Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Syuting baru selesai jam enam sore. Tapi itu belum apa-apa. Besok mereka masih ada syuting lagi. Kemungkinan syutingnya akan berjalan selama dua minggu. Itu kata sutradaranya. Ada beberapa model juga yang akan di ganti karena tidak cocok dengan konsep.
Juno, manajer Hyun-jae masih ada meeting. Jadi Hyun-jae pulang sendiri di antar sopir yang menjemputnya tadi pagi.
"Pak, mampir sebentar di cafe itu." kata Hyun-jae. Si sopir mengangguk.
"Aden mau mampir makan atau mau di bawa pulang?" tanya si sopir.
"Bawa pulang."
"Kalo gitu biar saya aja yang beli."
"Tidak perlu. Tenang saja, tidak ada yang akan kenal saya." kata Hyun-jae lalu mengambil topi, kacamata dan masker hitam untuk menutupi sebagian besar wajahnya. Di Seoul juga dia biasa seperti itu, dan tidak ada yang mengenalnya sama sekali.
Si sopir masih agak ragu tapi akhirnya menganggukkan kepala.
Hyun-jae turun dari mobil dengan langkah tenang, menundukkan kepala, memastikan masker, topi, dan kacamata menutupi wajahnya dengan baik.
Udara malam tidak dingin seperti di Seoul. Karena Jakarta memang terkenal dengan udara panasnya.
Tubuhnya lelah setelah seharian berhadapan dengan sorot kamera, cahaya lampu, dan arahan sutradara yang tiada henti. Lampu neon café kecil di sudut jalan itu menyala hangat, memantulkan cahaya kuning keemasan ke aspal yang sedikit basah.
Pintu kaca berbunyi pelan ketika ia mendorongnya masuk. Aroma kopi segar dan roti panggang segera menyambutnya, menusuk hidungnya dengan keakraban yang entah mengapa menenangkan. Café itu tidak ramai, hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan laptop, sepasang kekasih yang asyik bercanda pelan di pojok, dan seorang barista yang sedang menyusun gelas di rak. Musik jazz lembut mengalun, cukup untuk menutupi suara napas panjang yang ia hembuskan.
Hyun-jae mendekat ke meja kasir. Barista yang berambut pendek dan memakai apron hitam itu menoleh, tersenyum sopan.
"Selamat malam mas, ada yang bisa saya bantu?"
Suara itu terdengar ramah. Hyun-jae menurunkan topi sedikit lagi, lalu menunjuk papan menu di atas kasir.
"Satu chicken sandwich, pasta, cheesecake satu, burger dua, espresso satu, dan... Americano. Semua dibungkus."
Barista itu mencatat pesanan tanpa terlihat curiga. Syukurlah. Di Seoul, dia sering memakai penyamaran seperti ini, tapi tidak jarang tetap ada fans yang mengenali sorot matanya atau sekadar curiga karena posturnya. Malam ini, ia merasa cukup aman. Lagipula ini Jakarta, pasti tidak ada yang akan mengenalinya.
Hyun-jae sengaja memasang banyak karena ia tahu ada si gadis merepotkan di apartemennya. Mungkin saja gadis itu belum makan.
"Silakan duduk dulu, pesanan akan segera kami siapkan," ujar barista.
Hyun-jae menoleh sekilas ke arah sudut café yang kosong, lalu memutuskan untuk menunggu sambil duduk. Ia menurunkan tubuh ke kursi, mengusap pelan tengkuknya yang pegal.
Pandangannya jatuh pada dinding penuh foto hitam putih, gambar bangunan tua, orang-orang berjalan di jalan sempit, dan potret kopi yang dituang perlahan. Entah kenapa, kesederhanaan café itu membuatnya merasa seperti orang biasa. Bukan aktor, bukan anak dari pemilik maskapai penerbangan internasional yang sangat berpengaruh di Korea, hanya ingin hidup sederhana saja tanpa banyak tuntutan. Sayangnya menjadi aktor juga banyak tuntutan.
Hyun-jae dan Sean memang terlahir dari keluarga kaya raya yang tidak biasa. Keluarga mereka sering masuk berita bisnis dan majalah ekonomi.
Dari luar tampak sempurna, keluarga elit, bisnis besar, jet pribadi, saham, hubungan politik.
