Menikah dulu... Cinta belakangan...
Apakah ini cinta? Atau hanya kebutuhan?
Rasa sakit dan kecewa yang Rea Ravena rasakan terhadap kekasihnya justru membuat ia memilih untuk menerima lamaran dari seorang pria buta yang memiliki usia jauh lebih tua darinya.
Kai Rylan. Pria buta yang menjadi target dari keserakahan Alec Maverick, pria yang menjadi kekasih Rea.
Kebenaran tanpa sengaja yang Rea dengar bahwa Kai adalah paman dari Alec, serta rencana yang Alec susun untuk Kai, membuat Rea menerima lamaran itu untuk membalik keadaan.
Disaat Rea menganggap pernikahan itu hanyalah sebuah kebutuhan hatinya untuk menyembuhkan luka, Kai justru mengikis luka itu dengan cinta yang Kai miliki, hingga rahasia di balik pernikahan itu terungkap.
Bisakah Rea mencintai Kai? Akankah pernikahan itu bertahan ketika rahasia itu terungkap? Apa yang akan terjadi jika Alec tidak melepaskan Rea begitu saja, dan ingin menarik Rea kembali?
Ikuti kisah mereka....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20.
"Bisa bantu aku melepas kemejaku?"
"Ya, tentu... Ehh... Apa?"
Seakan baru saja tersadar dengan permintaan yang Kai ajukan, Rea berbalik cepat menatap suaminya yang masih duduk di sofa.
"Entah kenapa tanganku tiba-tiba kram, jadi bisa bantu aku melepaskan kemejaku?" ulang Kai seraya berdiri.
"...."
"Aku tidak akan memaksa," Kai kembali berbicara setelah menunggu tetapi tidak mendapatkan jawaban.
"Jika kamu keberatan, aku bisa meminta bantuan pelayan atau dokter Darina sekaligus untuk memeriksa adakah yang salah dengan kedua tanganku," lanjutnya kemudian.
"Apa?" kedua mata Rea memicing, tidak menyukai gagasan meminta bantuan dokter yang jelas-jelas kedatangannya membuat hatinya terusik.
"Paman akan meminta bantuan pada dokter itu?" tanya Rea sedikit menekan suaranya.
"Bukankah ada bagusnya Darina tinggal di sini? Aku bisa meminta dia untuk memeriksa kondisiku sekaligus membantuku," ucap Kai memasang wajah muram.
Pria itu bahkan sengaja berusaha melepaskan kancing kemejanya yang berakhir gagal.
"Jemariku benar-benar kaku sekarang. Sepertinya aku terlalu lelah bekerja," ucap Kai lagi.
"Tapi..."
Rea menggantung kalimatnya, netranya tak lepas dari Kai yang masih berdiri sembari mengibaskan kedua tangan seakan pria itu benar-benar kesulitan.
"Kalau begitu, tolong panggilkan Darina saja. Aku tahu kamu tidak nyaman dengan permintaanku," pinta Kai.
"Tidak boleh!" Rea menjawab cepat.
"Hanya melepas kemeja saja kenapa harus meminta bantuan dokter? Paman sengaja ingin membiarkan dokter itu melihat Paman telanjang?" sambungnya spontan.
"Apakah menurutmu aku memiliki pilihan? Aku hanya pria buta, Re," sahut Kai, berusaha sekuat tenaga menahan tawa.
"Aku saja," sahut Rea seraya melangkah mendekat.
Rea menuntun suaminya mendekat ke arah pintu kamar mandi, berdiri di depan pria itu dengan kegugupan yang tiba-tiba datang tanpa permisi.
'Padahal setiap hari aku melihat wajahnya dari dekat, tapi kenapa sekarang aku gugup?'
Rea berkata dalam hatinya, perlahan membuka setiap kancing kemeja yang suaminya kenakan sampai kemeja itu terlepas sepenuhnya.
"Sudah. Paman bisa mandi..."'
"Bisakah kamu membantuku dalam hal itu juga?" pinta Kai cepat.
"A-Apa?" Rea melotot, menelan kasar salivanya.
"Atau..."
"Iya... Iya... Baik! Jangan gunakan nama dokter itu lagi!" gerutu Rea memotong kalimat yang akan suaminya katakan.
Kai tersenyum tipis, sangat tipis sampai Rea tidak menyadarinya. Ia bahkan menurut saat Rea menuntunnya masuk ke dalam kamar mandi. Akan tetapi, wanita itu justru berdiri tanpa melakukan apapun setelah menutup pintu.
"Jadi... Aku harus apa?" tanya Rea dengan wajah merah padam, menahan rasa malu dan gugup yang datang.
"Kamu lebih dari tahu apa yang harus kamu lakukan, Re," sahut Kai tanpa beban.
Rea kembali menelan kasar salivanya, mengulurkan tangan sembari memalingkan wajah saat tangannya melepaskan celana suaminya.
Hening...
Hanya suara gemericik air shower yang terdengar, seakan ingin menyamarkan suara degup jantung yang kini Rea rasakan. Kehangatan kulit suaminya di bawah guyuran air saat ia menggosok dada suaminya meningkatkan kegugupan yang sudah tercipta.
Di saat yang sama, Kai berdiri dalam diam, membiarkan air menyapu tubuhnya. Tatapan yang seharusnya kosong itu kini hanya terkunci pada wajah istrinya, memperhatikan setiap ekspresi yang muncul di wajah istrinya.
