Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
6
Sabtu pun tiba. Entah hari ini Kania sedang tidak mood, mungkin efek PMS hari pertama, mood nya seperti roller coaster. Sejak pagi tidak ada aktivitas yang dilakukan, bolak balik antara depan tivi, dapur, kamar mandi, lalu sekarang Kania berada di kamar. Kania sempat mengurungkan niatnya untuk datang ke komunitas muda mudi nanti malam, tapi teringat binar wajah Dini, Kania terpaksa ikut pergi.
Sejak pembicaraan nya dengan Dini kemarin, Kania seolah merasakan sesuatu yang hilang. Kania sendiri masih meraba hatinya sendiri. Dia akan menilai nya nanti setelah datang ke komunitas nanti malam, ada sesuatu yang harus Kania pastikan.
Menjelang sore tiba, Kania sudah bersiap. Kania memakai atasan blouse tiga perempat agak longgar berwarna krem muda. Atasannya dikasih sentuhan ikat pinggang dengan warna yang serasi. Memberikan tampilan yang rapi namun santai, khas bohemian versi lokal. Untuk bawahan Kania memakai kain batik yang dililitkan sebagai rok panjang. Motifnya didominasi warna coklat tua, hijau tua dan oranye tanah.
Untuk aksesoris, Kania mengenakan tas bahu kecil, yang terbuat dari kain tenun lokal dengan corak senada dengan roknya. Alas kaki, Kania sandal jepit dari bahan kulit sederhana. Rambutnya ditata sederhana dengan gaya kepang samping longgar. Terdapat bunga kecil terselip di rambutnya. Riasan wajahnya sangat minimalis dan natural, menonjolkan kecantikannya yang alami.
Sekali lagi, Kania melihat tampilan nya di cermin, dirasa sudah cukup Kania keluar dari kamarnya dan menunggu Dini datang menjemput. Tidak lama terdengar suara ketukan di pintu. Kania perlahan bangkit dan membuka nya.
‘’Mbak Kania cantik banget’’ seru Dini
‘’Makasih ya, kamu juga cantik.’’ Lalu aku mengunci pintu rumah.
Kami melangkah bersama menuju kedai kopi Senja Ranu, tempat di mana pertemuan diadakan. Aku baru kali ini jalan di malam hari, penerangan masih sangat minim, hanya gelap dan suara angin yang terdengar syahdu yang kurasakan. Damai dan tenang sekali, lain kali Kania akan berjalan di malam hari, hanya untuk mencari sesuatu yang baru. Biasanya malam hari di kota sangat bising, ramai, dan begitu banyak aktivitas yang berlangsung tanpa jeda.
‘’Mbak, sudah mau sampai.’’ Kebiasaan kalau melamun tidak menyadari kalau kami ternyata hampir tiba.
Senja Ranu sudah terlihat ramai, terdengar suara tawa, obrolan saling timpang tindih. Kami melangkah masuk, semua mata tertuju pada kami. Dini menggandeng lenganku, lalu berkata.
‘’Malam semua’’ katanya menyapa.
Tapi Dini tidak menghentikan langkahnya, masuk kedalam di mana Bara terlihat sedang sibuk menuang minuman ke gelas, sementara dengan cekatan seorang wanita, yang kutebak dialah Laras, menaruh gelas yang sudah terisi kedalam nampan, menyerahkan nampan tersebut ke pria yang kutebak, Radit.
‘’Malam mas, mbak’’ sapa Dini lagi.
Barulah ketiganya menyadari kedatangan kami. Bara, mendongak, menatapku datar. Laras, agak terkejut melihatku. Radit, tersenyum ramah. Dan dialah yang pertama menyambut hangat kedatangan kami.
‘’Waaahhh. Ini pasti Kania.’’ Ujar Radit, lalu menoleh kearah Bara.
‘’Sahabatku, mbak Kania.’’ Dini memperkenalkan.
Aku hanya tersenyum sopan kepada mereka. Setelah itu. Dini, membawaku duduk ditempat yang biasa kugunakan di hari hariku kemarin. Merasa aneh, hanya tempat ini yang belum terisi.
‘’Lihatkan, semua menatap kearah mbak, ada yang terpesona, ada yang terlihat iri.’’ Bisik Dini padaku.
‘’Kok jadi gak nyaman ya Din suasana nya.’’
‘’Kita sebentar aja mbak disini, mbak ga harus membaur, cukup disini aja sama aku.’’ Aku mengangguk.
