Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. Panen Saham Dan Identitas Sang Perantara
Tiga hari berlalu dalam ketenangan yang tegang. Bagi Rendra, ketenangan adalah ilusi mahal yang hanya bisa ia beli dengan kewaspadaan. Sejak pesan SMS anonim itu, setiap sudut gelap di jalan pulang terasa seperti mata pengawas Tuan Wirawan. Namun, Rendra tidak gentar. Ancaman adalah bahan bakar terbaik untuk kecerdasannya.
Fokus Rendra pagi itu adalah satu: PT Jaya Nusantara (JAYN). Tiga hari lalu, ia telah mempertaruhkan sebagian besar modalnya, Rp50.000.000, berdasarkan kemampuan Penglihatannya yang menunjukkan adanya pengumuman buyback besar. Jika Penglihatan itu akurat, hari ini adalah panennya.
Ketenangan di Tengah Bursa Berdarah
Tepat pukul 09.00 WIB, bursa saham dibuka. Rendra duduk di depan laptop barunya, mengenakan earphone untuk memblokir kebisingan lingkungan. Ia membuka dashboard bursa.
Sesuai prediksi yang dilihat oleh Penglihatan nya, berita resmi tentang buyback saham JAYN yang masif oleh perusahaan itu sendiri meledak di media bisnis. Tindakan ini merupakan sinyal kuat bagi investor bahwa perusahaan menilai sahamnya terlalu murah, memicu euforia.
Grafik saham JAYN melonjak. Dalam hitungan jam, harganya naik 50%.
Rendra, dengan ketenangan seorang penembak jitu, segera menjual sahamnya. Ia tidak menjual sekaligus, melainkan bertahap (trailing stop-loss) untuk memaksimalkan keuntungan tanpa memicu kepanikan jual. Setelah proses penjualan selesai, Rendra menghitung hasilnya.
Dari modal awal Rp50.000.000, ia mendapatkan keuntungan sebesar Rp25.000.000.
Modal totalnya kini mencapai angka yang selama ini hanya bisa ia impikan: Rp90.250.000.
Rendra menutup laptopnya. Ia tidak merasakan lonjakan euforia yang sama seperti saat pertama kali menang blackjack. Yang ia rasakan hanyalah validasi. kemampuan Penglihatannya adalah kekuatan yang tak tertandingi, dan ia telah berhasil menguasai arena saham yang jauh lebih kompleks daripada kasino.
Namun, ia tahu uang ini membawa bahaya. Hampir seratus juta. Cukup untuk membeli mobil mewah bekas atau menyewa apartemen di Jakarta Pusat. Tapi Rendra masih harus bersabar.
Menyibak Identitas Sang Perantara
Uang bukan lagi motivasi tunggal Rendra. Rasa ingin tahu dan kebutuhan untuk bertahan hidup kini mendorongnya untuk mengungkap identitas wanita misterius yang bertransaksi dengan Rudi di Senopati.
Rendra menggunakan waktu istirahat siangnya di sekolah untuk melakukan penyelidikan online yang mendalam, menggunakan ponsel barunya. Ia tidak mencari informasi biasa; ia mencari koneksi antar plat nomor mobil (yang ia catat), kawasan perumahan elit (Menteng), dan proyek-proyek politik/bisnis yang menjadi target Tuan Wirawan.
Rendra mulai dengan mencari nama-nama tokoh penting yang tinggal di kawasan tersebut. Ia menyaring daftar itu dengan mencocokkannya dengan perusahaan konstruksi dan tender yang baru-baru ini dimenangkan oleh CBG (perusahaan Wirawan) dan kekalahan MTR.
Setelah beberapa jam menyaring data, sebuah nama muncul berulang kali, terhubung dengan kawasan Menteng, plat nomor mobil, dan dewan penasihat senior di salah satu perusahaan konsultan politik terbesar di Asia.
Namanya adalah Elena Paramita.
