Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resolusi Darurat Lapak
Suara sendok ke panci aluminium beradu dengan teriakan panik yang membelah udara panas Lapak Kaki Lima Bahagia. Aroma harum rujak bumbu yang khas bercampur dengan uap seblak pedas yang menyengat, kini bukan lagi perpaduan menggiurkan, melainkan sebuah malapetaka kuliner yang tumpah ruah di atas paving blok.
Gerobak Gunawan, si Rujak Bumbu, oleng menyedihkan. Isinya, mulai dari aneka buah segar yang baru dipotong, ulekan sambal kacang yang lumer, hingga kerupuk berwarna-warni, berserakan tak berdaya.
Di sebelahnya, gerobak Dewi, si Seblak Pedas, tergeletak miring, wajan besar penuh kuah oranye mendidih terguling, menyemburkan lava cabai ke mana-mana, membakar karpet plastik dan menyisakan noda pedih di sepatu para pengunjung yang panik.
"Matilah kita! Matilah kita semua!" teriak seorang ibu-ibu dengan celemek bernoda minyak, wajahnya pucat pasi.
Asap tipis mengepul dari percikan kuah seblak yang mengenai kabel listrik lapak, dan ini saja sudah cukup memicu kepanikan massal.
Orang-orang berhamburan, sebagian berebut menyelamatkan barang dagangan mereka, sebagian lagi hanya menatap nanar kehancuran di depan mata. Di tengah kekacauan itu, berdiri dua poros masalah:
Gunawan dan Dewi.
Gunawan, dengan tubuh kurus yang selalu tampak kelelahan, kini basah kuyup oleh kuah seblak dan lengket oleh bumbu rujaknya sendiri. Wajahnya yang biasanya datar, kini memancarkan keterkejutan yang tulus, bercampur sedikit... entah apa.
Rasa bersalah? Atau justru, diam-diam, sebuah rencana jahat yang baru saja menemukan momentumnya? Topi capingnya miring, nyaris jatuh.
"Gunawan! Apa-apaan sih kamu?!" Dewi berseru, suaranya melengking tinggi di atas hiruk-pikuk.
Matanya yang tajam memancarkan api kemarahan, lebih pedas dari seblak buatannya. Seluruh tubuhnya belepotan adonan kerupuk mentah dan remah-remah makaroni.
"Sudah berapa kali aku bilang, gerobak itu jangan diparkir mepet-mepet! Lihat! Hancur semua! Ini sengaja, kan?! Kamu mau menyingkirkanku dari lapak, iya?!"
Gunawan mencoba membuka mulutnya, tapi yang keluar hanya desahan napas bercampur aroma terasi dan kencur.
"Bukan... aku... aku tidak sengaja, Wi. Tadi ada motor lewat... aku oleng."
"Oleng apanya! Kamu itu memang selalu ceroboh! Dasar tukang rujak tidak tahu diri!" Dewi menunjuk Gunawan dengan jari telunjuknya yang kotor.
"Ini gerobakku! Ini lapakku! Kamu pikir aku tidak tahu akal bulusmu itu? Kamu cemburu karena seblakku lebih laris, kan?!"
Perdebatan mereka semakin memanas, menarik perhatian lebih banyak warga yang tadinya hanya menonton dari kejauhan. Mereka adalah Majelis Warga Lapak, kelompok informal yang selalu siap beraksi jika ada drama di antara para pedagang. Dan drama kali ini, sungguh luar biasa.
Tidak lama kemudian, Pak RT muncul, langkahnya berat, wajahnya keruh seperti kuah rendang yang kelamaan dipanaskan. Ia mengenakan baju batik motif mega mendung yang entah mengapa selalu terlihat serius, dan kacamata berbingkai tebal yang melorot di hidungnya. Di belakangnya, berbaris beberapa warga senior, termasuk Bu Ida, Ketua "Love Brigade" yang terkenal selalu ikut campur urusan asmara.
"Cukup! Cukup sudah!" suara Pak RT menggelegar, membungkam kegaduhan.