Tapi bagi Hyun-jae, itu adalah beban besar. Dia harus selalu tampil sempurna, menjaga nama baik keluarga. Ayahnya sempat melarang dia jadi aktor, tapi entah kenapa hal itu dipakai Hyun-jae untuk melawan balik ayahnya. Menjadi aktor memang bukan cita-citanya dari awal, tapi sekarang dia sudah terbiasa.
Sean sendiri, lebih memilih hidup mandiri di Indonesia untuk meraih cita-citanya menjadi atlit.
Ia meraih ponselnya, mengecek pesan. Ada beberapa notifikasi dari Juno yang mengingatkan jadwal besok, panggilan pukul delapan pagi, adegan luar ruangan, dan fitting kostum malam harinya. Dua minggu penuh, pikirnya. Ia menarik napas panjang.
Hyun-jae memejamkan mata sebentar, mencoba merilekskan pikirannya. Bahunya terasa berat, otot punggungnya tegang. Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu lama. Syukurlah, para pengunjung lain sibuk dengan urusan masing-masing.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari pintu masuk, terdengar suara beberapa anak muda yang baru datang. Mereka terlihat ceria, menenteng laptop dan tas kamera. Salah satu dari mereka sempat melirik ke arahnya. Hyun-jae segera menunduk, pura-pura memainkan ponselnya. Ia tahu, sekalipun ini Jakarta, ada saja orang yang menonton drama Korea atau mengikuti berita entertainment. Kalau sampai ada yang mengenali, malamnya bisa berakhir kacau.
Barista memanggil namanya lagi,
"Pesanan untuk meja depan, sudah siap."
Hyun-jae berdiri, mengambil paper bag besar berisi makanan. Berat juga, tapi masih bisa ia bawa.
"Terima kasih," ucapnya singkat.
Saat ia hendak berbalik, langkahnya terhenti. Gadis yang duduk di pojok, mengenakan hoodie abu-abu, sedang menatap ke arahnya. Tatapannya tidak biasa, bukan tatapan sekadar pengunjung café, melainkan penuh pengamatan. Hyun-jae memastikan topinya tetap menutupi sebagian wajah. Ia melangkah cepat keluar sebelum terlalu lama terjebak dalam kontak mata.
Udara malam kembali menyambutnya. Sopir segera turun, membuka pintu.
"Cepat sekali, den. Aman?"
Hyun-jae mengangguk, masuk ke mobil.
"Aman. Ayo pulang."
Mobil bergerak perlahan menyusuri jalanan Jakarta yang masih ramai. Lampu kota berkilau, lalu lintas padat meski sudah lewat jam makan malam. Hyun-jae menyandarkan kepala ke jok, mencoba mengabaikan pikiran yang berlarian di kepalanya.
Setibanya di apartemen, ia segera naik ke lantai atas. Begitu pintu terbuka, suara langkah kecil terdengar dari dalam. Gadis yang ia sebut merepotkan itu muncul, rambutnya berantakan, masih mengenakan kaus kebesaran.
Sepertinya baru bangun tidur. Ketika pandangan mereka bertemu, gadis itu langsung berbalik dan buru-buru mau masuk ke kamarnya, tapi suara berat Hyun-jae menghentikan langkahnya.
"Kau sudah makan?"
"Belum!" Gadis itu menjawab cepat.
Begitu kata itu keluar dari mulutnya Harin langsung mengutuk dirinya sendiri.
Ya ampun Harin, kamu itu nggak ada jaim-jaimnya. Harusnya bilang sudah. Masa iya gak jaim, mana cowoknya ganteng banget dan lebih dingin dari kulkas pula.
Gumamnya dalam hati. Ia tidak melihat ujung bibir Hyun-jae berkedut.
"Ayo makan bersama. Kebetulan aku bawa makanan sisa syuting." bohong Hyun-jae. Jelas-jelas dia sendiri yang beli.
"Makanan sisa?" ulang Harin.
"Kenapa, tidak terbiasa makan makanan sisa?" Hyun-jae menatapnya tajam.
"Bukan, bukan itu maksud aku!"
Haishh, Harin jadi kelabakan.
ketahuan kamu Luna ...😁😂😂