Rendra membeku. Nama belakang itu... Paramita.
Clara Paramita. Teman satu-satunya.
Rendra menghela napas, otaknya berpacu memproses data. Tidak mungkin kebetulan. Elena Paramita, usia sekitar 30-an, adalah kakak perempuan dari Clara Paramita.
Kakak Clara adalah perantara Wirawan.
Ini mengubah seluruh permainan. Hubungan Rendra dengan Clara bukan lagi sekadar romansa tersembunyi; itu kini menjadi jebakan intelijen yang sangat berbahaya. Jika Elena mengetahui pertemanan Rendra dan Clara, dan tahu bahwa Rendra adalah "anak ajaib" yang membantu Wirawan, dia bisa menggunakannya. Lebih buruk, jika Tuan Wirawan mengetahui hubungan ini, Clara akan menjadi alat negosiasi yang sempurna.
Rendra kini memiliki informasi rahasia yang sangat krusial, tetapi informasi ini datang dengan harga yang sangat pribadi.
Konfrontasi di Lorong Sepi
Pulang sekolah sore itu, Rendra bergegas ingin segera pulang dan merencanakan langkah selanjutnya. Namun, di lorong menuju gerbang, ia dicegat oleh Kevin dan dua temannya.
"Mau lari ke mana, Tuan Beasiswa? Kau pikir aku lupa dengan ucapanmu di kelas?" Kevin menyeringai. "Aku sudah muak dengan sok pintar dan sok beranimu."
Kevin melayangkan tinjunya, serangan yang cepat dan frontal. Rendra, yang telah berlatih keras dan memiliki refleks luar biasa, bereaksi dalam sepersekian detik. Ia sedikit memiringkan kepala, membuat pukulan Kevin meleset tipis, lalu menangkap pergelangan tangan Kevin.
Rendra tidak menggunakan kekerasan brutal. Ia menggunakan teknik efisien. Dengan satu sentakan kuat, Rendra memutar pergelangan tangan Kevin hingga Kevin menjerit kesakitan dan berlutut.
"Aku sudah bilang, Kevin. Jangan ganggu aku," suara Rendra rendah dan mematikan.
Dua teman Kevin maju, mencoba membantu. Rendra, tanpa melepaskan Kevin, melayangkan tendangan pendek dan cepat ke perut salah satu temannya. Pria itu tersungkur sambil memegangi perutnya. Teman Kevin yang terakhir langsung mundur ketakutan.
Rendra melepaskan pergelangan tangan Kevin. "Jangan ulangi lagi. Aku bukan orang yang akan membiarkan dirinya diinjak."
Rendra melangkah pergi, meninggalkan Kevin yang terengah-engah dan penuh rasa malu. Rasa sakit fisik tidak seberapa dengan rasa malu yang harus ditanggung Kevin di lorong sekolahnya sendiri.
Saat Rendra berjalan keluar gerbang, ia melihat sebuah mobil sedan hitam berhenti di seberang jalan. Di dalamnya, duduk seorang wanita yang familiar. Elena Paramita.
Elena tidak melihat Rendra. Ia hanya menunggu Clara keluar dari gerbang.
Rendra menyembunyikan dirinya di balik pohon. Ia melihat Clara masuk ke mobil Elena, dan mobil itu melaju.
Elena, kakak Clara, adalah mata-mata Wirawan. Konflik ini kini berada di depan pintu Clara. Rendra harus bertindak cepat. Uang Rp90 juta tidak cukup untuk melawan jaringan mafia dan politik yang rumit ini.
Rendra tahu, ia harus segera membuat langkah besar. Langkah itu bukan hanya untuk uang, tetapi untuk keselamatan Clara dan dirinya sendiri. Ia harus mencari kelemahan Elena dan, melalui Elena, ia harus menemukan cara untuk memutuskan ikatan yang diikat Tuan Wirawan padanya.
Semangat Thor