Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kalah
Di ruang baca keluarga Shailendra. Aroma tembakau mahal mengambang di udara, terselip di antara tumpukan buku tua dan koleksi artefak dari berbagai negeri. Di kursi berlengan kulit hitam, Shailendra duduk diam, memandangi gelas kristal di tangannya yang belum juga disentuh.
“Dia… hamil, Tuan.”
Kalimat itu menggema sekali lagi di telinganya, meski orang kepercayaannya--Fery, telah lama pergi dari ruangan itu.
Laras/Ayla.
Wanita itu.
Sejak pertama kali mengetahui siapa Ayla, ia langsung menentang hubungan Bayu dengan wanita itu. Janda dari keluarga yang—menurutnya—tak punya akar atau nama yang pantas disebut dalam lingkaran sosial mereka. Adik Ayla sendiri merebut suami Ayla. Dan sekarang, Ayla... mengandung.
Shailendra mendengus pelan, tapi tidak marah. Tidak seperti biasanya. Sebaliknya, yang ia rasakan adalah kekacauan yang tak ia kenali.
Ayla hamil.
"Jika usia kandungan yang disebutkan Fery tadi cocok dengan waktu kebersamaan terakhir wanita itu bersama Bayu—maka kemungkinan besar… itu darah dagingku "
"Cucuku."
"Cucu pertama."
Shailendra menatap tangan kirinya yang keriput, jari-jarinya gemetar tak kentara. Usianya hampir tujuh puluh. Di usia itu, tak ada yang lebih ia harapkan selain melihat keturunannya lahir dan meneruskan nama besar keluarga Shailendra.
Ia sudah terlalu lama menanti. Terlalu lama menutup mata pada kenyataan bahwa pernikahan Bayu dan Ellen tak pernah menyentuh arti sejati sebuah rumah tangga. Dua puluh tahun mereka menikah, dan selama itu pula ranjang mereka kosong.
Dan kini, justru wanita yang ia tentang mati-matian… membawa janin yang mungkin menjadi pewaris nama besar keluarganya.
“Apa yang kau pikirkan, Bayu…” gumamnya, lirih. “Kau begitu keras kepala, bahkan setelah semua yang kulakukan…”
Ia meletakkan gelas di meja, bangkit perlahan. Tubuhnya memang renta, tapi pikirannya masih setajam dulu. Dan malam itu, pikirannya berperang dalam diam.
Antara kehendak sebagai seorang ayah yang ingin menjaga nama baik anak dan garis keturunannya.
Dan hati seorang lelaki tua… yang mendadak ingin mendengar tawa seorang bayi di rumah besar yang terlalu sunyi itu.
Shailendra menatap foto keluarganya yang terpajang di dinding. Foto pernikahan Bayu dan Ellen, terlihat sempurna… namun dingin. Palsu. Lalu di sampingnya, foto dirinya saat muda, memegang Bayu kecil di pelukannya.
“Jika benar itu cucuku…” katanya lirih, hampir tak terdengar, “apa aku pantas menolaknya?”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian dekade, Shailendra merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Bukan kemarahan. Tapi takut.
Takut… kehilangan kesempatan yang telah ia tunggu seumur hidup.
Di Jakarta
Ruang tamu rumah Arka itu senyap, hanya denting sendok kecil di cangkir teh yang terdengar. Di hadapan Ayla, duduk Arka dan Ira—pasangan yang sudah seperti keluarganya sendiri. Ayla menatap berkas yang baru saja diletakkan Arka di atas meja kaca. Tangannya ragu membuka lembar pertama, seolah tahu bahwa di dalamnya tersimpan kebenaran yang akan mengubah segala yang ia yakini selama ini.
Arka, mantan komandan pasukan khusus yang dulu menyelamatkannya dari rumah neraka bernama pernikahan, kini kembali duduk di hadapannya sebagai pelindung. Tapi tak ada misi yang lebih berat dari yang satu ini.
"Dari koneksi yang aku punya," Arka memulai, suaranya berat dan tegas, "kami telah menemukan siapa yang memalsukan rekam medismu."