Wajah merah itu, gerakan sederhana saat Rea menggigit bibir bawahnya dengan wajah menunduk seakan takut untuk menatap dirinya, serta gerakan canggung yang Rea lakukan, membuat Rea terlihat menggemaskan di matanya.
Tanpa peringatan, Kai meraih pergelangan tangan istrinya, menarik dengan sentakan ringan yang membuat Rea terhuyung maju dan masuk ke dalam pelukannya.
"Paman!" Rea memekik kaget, kesempatan yang justru Kai gunakan untuk melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.
"Aku baru saja mandi, dan sekarang pakaianku basah," sambung Rea setengah menggerutu.
"Maaf..." ucap Kai tanpa penyesalan.
Rea mendongak, menatap lekat wajah suaminya dengan dahi berkerut. Pertanyaan tentang bagaimana suaminya bisa melakukan hal yang baru saja terjadi mengusik hatinya.
"Kadang aku merasa... Paman terlalu peka untuk ukuran seorang pria buta,"
Alis Kai terangkat, "Apa maksudmu?"
Rea tidak memberikan jawaban, tetapi satu tangannya terangkat, melambai tepat di depan wajah suaminya, tetapi tidak ada reaksi apapun. Diam, tak berkedip, tatapan suaminya tetap kosong seperti biasa.
"Maaf..." Rea menunduk, merasa bersalah.
Kai kembali tersenyum, mengeratkan pelukannya saat Rea berniat untuk melepaskan diri. Mendorong pelan tubuh istrinya dan mengurung tubuh sang istri menggunakan kedua tangan saat punggung itu sudah menempel pada dinding.
"P-Paman kenapa?"
Rea bertanya gugup, terutama saat wajah Kai semakin mendekat di saat ia tidak bisa lagi menghindar.
"Kamu meragukanku, Re?" tanya Kai, suaranya berubah serak.
"B-Bukan... Aku hanya..."
"Penasaran apakah aku benar-benar buta atau tidak? Atau kamu ingin menguji seberapa peka pria buta yang ada di depanmu ini?" potong Kai.
"Aku tidak bermaksud untuk..."
"Re... Kurasa... Kesabaranku tidak sebesar yang aku kira," Kai memotong lagi.
"Aku... Mulai kesulitan untuk terus menunggu,"
Rea membeku, otaknya segera menangkap apa maksud kalimat yang diucapkan pria di depannya.
"Tapi, bagaimana Paman melakukannya? Bukankah Paman...Uhm..." Rea terbata, berusaha mencari celah untuk menghindar.
"Aku kehilangan penglihatanku, Re. Bukan kemampuanku sebagai seorang pria," sahut Kai menahan tawa.
"Jika kamu tidak percaya, kenapa tidak kita uji saja? Atau kamu ragu karena aku buta?" sambungnya kemudian.
"Tidak... Bukan itu... Aku hanya..."
Suara Rea tenggelam ketika Kai tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Rea, menyatukan bibir mereka di bawah guyuran shower yang masih mengalir.
Rea terkesiap, tetapi tidak melakukan perlawanan. Seiring berjalannya waktu, kedua matanya terpejam, menyerah pada sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Sentuhan halus nan hangat yang Kai lakukan seakan menghipnotis Rea hingga ia tidak sadar Kai sudah menanggalkan setelan berlengan pendek yang sebelumnya Rea kenakan.
Kai melepaskan ciumannya sesaat. Meraba punggung basah istrinya untuk melepaskan penghalang terakhir.
"Aku menginginkanmu, Re," bisik Kai
Jantung Rea berdetak keras, wajahnya memanas, dalam hatinya berulang kali mengatakan 'aku belum siap!' tetapi, mulutnya terkatup rapat.
Tak mendapatkan jawaban, Kai kembali menyatukan bibir mereka, tersenyum saat tidak mendapatkan penolakan hingga ia mengangkat tubuh istrinya menuju tempat tidur. Membaringkannya sekaligus mengukungnya sembari meraba wajah Rea dan menyapukan ibu jarinya di bibir Rea. Tersenyum.
"Apakah kamu tidak pernah berciuman sebelumnya?" tanya Kai.
"Paman yang mengambil ciuman pertamaku di pernikahan kita waktu itu," Rea menjawab polos, sedikit terengah.
Kai tertegun sesaat, ia sempat berpikir Rea dan Alec pernah melakukannya mengingat hubungan mereka terjalin cukup lama. Tetapi, kekakuan Rea saat ia mencium bibir itu adalah kejujuran yang nyata, cukup untuk membuat ia kembali tersenyum. Jemari tangannya bergerak turun, menyusuri garis leher Rea seakan ingin menghafalnya. Kemudian kembali mendekatkan wajah.
Bibir mereka kembali bertemu, kali ini lebih dalam dan lama. Sementara tangan Kai tak tinggal diam. Meraba, menekan, bahkan meninggalkan jejak hangat di kulit istrinya yang terbuka saat bibirnya bergerak turun hingga mendatangkan getaran dan denyut misterius di rongga bawah perut Rea.
"P-Paman..." Rea terbata. Tak mengerti dengan getaran aneh yang baru saja ia rasakan.
Kai tersenyum, bibir dan jemarinya tak ragu bermain yang membuat suara indah itu kembali lolos dari mulut Rea. Dan ketika penyatuan itu terjadi, saat itu jugalah Rea sadar dirinya sudah menjadi milik Kai sepenuhnya. Dan itulah yang menjadi keinginannya.
Rea tidak tahu, jika keputusannya saat ini akan mengubah kehidupannya sepenuhnya.
. . . .
. .. .
To be continued...