Memperhatikan sekitar, memang benar semua mencuri curi pandang kearah kami. Fokusku ke depan lagi, melihat interaksi natural Bara dan Laras, gerakan mereka seirama, saling melengkapi tanpa ada kata perintah, seolah saling mengerti.
Laras, seperti yang kubayangkan. Melihat sosoknya dengan jelas, ternyata Laras memiliki aura keanggunan alami, bersikap hangat dan sopan, berkata lemah lembut pada semua yang hadir malam ini. Kehadiran Laras dengan nyata memicu insecurity pada diri Kania. Dirinya merasa asing dan tidak berguna berada disini.
‘’Hai, maaf baru menyapa dengan benar. Saya Laras.’’ Dia mengulurkan tangannya, aku menerima uluran tangannya untuk berjabat sebagai awal perkenalan kami.
‘’Kania’’ jawabku singkat.
‘’Mau minum apa, Din, Kania.’’ Tanya Laras.
‘’Aku teh saja, mbak.’’ Sahut Dini.
‘’Kopi’’
‘’Tunggu sebentar ya.’’ Laras kembali menghampiri Bara, menyebutkan pesanan yang kami pinta.
Bukan Laras yang membawa nampan, tapi Bara. Menyerahkan gelas teh kepada Dini, lalu dengan gelas yang sama menaruhnya di depanku. Isinya bukan kopi. Aku mendongak menatap Bara. Seakan tahu hal yang ingin kutanyakan, lebih dulu Bara berkata.
‘’Tidak kopi’’ lalu Bara duduk di sebelah Laras yang sudah lebih dulu duduk.
‘’Biasanya Bara tidak mengijinkan wanita minum kopi malam hari, sulit untuk tidur.’’ Jelas Laras padaku.
‘’Memang sengaja’’ balasku cepat.
Entahlah sifat jutekku keluar, apalagi ini hari pertama aku PMS. Menatap Bara dengan berani.
‘’Ini bukan kota’’ sahut Bara. Ah, mungkin Bara ingat obrolan singkat kemarin tentang kebiasaanku minum kopi saat di kota.
‘’No probs, bisa buat di rumah.’’ Aku menyeruput teh nya, mumpung masih hangat.
Raut wajah Bara mengeras seketika. Mungkin kesal aku tidak menurutinya. Lagian apa haknya mengaturku. Canggung yang kurasa. Karena malas terlibat obrolan, aku mengambil ponsel. Mumpung disini signal nya bagus, jadi sekalian cek email, membalas beberapa tawaran pekerjaan, membalas pesan orangtua-ku.
Radit datang, menyeret bangku dari sebelahnya dan duduk bersama kami. Kudengar Radit dan Laras sudah terlibat obrolan, sesekali Dini menimpali. Tidak dengan Bara, dia terlihat hanya mendengarkan aja.
‘’Jadi, Kania, betah ga tinggal disini.’’ Tanya Radit, dengan enggan kuhentikan aktivitas memainkan ponselku.
‘’Hmm, masih adaptasi.’’
‘’Terlalu sunyi ya disini, beda dengan kota.’’ Sahut Laras.
‘’Gitulah. Keramaian malah membuatku merasa sendiri. Keheningan malah membuatku sadar, tidak ada bedanya keramaian dan keheningan kalau disini terasa sepi.’’ Aku menunjuk dadaku.
Bara menatapku tajam. Tatapannya saat ini membuatku merasa ingin menangis. Sebisa mungkin kutahan, sial, hormon ini menyiksaku.
‘’Maaf nih ya, umur kamu berapa sih’’ Radit mengalihkan pembicaraan.
‘’25’’
‘’Dini 24, Laras 28, aku dan Bara 32. Tetep ya kita yang tertua, Bar.’’
‘’Sebelumnya kerja apa Kania.’’ Tanya Laras.
‘’Senior Digital Art Director’’ jawab Kania.
‘’Wow..kok resign.’’ Tanya Radit.
‘’Capek’’
‘’Maaf ya, terus sekarang kamu sibuk apa’’ tanya Laras sopan.
‘’Ambil freelance kecil2an aja’’ jawabku.
‘’Ahh.. Betah ya kerja sambil nongki disini’’ tanya Radit sambil tersenyum mengejek kearah Bara.
‘’WiFinya stabil, sih.’’
‘’Denger tuh, Bar, karna wifi nya stabil.’’ Ejek Radit.
