Odachi diacungkan tinggi-tinggi, Amon tersenyum dingin. Ia tidak menggunakan tangannya sendiri. Amon mensummon cakarnya—cakar bayangan hitam pekat yang besar—dari bayang-bayang di lantai.
Cakar itu bergerak lebih cepat dari Odachi Amanda, menembus pertahanan Royal yang lelah. Cakar itu menusuk tubuh Amanda tepat di bagian vitalnya. Momentum Amanda terhenti, dan Amanda tergantung di cakar Amon yang disummon, darah keemasan mulai menetes ke lantai marmer yang pecah.
Amanda terbatuk, darah membasahi dagunya. Ia menatap Amon dengan pandangan yang lemah namun masih penuh kebencian.
"Kau... licik," bisik Amanda, napasnya memburu.
Amon membiarkan cakarnya tetap menusuk tubuh Amanda, menikmati penderitaan sang Ratu. Amon menjawabnya jika iblis itu memang seharusnya licik.
"Tentu saja aku licik, Ratu. Aku adalah Iblis. Kebaikan dan kehormatan adalah milik Guardian bodohmu," ejek Amon, wajah iblisnya mendekat ke wajah Amanda. "Aku adalah kegelapan yang membuat kalian panik. Dan aku tahu satu hal: untuk membunuh seorang Ratu, kau harus menyerang jantungnya."
Amon mulai mengobrol dengan Amanda yang tertusuk dengan sekarat. Amon berbicara dengan nada yang tenang dan kejam, seolah mereka sedang minum teh.
"Aku datang ke sini bukan untuk membunuhmu, Ratu. Tapi untuk melumpuhkan semangat Kerajaan ini. Putri manjamu itu sudah buta sebelah. Kau kini sekarat. Dan keponakanmu yang dingin itu... dia akan merangkak di kakiku, memohon belas kasihan."
"Kau... tidak akan... menyentuh... mereka..." bisik Amanda, mencoba mengumpulkan energi untuk serangan terakhir yang mustahil.
"Oh, aku akan menyentuh mereka, Amanda. Aku akan menghancurkan menantu Kitsune kesayanganmu itu terlebih dahulu. Dan kau akan melihatnya, tepat sebelum kau menutup matamu selamanya. Ini adalah balasan atas semua yang kalian ambil dariku." Amon menarik cakar bayangan itu dengan cepat dan kejam.
Amanda jatuh ke lantai yang dingin, Odachi-nya terlepas dari genggamannya.
.
.
.
Amon berjalan mendekat ke tempat Amanda tergeletak, dikelilingi oleh puing-puing tahta Kerajaannya yang hancur. Amon mengambil Odachi Amanda yang tergeletak di samping Ratu yang sekarat itu.
Ia mengamati pedang megah itu dengan tatapan menilai. "Ini pedang yang bagus," komentar Amon, nadanya datar namun ada kekaguman yang tersembunyi. "Sayang sekali, pedang yang indah ini akan ternoda oleh darah pemiliknya."
Amanda hanya terdiam tergeletak, matanya yang berkaca-kaca menatap langit-langit yang runtuh, napasnya semakin melemah. Dia tidak mampu lagi berbicara, hanya bisa menahan rasa sakit dan keputusasaan atas kegagalannya.
Dengan kebrutalan yang dingin dan tanpa emosi, Amon kemudian mengangkat Amanda dengan sihirnya, membuat tubuh Ratu itu melayang di udara. Lalu ia menusukkan badannya dengan Odachi-nya tembus hingga ke punggungnya. Pedang yang seharusnya melindunginya kini menjadi alat kematiannya. Amon kemudian memindahkan Amanda yang tertusuk pedang itu, membuatnya tergantung tegak di singgasananya yang hancur, dan membiarkannya di singgasananya.
Warna keemasan Odachi dan pakaian Royal Amanda kini diselimuti warna merah darah. Amanda telah meninggal dunia, meninggalkan Istana dalam keheningan yang mengerikan. Ratu Sakura Flurry tewas di singgasananya sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah memastikan korbannya telah tiada, Amon keluar dari Istana melalui pintu dengan tenang. Ia kembali ke wujud manusianya, berjalan santai melewati pintu utama seolah ia baru saja menyelesaikan pertemuan bisnis biasa.
Di luar Istana, semua manusia sudah meninggal dengan cara yang mengenaskan. Para penjaga, staf Istana, dan siapa pun yang berada di sekitar area tersebut telah diserang oleh pasukan bayangan Lucius. Mayat-mayat bergelimpangan, kering tanpa darah, atau hancur menjadi debu.
Amon memandang pemandangan itu, senyum kemenangan terukir di wajahnya.
"Lucius, selesaikan sisanya," perintah Amon, suaranya dikirim melalui sihir telepatik. "Pastikan Kerajaan ini mengerti siapa Rajanya sekarang. Dan kirimkan satu pesan lagi kepada Guardian yang manja itu."
Amon menginjak bendera Kerajaan Sakura Flurry yang jatuh. "Katakan padanya, dia terlambat. Tahta sudah diambil. Dan istrinya... dia adalah yang berikutnya."