NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Penyesalan Suami / Era Kolonial / Mengubah Takdir
Popularitas:47k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35. Kawasan Pelacuran

Pariyem naik, duduk di seberang Marius. Interior kereta juga sederhana; bangku kayu keras tanpa bantalan empuk, tidak ada lampu di bagian dalam, bau lembap khas kereta tua.

Kereta mulai melaju dengan gerakan tersendat, kuda yang menarik juga kuda tua, tidak secepat kuda-kuda ras yang biasa menarik kereta Asisten Residen.

Marius memeriksa jam sakunya, jam sederhana tanpa hiasan emas. Sesekali mengintip keluar jendela dengan tatapan waspada.

Pariyem berdebar tidak karuan. Akan ke tempat seperti apa? Bagaimana? Apa Marius bisa dipercaya?

Kata-kata ibunya tentang dunia di luar sana yang mengerikan menggema di kepala. Bahwa menjadi abdi dalem di rumah seorang ningrat lebih terjamin keamanannya, apalagi untuk seorang perempuan.

Dunia ini begitu kejam bagi perempuan jelata seperti mereka. Di luar, banyak bahaya; perkosaan, perdagangan manusia.

Tapi sekarang ... tidak ada pilihan lain. Rumah ningrat justru tempat paling berbahaya untuknya.

Kereta mulai masuk jalanan yang lebih gelap, jalanan kampung dengan penerangan minim. Hanya lampu minyak di beberapa rumah yang memberikan cahaya redup.

Marius tidak banyak bicara. Dia lebih banyak mengawasi ke luar dengan mata yang tajam, seperti pemburu yang sedang waspada pada bahaya.

Tiba-tiba tangannya bergerak ke saku dalam jaket, mengeluarkan sesuatu yang membuat napas Pariyem tertahan.

Pistol.

Pistol hitam mengkilap dengan laras pendek. Marius memegangnya dengan santai tapi siap, telunjuk di dekat pelatuk. Pandangannya tetap ke luar jendela.

Pariyem tidak bisa menahan diri lagi. "A-ada apa, Tuan?" bisiknya gemetar. "Kenapa mengeluarkan pistol?"

Marius menoleh. Tersenyum, senyum yang paling manis yang pernah Pariyem lihat. Senyum seperti agak geli. Seperti bapak yang menenangkan anak kecil yang takut.

"Saya mendapat laporan bahwa perampokan di kadipaten ini meningkat akhir-akhir ini," jelasnya dengan nada santai, seolah berbicara tentang kasus pencurian ayam. "Jadi saya harus berjaga-jaga. Sengaja saya memakai kereta jelek ini. Untuk saya keluar mencari tahu hal-hal tanpa membawa identitas resmi. Tapi bisa saja perampok nekat, atau karena jalanan sepi, semakin banyak yang takut keluar, jadi apapun yang melintas akan dirampok. Kuda di depan lumayan untuk dijual."

Dia kembali melihat keluar dengan waspada. Suaranya berubah serius. "Saya meneliti. Selama menjadi pejabat, saya memperhatikan, daerah-daerah yang meningkat perampokannya berbanding sejajar dengan rakyat yang kelaparan. Mereka merampok karena kelaparan. Bukan karena jahat."

Pistol tetap di tangannya, siap dipakai kapan saja. "Dan sekarang terbukti, pekerja dibayar separuh dari upah yang diberikan pemerintah kolonial untuk pembangunan tanggul. Separuh hilang. Masuk kantong siapa? Kemungkinan besar tidak hanya pejabat lokal yang korup, tapi juga pejabat Belanda rendahan yang juga menikmati. Karena jika korupsi hanya dilakukan satu orang, yang lain tentu saja akan iri, membongkar kebusukan itu. Lain cerita jika uang dinikmati bersama."

"Kenapa ... begitu, Tuan?" tanya Pariyem yang semakin penasaran dengan dunia politik.

"Dari yang saya amati. Sebagian besar kalangan ningrat suka berlomba kemewahan. Pesta besar-besaran. Upacara adat yang sangat mewah. Perhiasan berlimpah. Rumah megah. Semua untuk gengsi, agar terlihat lebih hebat dari ningrat lain."

Marius menghela napas, napas yang berat, lelah. "Saat uang tidak cukup, mereka mendapatkannya dari rakyat untuk menopang acara-acara adat mereka. Saat akan diadakan upacara pernikahan atau acara adat lainnya, saya pernah menemukan, orang-orang yang seharusnya bekerja di sawah, hampir setengah hari lebih diminta membantu persiapan seperti mencabuti rumput di halaman kadipaten yang luas, membersihkan jalanan, memperbaiki jalan, dan masih banyak lagi."

Suaranya bergetar menahan marah. "Bayangkan bagaimana kasihannya orang-orang ini. Yang seharusnya bekerja di ladang mendapat upah, tapi tenaga dipakai untuk kepentingan mereka tanpa bayaran. Ini menyalahi aturan! Pajak tenaga kerja seharusnya tidak melebihi seperlima dari waktu kerja. Tapi hampir seharian mereka bekerja untuk ningrat tanpa upah! Jika diingatkan, mereka berkata bahwa ini adalah suka rela atau mereka sebut gugur gunung."

Dia menghela napas panjang. "Dan ini tidak hanya ningrat. Banyak pejabat Belanda juga menyalahgunakan wewenang ini. Mereka sama saja. Mengatas namakan kerja rodi untuk kepentingan di kebun mereka pribadi. Tapi ketika rakyat melawan, mereka disebut penjahat, disiksa, dibungkam, dipenjarakan.”