Laras menatap Bara, ingin mendengar respon Bara, tapi Bara tetap diam tidak terpengaruh sama sekali. Tetiba ponselnya Kania berbunyi, melihat ID panggilan dari Maya, tanpa menunggu lama Kania menerima panggilan tersebut.
Maya
Terdengar suara menangis. ‘’Kani, gw butuh lu sekarang.’’
Kania
‘’Cuti, kabarin kalo udah sampe, gw jemput.’’
Maya
‘’Gabisa Kani, deadline, baru bulan depan gw bisa cuti’’ kembali menangis.
Kania
‘’Shitlah, May. Kenapa lagi.’’
Maya
‘’Bego tuh si Dion, malah mentingin clien LN. Padahal kita udah sebulan ga ketemu, jarang chat, udah sama sama ngatur jadwal, setelah ketemu malah ninggalin gw demi clien LN.’’ Tangisnya semakin kencang.
Kania
‘’No comment’’
Maya
‘’Lu sohib gw bukan sih, kasih solusi kek, buat gw tenang kek, malah no comment. Shit lah Kania’’ marahnya
Kania terkekeh, inilah yang Kania mau membuat Maya marah. Daripada nangis tidak ada solusi mending Maya marah, mengeluarkan segala emosi yang ada.
Kania
‘’Udah sana rapihin itu makeup lu yang luntur, pulang, nonton dracin sambil makan cokelat. Besok juga Dion kerumah lu bawa bunga deposito.’’ Ejek Kania.
Maya
‘’Kampretllah Kania’’
Kania
‘’Bahasa dijaga ya mbak’’
Maya
‘’Bodo, gw matiin, bye sohib laknat.’’
Mematikan sambungan sepihak, Kania menyimpan kembali ponselnya kedalam tas.
‘’Itu teman mbak Kania di kota ya’’ tanya Dini
‘’One of my bestfriend’’ Jelasku.
‘’Indonesia, pleasee..’’ rengek Dini.
Aku tertawa pelan. ‘’Salah satu sahabatku. Kedengeran ya, suara merdunya’’ Dini mengangguk. ‘’Emang gitu anaknya,’’
‘’Ada masalah ya sama pacarnya, temen mbak itu.’’ Kepo Dini.
‘’Yeee, Din, gausah kepo juga kali’’ kata Radit.
‘’Ih bukan kepo cuma ingin tahu aja kok.’’
‘’Biasa, sama sama sibuk’’ Jelasku singkat.
‘’Ga enak ya mbak, kalau punya pacar sama sama kerja gitu. Kalau mbak Kania udah punya pacar?’’ Tanya Dini.
Kania jadi mengingat kembali mantannya dulu, Satya. Hubungan mereka tidak berhasil, sama sama sibuk dan Kania tidak masuk kedalam prioritas Satya. kalau didalam hubungan Maya dan Dion mereka sama sama saling bersaing dalam pekerjaan tapi hubungan mereka tetap berjalan. Dan untuk hubungannya dulu, Kania merasa sendirian, hubungannya hampa karna Satya secara fisik ada, tetapi pikirannya selalu ada di kantor atau deadline. Satya pun tidak mampu merubah dirinya, sehingga hubungan mereka berakhir. Dan menjadi pemicu awal depresi Kania.
‘’Gak ada’’ sahut Kania.
‘’Boleh daftar dong’’ canda Radit.
‘’Jangan mau mbak sama Mas Radit, playboy cap teri.’’ Sahut Dini, yang langsung dijitak oleh Radit. ‘’Mas Radit, sakit tauu’’ omelnya.
Aku tersenyum. ‘’Din, balik yuk. Masih ada kerjaan nih’’ kataku, seperti nya sudah lama kami disini.
‘’Yuk, mbak, aku juga kasihan sama Bapak, sendirian di rumah.’’
‘’Mas Bara, Mbak Laras, Mas Radit, kami pulang dulu ya, makasih sudah mengijinkan saya ikut serta.’’ Kataku sopan.
‘’Dengan senang hati, Kania. Sabtu depan, datang lagi ya.’’ Sahut Laras.
‘’Sering sering ikut perkumpulan Kania, kedepan nya banyak agenda yang mau diadakan.’’ Lanjut Radit.
‘’Insya Allah, mas Radit.’’ Jawabku.
‘’Yawis, kita pulang dulu ya mas dan mbak.’’ Pamit Dini.
Malam ini, Kania kembali merasakan sepi, merasa insecure, rasa ingin meninggalkan tempat ini, secepatnya.