Ia menatap Gunawan dan Dewi bergantian, seolah menimbang berat dosa mereka.
"Kalian berdua! Apa-apaan ini? Lapak yang sudah kita jaga nama baiknya selama puluhan tahun, kini porak-poranda hanya karena kecerobohan kalian! Bagaimana ini, hah?!"
Warga lain mulai berbisik-bisik,
"Iya, Pak RT benar! Ini sudah keterlaluan!"
"Bisnis jadi kacau semua!"
"Bau seblak nempel di baju saya, Pak RT!"
Dewi menghentakkan kakinya.
"Tapi, Pak RT! Ini salahnya Gunawan! Dia yang mulai!"
"Salahku?!" Gunawan akhirnya menemukan suaranya, sedikit lebih keras dari biasanya.
"Kamu yang parkir terlalu mepet, Wi! Aku cuma mau lewat!"
"Sudah! Diam kalian berdua!" Pak RT mengangkat tangan, menghentikan pertikaian.
"Masalah ini bukan hanya soal siapa yang salah. Ini soal reputasi! Soal nama baik Lapak Kaki Lima Mesra! Kalau begini terus, bisa-bisa lapak kita dicap sebagai sarang kekacauan! Pembeli pada kabur!"
Mendengar ancaman "pembeli kabur", seluruh warga lapak sontak mengangguk setuju, raut wajah mereka berubah tegang. Ini adalah taruhan paling besar bagi mereka.
"Jadi, begini," Pak RT menekan kacamatanya, matanya menyapu kerumunan.
"Majelis Warga sudah berunding. Demi menjaga perdamaian, demi mengembalikan citra lapak, dan demi memastikan kejadian seperti ini tidak terulang lagi..." Ia berhenti sejenak, membangun ketegangan.
"...kalian berdua harus MENIKAH!"
Kata terakhir itu melayang di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan. Dewi terkesiap, Gunawan terdiam membatu. Warga lapak, setelah beberapa detik syok, mulai berbisik-bisik lagi, kali ini dengan nada yang berbeda. Beberapa ibu-ibu tersenyum simpul, beberapa bapak-bapak mengangguk-angguk penuh makna.
"Menikah?!" Dewi akhirnya memecah keheningan, suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.
"Pak RT! Ini tidak masuk akal! Kami ini cuma rekan bisnis! Kami tidak ada hubungan apa-apa!"
"Tidak ada hubungan apa-apa, tapi gerobak kalian mepet sampai tabrakan seperti itu?" Pak RT menatap tajam.
"Itu namanya sudah ada 'hubungan' yang terlalu dekat, Dewi! Kalian sudah menimbulkan kekacauan, dan kekacauan ini harus diselesaikan dengan cara yang damai, cara yang bisa menjaga harmonisasi lapak!"
Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya, rambutnya yang sebagian basah kini tampak berantakan.
"Ini absurd! Ini gila! Gunawan ini... dia itu cuma penjual rujak! Aku tidak mungkin menikah dengannya!" Ia menoleh ke arah Gunawan, matanya menyala-nyala.
"Ini pasti ulahmu, kan?! Kamu sengaja membuat semua ini terjadi, supaya kamu bisa mengambil alih lapakku! Supaya lapakku diusir!"
Gunawan, yang selama ini hanya diam mendengarkan, kini merasakan tatapan semua mata tertuju padanya. Tuduhan Dewi menusuk, namun di balik ekspresi pasrahnya, ada gejolak aneh yang tak terlukiskan.
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, melainkan sebuah denyutan harapan yang sudah lama terpendam. Ia memang mencintai Dewi, sudah sejak lama. Perjodohan ini, meskipun paksaan, adalah sebuah anugerah yang tak terduga. Sebuah pintu gerbang menuju impian yang tak pernah berani ia ungkapkan. Tapi ia harus tetap terlihat pasrah, agar Dewi tidak curiga.