“Lalu bagaimana nasib orang-orang itu, Tuan?”

“Yang dipenjarakan akan berakhir dengan kerja paksa dengan dirantai. Dituduhkan sebagai pemberontak yang berbahaya. Biasanya berakhir dengan kematian. Padahal mereka hanya menuntut hak. Ningrat atau pejabat Belanda itu? Mereka tidak terima kalau dikritik. Langsung menindas dengan senjata yang mereka miliki. Senjata yang difasilitasi pemerintah kolonial, yang uangnya didapat dari penarikan pajak dari rakyat."

Marius terdiam, napasnya naik turun dengan berat menahan amarah. Kereta terus melaju, melewati jalanan yang semakin gelap. Semakin sepi.

Lalu perlahan ... suasana berubah.

Cahaya mulai muncul di kejauhan, cahaya lampu-lampu warna-warni lampion. Merah. Kuning. Hijau. Seperti pelangi di malam hari.

Bau mulai tercium; bau dupa bercampur dengan bau minyak wangi murah yang menyengat, bau opium yang manis-manis pahit, dan bau masakan Tionghoa yang khas dengan bumbu pedas dan minyak wijen.

Suara-suara mulai terdengar, musik yang aneh, tidak seperti gamelan Jawa tapi juga bukan musik Eropa. Musik Tionghoa dengan alat-alat seperti biola berekor dua, gong kecil, seruling bambu yang suaranya melengking tinggi.

Tawa perempuan, tawa riang genit. Suara laki-laki yang mabuk. Bentakan-bentakan dalam bahasa yang tidak Pariyem mengerti, bahasa Hokian atau Kanton.

Kereta memasuki sebuah kawasan yang sangat berbeda dari apapun yang pernah Pariyem lihat.

Pecinan. Dan lebih spesifik, kawasan pelacuran.

Jalan-jalan sempit dengan bangunan-bangunan dua lantai yang berdesakan; dinding dari kayu dan bata yang dicat merah cerah, kuning emas, hijau zamrud. Atap lengkung khas Tionghoa dengan hiasan naga dan phoenix.

Lentera-lentera kertas merah bergantungan di mana-mana, bergoyang tertiup angin. Di depan setiap bangunan, berdiri perempuan-perempuan muda, sangat muda, mungkin baru belasan tahun, mengenakan cheongsam sutera dengan belahan tinggi di paha. Merah. Biru. Hijau. Ungu. Warna-warna mencolok yang menyala di bawah cahaya lentera.

Wajah mereka putih dengan bedak tebal. Bibir merah darah. Pipi diwarnai merah muda. Mata dibingkai dengan eyeliner hitam tebal yang melengkung dramatis. Rambut hitam panjang disanggul tinggi dengan tusuk konde emas dan bunga-bunga sutera.

Mereka tersenyum, senyum yang manis, menggoda, tapi matanya ... kosong. Lelah. Tidak ada cahaya di sana.

"Datang, Tuan! Masuk! Gadis bagus di sini!” teriak salah satu perempuan dalam bahasa Melayu campur Hokian yang kacau.

Tangannya melambai dengan sapu tangan, gerakannya menggoda. Dada digerak-gerakkan dengan sangat tidak pantas, payudara hampir tumpah karena cheongsam yang terlalu ketat. Pariyem mendelik, ini kali pertama ia melihat hal semacam ini.

1
Ricis
keren Pariyem, bner² kelimpungan dah pk Bupati 😂
Ricis
gadis yg malang, kasihan sekali kalau smpai harus hancur masa depannya dgn pemuda lain 😱
Ricis
masak iya ibunya ga mengenali 🤔
Hayisa Aaroon: lampunya dimatiin kan 😅 siluetnya mirip
total 1 replies
Ricis
mantab Yem, buat pak Bupati smkin tergila² 😀
Umi Masitoh
😍😍😍
🌺 Tati 🐙
Yem oh Pariyem
Hana Nisa Nisa
ditunggu upnya ndoro
Fitriatul Laili
pei ling dimata sudarsono tetep iyem😃
Lannifa Dariyah
kasihan sekali istrinya. Soedarsono asal nikah aja tidak memberikan nafkah batin dengan adil kpd istri2nya.
Hayisa Aaroon: di Gerbang Tanah Basah dibagi giliran tiap malam gitu, Sumi yg ngatur 😂 justru di sini setelah Sumi g ada, Pariyem jarang dapat jatah karena Soedarsono dilarang ibunya ke sana, Ampe nyuri waktu.
total 1 replies
Kenzo_Isnan.
akhirnyaaaa . .
suwun kak . .
Hayisa Aaroon: sami-sami 🙏
total 1 replies
oca
jiiiah yang takut ditinggal sama iyem
oca
aaaiii yem yem udaj kayak satpam komplek yang siap siaga🤣
oca
udah gak tahan yem😬
Kustri
hah! rodo lego,
Rahma Amma
ndoro, kok dikit amat🤭
Anindya
malih, ndoro😁
Muhammad Arifin
lagi 😁😁😁
nn.maria
Luar biasa
Hana Nisa Nisa
hhhhh....tarik nafas dulu
💜⃞⃟𝓛 GITᗩᴳᴿ🐅༄⃞⃟⚡⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
lamaaa lamaaa Soedarsono jantungan jugaa...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!