"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan pada Junho
Kabar mengenai kejatuhan Jin Seung Jo menyebar bak api yang melahap rumput kering—cepat dan tak terhindarkan. Bisnisnya, satu per satu, seperti daun yang gugur, direbut atau ditinggalkan oleh anak buahnya yang kini meragukan segalanya.
Junho, yang awalnya terhibur oleh kekacauan ini, mulai merasakan... kebosanan yang menggelayuti.
“Kurang seru, Seung Jo,” gumamnya suatu sore, memutar-mutar pisau kecil di ruang tamu penthouse-nya.
Dia menginginkan perlawanan, sedikit drama—bukan... ini yang dia lihat. Kekosongan yang ditinggalkan Seung Jo membuat kemenangannya terasa hambar. Seolah-olah, dia sudah mengasah pedang, tetapi lawannya justru menyerahkan lehernya tanpa perlawanan.
Jadi, dia memutuskan untuk mengunjungi Seung Jo sendiri—tanpa pasukan, hanya dia dan pengemudinya.
Mereka tiba di mansion yang dulunya megah, kini pintu gerbang terbuka lebar, tanpa penjaga. Taman yang dulu terawat kini dipenuhi rumput liar, jejak kehancuran ada di mana-mana—seolah-olah waktu berhenti di sini.
Junho melangkah masuk tanpa mengetuk. Di ruang kerja, dia menemukan Seung Jo duduk di lantai, bersandar pada sofa. Botol-botol whiskey kosong berserakan, ruangan itu gelap, berbau apek—seperti aroma kenangan pahit yang tak ingin diingat.
“Wah, wah, wah,” ucap Junho, mengibaskan tangannya di depan hidungnya.
“Kau merendahkan dirimu sendiri, Seung Jo. Ini sangat menyedihkan,” katanya, namun Seung Jo hanya menatap kosong ke depan.
Junho mendekat, mengamati wajah Seung Jo yang tak terawat dan mata sayunya—seolah ada badai yang mengamuk di dalamnya.
“Aku kira kau lebih tangguh. Hanya karena seorang gadis? Benar-benar mengecewakan,” ujarnya, nada ejekan tak bisa disembunyikan.
Seung Jo mengangkat kepalanya, matanya, meski redup, menatap langsung ke arah Junho.
“Dia bukan ‘hanya seorang gadis’,” jawabnya, suaranya parau.
“Oh?” Junho tersenyum, merasakan sedikit kegembiraan—akhirnya, ada respons.
“Lalu siapa dia? Cinta sejati hidupmu?” ejeknya, namun Seung Jo hanya menggeleng, tertawa getir—suara itu membuat Junho merasakan ketidaknyamanan.
“Dia adalah... pengingat,” kata Seung Jo, suaranya serak. “Pengingat bahwa di balik semua kekuatan dan kekejaman ini, aku hanyalah seorang pembunuh yang kesepian—seorang pengecut yang harus menyakiti orang yang lebih lemah untuk merasa kuat.”
Junho terdiam, senyumnya memudar—ini bukan reaksi yang dia harapkan.
“Dan kau tahu yang terburuknya?” Seung Jo melanjutkan, tatapannya tajam, seolah ingin menembus jiwa Junho.
“Aku membunuhnya, Junho. Aku. Bukan kau. Bukan orang lain. Tanganku sendiri yang mendorongnya hingga keguguran. Aku yang memintanya untuk membunuhnya.”
Dia berdiri, tubuhnya goyah—seolah beban dunia ada di pundaknya. “Kau pikir kau menang? Mengambil bisnisku adalah kemenangan? Tidak. Kekalahan terbesarku sudah terjadi berbulan-bulan yang lalu, di lantai dapur ini, ketika aku melihat napas terakhirnya menghilang dan menyadari bahwa aku telah menghancurkan satu-satunya hal yang... yang...”
Kata-katanya terhenti, terjebak dalam lautan emosinya—dia tidak tahu apa sebenarnya perasaannya terhadap Hayeon, tetapi dia tahu bahwa kematiannya telah merobek jiwanya.
Junho berdiri diam, memperhatikan Seung Jo yang kini tampak rapuh. Untuk pertama kalinya, ejekannya menghilang—dia melihat seorang pria yang hancur bukan oleh musuh, tetapi oleh dirinya sendiri.
“Ini tidak lucu lagi, Seung Jo,” ucap Junho akhirnya, suaranya datar—seolah semua warna hilang dari dunia.
“Tidak,” balas Seung Jo, tertawa pahit. “Tidak lucu sama sekali. Ini hanya... tragis.” Dia berjalan menuju jendela, memandang taman yang terbengkalai, seolah melihat bayangan masa lalu.
“Ambil semuanya, Junho. Aku tidak peduli. Tapi ketahuilah, suatu hari nanti, ketika kau duduk di atas puncak dunia yang kau rebut ini, kau akan menyadari bahwa itu semua hampa. Dan mungkin, seperti aku, kau akan membutuhkan seseorang untuk disakiti hanya untuk merasa sesuatu. Dan pada saat itu, tidak akan ada siapa-siapa di sampingmu.”
Junho tidak menjawab. Dia hanya memandangi punggung Seung Jo untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Kemenangannya terasa pahit di mulutnya—seolah dia datang untuk menari di atas puing-puing kehancuran Seung Jo, tetapi yang dia temukan adalah kuburan—bukan hanya kuburan seorang gadis dan bayinya, tetapi juga kuburan jiwa Jin Seung Jo.
Dan dalam hening yang menyakitkan, sebuah pertanyaan tak diinginkan muncul di benaknya: Apakah ini yang menungguku di ujung jalan?