Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdua lebih baik -13
...Untuk saat ini, kamu tidak usah tau lukaku apa. ...
...Biarkan itu tersembunyi, agar tidak menyakiti. ...
...Walau aku tau, suatu saat nanti, kamu pasti akan mengetahui. ...
***
Semakin siang matahari semakin garang. Membuat Rai mengeluh kepanasan. Tangannya sesekali terangkat untuk menutupi matahari agar tidak menyilaukan matanya.
"Ke kelas aja yuk, Rey? Panas banget disini."
Rey langsung mengangguk mengiyakan. "Ayok!"
Mereka mulai melangkah bersama, menyisiri lorong sekolah yang terlihat ramai siang ini.
Rasanya Rai cukup canggung ketika berjalan berdua dengan Rey sekarang, padahal biasanya tidak. Karena kata dan senyum yang Rey paparkan barusan masih belum bisa ia lupakan.
Terlalu sulit untuk ia hapus dari ingatan.
"Tumben diem? Bukan lo banget."
Tumben juga Rey berisik. Bukannya Rey ini tidak suka dengan orang yang berisik?
"Kamu sih malah bilang aku manis. Jadi canggung, 'kan."
Entah kenapa akhir akhir ini Rey tak bisa untuk tidak tersenyum ketika bersama Rai. Bahkan sekarang Rey tertawa ringan.
"Tapi bener, 'kan? Lo emang manis."
Astaga. Rai saja belum bisa melupakan perasaannya barusan. Ini malah kembali ditambah dengan kalimat yang sama.
"Rey! Diem, deh! Serius, aku lebih suka kamu diem kayak awal ketemu. Daripada banyak omong, dan buat hati aku terbang kayak sekarang." Ucap Rai kesal.
Rai sudah memasang wajah garang, tapi di mata Rey, wajah itu terlihat lucu dengan kacamata bulat yang bertengger indah di matanya.
"Gue baru sadar, ternyata lo lucu banget, ya."
Sepertinya Rey sedang kesurupan. Soalnya dari tadi kata-katanya manis semua, senyumnya juga.
"Maksud kamu ini apa, sih? Dari tadi ngegombal mulu. Bukan kamu banget."
"Heran, ya?"
Rai mengangguk. "Heem."
Memang dasarnya orang yang sedang jatuh cinta, Rai mengangguk saja terlihat indah dimatanya.
"Kalau orang introvert tiba-tiba jadi ekstrovert sama lo. Itu tandanya lo itu spesial. Dan buat gue, lo spesial, Rai."
Lagi, Rai terlihat lucu ketika memiringkan wajahnya karena penasaran. "Dari apanya aku spesial? Kayak martabak aja spesial."
Rey tiba-tiba tertawa. Membuat pasang mata disekitarnya melihat ke arah mereka. Termasuk Rindu yang sedari tadi memperhatikan dan menatap Rai tajam.
"Ya intinya spesial aja."
Rai bergidik ngeri. Merasa aneh karena sikap Rey benar-benar berbeda dari sebelumnya.
"Ngeri aku. Kabur, ah!"
Rai langsung berlari dengan cepat, meninggalkan Rey yang masih mengembangkan senyumnya karena Rai tiba-tiba lari dengan muka yang memerah.
Rey menggelengkan kepalanya, lalu mulai berjalan cepat untuk mengejar Rai yang sudah jauh di depan sana.
***
Telinganya merasa damai ketika mendengar lagu yang sedang diputar, juga suara Rai yang sesekali ikut bernyanyi untuk menikmati.
Ramainya orang diluar tak mereka pedulikan. Padahal sorak sorai yang sedang terdengar pasti membuat siapapun ingin tau apa yang sedang semua orang sorakkan sekarang.
"Aku mau minta tolong. Boleh, gak?"
Suara Rai mampu membuatnya langsung meninggalkan apa yang sedang dikerjakan.
"Minta tolong apa?"
Sebelum menjelaskan, Rai menyengir sebentar. "Tolong pakein pacar Arab di kuku kiri aku. Soalnya susah, karena yang kanan udah aku pakein, dan belum kering." Ucapnya sembari mengangkat tangan kanannya yang baru saja Rai cat dengan pacar Arab.
"Boleh. Simpen sini tangan kiri lo."
Rai menurut.
Hembusan napas Rey begitu terasa di tangannya. Begitu tenang, dan terasa nyaman.
"Ibu lo itu..sakitnya baru, atau udah lama?"