Ayla menoleh pelan, menatapnya dengan pandangan kosong. Hatinya menegang.
"Memalsukan?" ulangnya lirih. "Jadi ini bukan malpraktik? Ini… disengaja?"
Ira yang duduk di sebelah Arka menghela napas, panjang dan dalam. Matanya melembut, menatap Ayla seperti seorang kakak pada adiknya yang baru saja ditampar kenyataan.
"Iya, Ayla. Ini bukan malpraktik. Ini rekayasa."
Degup jantung Ayla mendadak kacau. Matanya membesar, berair. "Siapa yang melakukannya…?" suaranya nyaris tercekat.
Arka menatapnya lurus, tanpa keraguan.
"Sherin. Adik angkatmu."
Hening. Dunia seperti berhenti berputar selama beberapa detik. Ayla menunduk, menggeleng pelan. Tidak… tidak mungkin. “Sherin…?” gumamnya lirih. Tangannya mencengkeram ujung berkas di pangkuannya, tubuhnya mulai gemetar.
"Dia tak akan..." suaranya patah. "Dia tak akan sejahat itu padaku. Aku tak pernah menyakitinya, Kak. Tak pernah."
Air mata jatuh satu per satu tanpa isak. Ayla bukan menangis karena marah, tapi karena luka yang terlalu dalam. "Kasih sayang orang tua angkatku --orang tua kandung Sherin… semua tercurah padanya. Aku bahkan hanya dianggap seperti ATM berjalan. Tak pernah diberi cinta lagi sejak Sherin lahir. Tapi aku… aku tetap mencoba menjadi anak yang berbakti dan kakak yang baik. Aku tak pernah membenci Sherin. Kenapa dia membalas dengan ini?"
Ira mendekat, menggenggam tangan Ayla dengan hangat. Suaranya lembut namun mengandung kepedihan.
"Mungkin kau yang lebih tahu alasannya. Yang pasti, Sherin punya ambisi—status, kemewahan, pengakuan. Dan dia memilih cara tercepat untuk mendapatkannya… termasuk menjerat Edward."
"Setelah Edward dipenjara," Arka menyambung dengan nada dingin, "Sherin hidup dalam kehancuran. Dia kembali ke rumah dengan dua orang tua yang sudah jatuh miskin. Setelah melahirkan, dia menjadi simpanan om-om untuk bertahan hidup. Orang tua angkatmu meninggal dalam kemiskinan. Anak Sherin… dititipkan di panti asuhan."
Ayla memejamkan mata. Dunia rasanya begitu gelap. Sherin yang dulu ia dekap sebagai adik, telah menghancurkan hidupnya. Diagnosis palsu itu membuatnya mengubur harapan. Membuatnya merasa tak layak, tak sempurna, tak pantas mencintai Bayu.
“Lebih dari dua puluh tahun hidupku hilang karena kebohongan itu…” bisiknya lirih, suara yang seakan menggema dari jurang keputusasaan.
Arka mencondongkan tubuh ke depan. "Aku bisa mempersiapkan tuntutan pada Sherin dan staf rumah sakit yang membantu manipulasi ini. Kalau kau menginginkannya, aku pastikan mereka mendapat ganjarannya."
Ayla terdiam. Ia tak langsung menjawab. Matanya memandang keluar jendela, menatap langit senja Jakarta yang keruh.
Balas dendam tidak pernah menjadi bagian dari dirinya. Tapi keadilan—ya, mungkin itu yang dibutuhkannya. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk anak yang sedang tumbuh dalam rahimnya, dan untuk setiap perempuan yang pernah dihancurkan dengan cara serupa.
Ia menoleh pada Arka dan Ira. Suaranya tenang, tapi penuh ketegasan.
"Lakukan. Proses semuanya. Aku ingin kebenaran ini tak lagi dikubur."