"Dewi, jaga bicaramu!" Bu Ida maju selangkah, sorot matanya seperti elang yang mengawasi mangsa.
"Ini bukan tentang bisnis lagi! Ini tentang etika! Kamu sudah mengotori lapak dengan drama kalian! Pak RT sudah membuat keputusan terbaik untuk kita semua!"
"Tapi, Bu Ida! Aku tidak bisa menikah dengan orang yang bahkan tidak aku sukai!" Dewi berseru putus asa, melihat sekeliling, mencari sekutu.
Tapi semua wajah yang ia temui hanya menunjukkan ekspresi setuju dengan Pak RT.
"Suka atau tidak suka, itu urusan belakangan!" Pak RT berkata tegas.
"Yang penting lapak ini damai! Dan kalian berdua harus jadi contoh! Gunawan, bagaimana menurutmu? Kamu setuju dengan keputusan Majelis Warga?"
Semua mata, termasuk mata Dewi yang penuh amarah dan kekecewaan, kini beralih ke Gunawan. Tekanan terasa begitu berat, udara seolah menipis. Gunawan bisa saja menolak, membela diri, mengatakan ia tidak bersalah.
Tapi jika ia menolak, lapak akan terus bergolak, dan mungkin ia akan kehilangan kesempatan emas ini. Ia menatap Dewi. Tatapan Dewi penuh tantangan, seolah menyuruhnya untuk berani menolak.
Sebuah senyum kecil, hampir tak terlihat, tersungging di bibir Gunawan. Senyum yang penuh arti, tapi disembunyikan di balik ekspresi lelah dan pasrah. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberaniannya, atau mungkin, kemunafikannya.
"Aku..." Gunawan menatap lurus ke mata Pak RT, lalu sekilas melirik Dewi yang masih memandangnya dengan tatapan membunuh.
"Aku setuju."
Kata-kata itu meluncur begitu saja, memecah keheningan tegang yang menyelimuti lapak.
"Apa?!" Dewi berseru, terperangah.
Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka. Ia tidak pernah menyangka Gunawan akan setuju semudah itu. Ekspresinya kini bukan lagi amarah, melainkan kebingungan yang mendalam, bercampur sedikit rasa dikhianati.
Melihat Gunawan setuju, warga lapak sontak bersorak riuh.
"Hore! Akhirnya damai!"
"Hidup Pak RT!"
"Selamat, Gunawan! Dewi!"
Pak RT tersenyum puas, meluruskan kacamatanya.
"Bagus! Bagus sekali, Gunawan! Ini baru namanya laki-laki yang bertanggung jawab!" Ia menoleh ke arah kerumunan.
"Untuk memastikan perjodohan ini berjalan lancar, dan agar kedua calon pengantin tidak mangkir dari tugasnya, kita akan bentuk tim pengawas khusus!" Pak RT menunjuk ke arah Bu Ida dan dua ibu-ibu lainnya.
"Bu Ida, Bu Marni, Bu Tuti! Kalian bertiga akan menjadi 'The Love Brigade'! Tugas kalian adalah mengawasi Gunawan dan Dewi sampai mereka sah jadi suami istri! Pastikan mereka berinteraksi dengan mesra, layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara!"
Bu Ida menyeringai lebar, matanya berbinar penuh semangat.
"Siap, Pak RT! Love Brigade siap bertugas!"
Dewi menatap Gunawan, pandangannya hampa, seolah dunia di sekelilingnya baru saja runtuh. Gunawan hanya berdiri di sana, basah kuyup, dengan senyum tipis yang masih tersembunyi, seolah ia baru saja memenangkan lotre terbesar dalam hidupnya, sementara Dewi merasa seperti baru saja dijebloskan ke dalam neraka yang super pedas.
Perjodohan paksa ini baru saja dimulai, dan bagi Dewi, ini adalah mimpi buruk, sedangkan bagi Gunawan, ini adalah awal dari sandiwara yang ia harapkan akan menjadi nyata, dan ia tahu, Dewi sama sekali belum siap dengan semua ini.