Rey ingin tau lebih banyak tentang Rai. Makanya ia berusaha membuka obrolan duluan.
"Katanya sih udah lama. Mungkin ada sekitar dua tahun. Mamah nyembuiin itu dari aku soalnya. Tiba-tiba ngasih tau waktu Ayah meninggal, tambah ngerasa sedih aku waktu itu."
Rey tau kenapa Ibu Rai tidak mau memberitahu anaknya. Ia sangat tau alasannya apa, karena ia juga sekarang sedang menyembunyikannya.
"Mungkin beliau lakuin itu supaya lo gak banyak pikiran? Dan biar lo gak terlalu mengkhawatirkan?"
Terdengar hembusan napas ringan dari Rai. "Mau alasan apapun itu, aku berhak tau. Masa iya mau terus disembunyiin sama anaknya sendiri?"
Yang namanya menyembunyikan memang tidak benar. Cepat atau lambat, hal yang disembunyikan itu pasti mencuat ke permukaan.
"Omong-omong, lo berapa bersaudara?"
"Dua, aku anak bungsu. Tapi Kakakku udah sama Ayah disana."
Mendengar bagaimana suara Rai memelan, membuat Rey menyempatkan diri untuk melihat wajah itu sebentar.
Wajah bermata sayu itu kini bertambah sendu. Dan senyum yang selalu Rey suka itu kini tidak terlihat mengembang di wajah Rai yang pilu.
Rey berhenti sebentar mengoleskan pacar Arab di kuku Rai. Dan menatap wajah yang sedang tertunduk dalam itu untuk ia semangati walau hanya dengan kalimat sederhana yang ia punya.
"Hidup itu untuk mati, bukan untuk meratapi. Kematian itu udah biasa buat kita, Rai. Tapi kadang hati kita belum bisa menerima."
Rai mengangguk pelan. "Iya, kamu emang bener. Hati aku belum bisa nerima kepergian mereka. Dan aku takut buat ditinggalin lagi, sama Mamah. Yang aku punya cuman Mamah sekarang."
"Gak ada anak yang gak khawatir ditinggal orang tuanya. Itu perasaan yang wajar. Gak papa, lo harus bisa untuk selalu tenang. Itu cuman ketakutan lo doang."
Kalimat Rey ternyata berpengaruh begitu besar terhadap hati Rai sekarang. Bahkan ia bisa merasakan tenang, setelah kemarin hatinya sangat berantakan.
Ia belum bisa mengendalikan, dan berakhir menangis sendirian. Tapi sekarang, ketika telinganya mendengar kalimat yang Rey paparkan, ia bisa kembali menemukan kepercayaan. Dan menganggap jika semua akan selalu baik-baik saja, selagi ia bisa mengendalikan perasaan.
"Makasih, buat kalimatnya."
Rey tersenyum, dan menganggukkan kepalanya.
Sekarang, Rey bisa kembali fokus untuk membantu Rai mewarnai kukunya.
Rai juga sekarang memperhatikan bagaimana tangan Rey menari dengan indah di atas kuku-kukunya.
Dan tak sengaja, mata Rai melihat warna kuku Rey yang berbeda dengan kebanyakan orang, termasuk dirinya juga.
Kuku Rey berwarna ungu. Dan Rai baru menyadari itu.
"Kuku kamu kok warnanya gitu?"
Rey langsung mengangkat tangannya dan melihat kukunya sendiri. "Anggap aja kuku gue ini termasuk hal yang langka." Ucap Rey sembari mengepalkan tangannya.
"Iya, sih. Itu masuknya langka."
Rai hanya tidak tau, jika kukunya menjadi seperti ini karena penyakitnya, bukan karena kelangkaan yang ia sebutkan barusan.
"Gue mau pake ini juga, boleh?" Tanya Rey sembari mengangkat pacar Arab yang Rai bawa dari rumahnya.
"Banget. Mau aku bantuin?"
"Emang punya lo udah kering?"
Rai melihat kukunya sebentar. "Sebentar lagi kering. Nanti udah itu aku bantuin."
"Oke."
Sembari menunggu, Rey menulis sebentar di atas kertas usang yang ia temukan di lokernya kemarin siang. Tentang Rai dengan sejuta kisah kelamnya, juga tentang dirinya yang berusaha menutupi lukanya.
'Tetap tegak, walau kamu selalu terkoyak.'
***
^^^24-Mei-2025^^^