-----
Ruang Interogasi Sementara – Jakarta
Cahaya neon menggantung dingin di langit-langit, menyorot dua perempuan yang dulu dipanggil "saudara." Tapi kini, yang tersisa di antara mereka hanyalah luka yang tak pernah dijahit dan dendam yang telah membusuk terlalu lama.
Ayla—dulu Laras—duduk dengan tenang, matanya tajam menatap perempuan di depannya. Sherin tampak kurus, wajahnya kusut, tapi sorot matanya masih menyala—bukan karena hidup, tapi karena kebencian yang mendidih.
"Aku bahkan tak menyangka kau masih hidup," Sherin membuka suara, mengejek. "Kupikir kau sudah mati mengenaskan. Setidaknya, menderita seumur hidup."
Ia menatap Ayla dari ujung rambut sampai kaki. Matanya mengeras saat melihat Ayla tetap terlihat anggun meski usianya sudah lewat kepala empat.
"Dan lihat kau sekarang. Masih cantik. Masih punya harga diri. Masih bisa menatapku dengan kepala tegak. Apa tidak cukup, Laras?" suaranya mulai meninggi. "Sejak kecil, kau selalu lebih—lebih pintar, lebih baik, lebih dicintai. Aku cuma bayanganmu!"
Ayla menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. Tapi ia masih diam.
"Kau tahu apa yang menyakitkan?" Sherin melanjutkan, suaranya pecah. "Bahkan setelah kau pergi dari rumah itu, setelah hidupmu hancur, mereka… mereka tetap membandingkanku denganmu! Orang tuaku sendiri!"
Matanya memerah, air mata tak tertahan, tapi bukan karena sedih. Itu amarah yang meledak terlalu lama ditahan.
"Mereka bilang hidup mereka tak akan hancur kalau aku nggak lahir! Mereka bilang, ‘kalau saja Laras yang tetap bersama kami, hidup kami pasti lebih baik.’ Bahkan setelah semua itu, mereka tetap mencintaimu. Bukan aku. Anak kandung mereka sendiri!"
Ayla menggigit bibir bawahnya. Seluruh tubuhnya menegang, namun ia tetap tak berkata apa pun.
"Mereka menyesal! Mereka mengaku telah salah meninggalkanmu dan menyia-nyiakanmu demi aku! Mereka bilang kau anak baik, dan aku hanya anak pembangkang. Mereka sangat ingin minta maaf padamu… sebelum mati! Dan aku?" Sherin memukul dadanya sendiri. "Aku anak yang diharapkan lahir tapi disesali!"
Suaranya kini bergetar, seperti api yang kehabisan oksigen tapi belum padam sepenuhnya.
"Kau nggak usah ngapa-ngapain, Laras. Cukup ada, dan semua orang mencintaimu. Sedangkan aku? Aku harus berdarah-darah hanya untuk dipandang."
Akhirnya Ayla bicara. Suaranya lirih, tapi tajam seperti pisau yang menusuk dari dalam.
"Kau pikir aku bahagia?" ia menggeleng pelan. "Kau pikir hidupku mudah? Mereka mencintaimu seperti ratu, Sherin. Aku cuma bayangan tak diakui. Diperlakukan seperti beban, tapi tetap dituntut untuk berbakti. Kau dapat cinta mereka. Aku cuma dapat tanggung jawab yang tak pernah bisa kutolak."
Sherin menunduk, napasnya tersengal. Tapi Ayla belum selesai.
"Tapi aku tidak pernah membencimu. Tidak pernah ingin kau menderita. Aku hanya ingin diterima. Dan saat kau hancurkan hidupku dengan diagnosis palsu itu, kau bukan hanya mencuri dua puluh tahun dari hidupku. Kau mencuri kesempatan terakhirku untuk percaya pada dunia."
Sherin terkesiap. Tapi Ayla berdiri, tak menunggu simpati atau jawaban.
"Kau benci aku karena aku jadi pantulan luka yang tak pernah kau sembuhkan. Tapi aku tidak akan membalas kebencian itu. Karena sekarang, kau sudah kalah. Bukan olehku. Tapi oleh dirimu sendiri."
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu