Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musim yang tak pernah bertemu
Hari-hari terlewati perlahan. Hubungan antara Rendi dan Bunga tak lagi sekaku dulu. Meski masih ada jarak yang membentang diam-diam di antara mereka, keduanya mulai terbiasa. Perhatian yang Bunga berikan tetap dibingkai dalam peran profesionalnya sebagai sekretaris. Dan Rendi—meski menyadari ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan—memilih untuk tidak membukanya. Selama Alisya dan Rasya tak terganggu, itu sudah cukup baginya.
Sore itu, di ruang kerja yang sunyi, hanya denting jam dinding dan suara kertas yang dibalik yang mengisi sela waktu.
“Pak, ini… sudah hampir tiga bulan,” ucap Bunga pelan, berdiri ragu di sisi meja kerja Rendi yang tengah serius memeriksa berkas proyek Yogyakarta.
Rendi menghentikan gerak tangannya, menoleh pelan menatap Bunga. Matanya bertanya, tapi mulutnya tetap diam.
Bunga langsung menunduk, suaranya sedikit gugup, “Maksud saya... proyek Yogyakarta, Pak.”
Sekilas senyum muncul di wajah Rendi. Senyum kecil, tak sepenuhnya hangat, tapi cukup untuk mencairkan kegugupan di udara. Ia menutup map yang sedang dibacanya, menarik napas sejenak.
“Seharusnya proyek itu rampung minggu ini,” ucapnya sambil mengambil ponsel di meja. Tanpa berkata lebih lanjut, ia segera menghubungi kepala bagian konstruksi, suaranya tegas dan lugas, menjelaskan langsung tentang progres dan kendala di lapangan.
Bunga hanya berdiri di sana, menyaksikan punggung pria itu dengan rasa yang sulit dijelaskan—antara rindu yang ditahan dan peran yang harus tetap dijaga.
...****************...
Tak lama setelah menutup telepon, Rendi melihat Bunga masih duduk di kursinya di ruang kerja. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun tetap berusaha tegar.
Rendi melangkah mendekat, lalu berkata pelan,
"Bagaimana kondisi ayahmu?"
Bunga menoleh pelan.
"Sampai sekarang belum ada perkembangan berarti. Kata dokter... beliau masih bertahan sejauh ini," ucapnya, suaranya terdengar menahan lelah.
Rendi mengangguk, lalu menepuk lembut pundaknya.
"Syukurlah... Semoga lekas membaik, ya."
Hari sudah menjelang sore. Suasana kantor lebih lengang dari biasanya. Rendi pun beranjak, hendak pulang, sementara Bunga hanya menatapnya sekilas lalu ikut bangkit berdiri, hendak keluar dari ruangan.
Namun langkahnya tertahan.
"Bunga?" panggil Rendi.
Bunga menoleh "Mau tengok ayahmu?" tanya Rendi dengan nada hangat. Ia berjalan mendekat Bunga hanya mengangguk pelan.
"Biar saya antar sekalian," ucap Rendi. "Kurang lebih tiga bulan lalu terakhir saya melihat beliau."
Bunga menunduk sejenak, lalu mengangguk. Mereka pun pergi bersama.
...****************...
Perjalanan mereka sunyi. Jalanan sore itu penuh cahaya yang mulai meredup, namun di dalam mobil, hanya keheningan yang menemani. Tak ada yang berubah dari perasaan Rendi. Ia menyetir dengan tenang, tapi pikirannya tidak damai. Ada bagian dari dirinya yang ingin lepas dari semua ini, tapi juga bagian lain yang terus menambah beban.
Semakin lama, kebohongan itu tumbuh, pikirnya. Semakin sering ia bungkam, semakin besar pula ia menjadi 'kebenaran' yang ia jalani setiap hari... di hadapan Alisya.
Tiba-tiba, suara lirih memecah sunyi.
"Pak..." ujar Bunga pelan.
"Hmm?" sahut Rendi, matanya tetap fokus ke jalan.
Bunga terdiam. Tidak ada kata lanjutan. Rendi sempat melirik ke arahnya, lalu tanpa banyak bicara, ia menepikan mobil ke pinggir jalan. Ia turun sebentar dan kembali tak lama kemudian, membawa seplastik roti hangat dan dua botol air mineral.
"Untukmu," katanya sambil menyodorkan plastik itu ke Bunga.
Bunga memandangnya, matanya sedikit berkaca.
Bukan karena rotinya. Tapi karena perhatian kecil itu terasa begitu hangat di tengah dinginnya perasaan yang selama ini ia simpan sendiri.
"Terima kasih..." ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan
...****************...
Rumah sakit itu tampak tenang dari luar, seolah menyembunyikan hiruk-pikuk yang menggeliat di dalamnya. Di balik kaca-kaca bening, lorong-lorongnya dipenuhi langkah kaki dan desah napas harap. Beberapa pasien terbaring dalam senyap, ditemani orang-orang yang mencintai mereka dengan sabar dan setia.
Bunga berjalan di samping Rendi, langkahnya pelan namun hatinya berdebar. Ruang rawat ayahnya berada di lantai khusus, kelas VVIP—tenang, bersih, dan jauh dari kebisingan. Ketika pintu terbuka, seketika dada Bunga terasa ringan.
“Ayah...” lirihnya pecah saat melihat sosok lelaki tua itu duduk bersandar di tempat tidur, sudah tanpa selang dan alat bantu. Pak Hendra tersenyum lebar, dan ketika Bunga mendekat, ia langsung memeluk putrinya erat-erat.
“Jangan nangis, Nak...” bisik Pak Hendra sambil mengusap rambut panjang Bunga yang tergerai, lembut dan penuh kasih.
Rendi hanya berdiri beberapa langkah di belakang mereka, ikut tersenyum melihat kehangatan itu. Ketika akhirnya Bunga melepaskan pelukannya, Pak Hendra mengulurkan tangan kepada Rendi.
“Sama suamimu ke sini ya. Rendi...” ucapnya dengan senyum hangat. Rendi menjabat tangan Pak Hendra dan menunduk, mencium punggung tangan beliau sebagai bentuk hormat.
“Terima kasih ya, sudah jaga anak Om... walau dalam ikatan yang tak disengaja,” lanjut Pak Hendra dengan suara rendah namun bermakna. Ia menepuk tangan Rendi, berusaha turun dari tempat tidur, tapi Rendi sigap menahannya dengan tenang.
“Syukurlah Om sudah membaik. Kapan rencana pulang?” tanya Rendi datar, menghindari menjawab kalimat sebelumnya.
“Mungkin besok atau lusa. Setelah itu mau tinggal di rumah Jakarta saja, lebih tenang, lebih dekat ke mana-mana,” jelas Pak Hendra.
Bunga tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harap. Hari itu, malam itu, terasa lebih ringan dari biasanya. Tidak hanya karena ayahnya sudah pulih, tapi karena lelaki yang diam-diam tetap mengisi ruang hatinya kini berdiri di sana—meski tak banyak bicara, meski hanya lewat isyarat dan tindakan yang nyaris dingin.
“Gimana kalau Bunga izin dulu, Ren? Temenin Om pulang dan ke Jakarta juga sekalian?” usul Pak Hendra, memecah kecanggungan yang menggantung.
Rendi mengangguk tanpa banyak pertimbangan.
“Boleh.”
“Kan libur panjang juga, hari Senin tanggal merah.” Pak Hendra menambahkan, kali ini sambil tersenyum lebar. Rendi membalas dengan senyum tipis.
Tapi jauh di dalam pikirannya, Rendi menyimpan rencana lain.
"Libur panjang adalah waktuku bersama Alisya dan Rasya. Sudah lama kami tak mengunjungi ibunya. Alisya pasti senang kalau aku ajak pulang ke sana..."
Malam kian larut, dan Rendi akhirnya pamit.
“Om, Bunga, saya pulang dulu. Biar Bunga temani Om. Takut kemalaman kalau pulang sekarang.”
Pak Hendra mengangguk. Tatapannya sempat bertemu dengan Bunga, seperti menyampaikan sesuatu lewat diamnya.
“Baik, Pak. Saya antar ke depan,” ucap Bunga sopan.
“Kok masih ‘Pak’ sih? Sekarang di luar kantor ini, Bunga,” goda Pak Hendra sambil tersenyum penuh makna.
“Iya, kan, Ren?”
Rendi dan Bunga saling berpandangan sejenak. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menumpuk di antara mereka.
“Tidak usah, Bunga. Tunggu saja di sini,” ucap Rendi tenang, lalu tersenyum. Ia melangkah keluar kamar.
Langkahnya tenang dan gagah, membelakangi semua pertanyaan yang belum sempat dijawab. Tapi tiba-tiba suara lirih terdengar dari belakang, tanpa disangka.
“Hati-hati, Mas...”
Bunga langsung menunduk, malu setengah mati. Bukan karena ayahnya yang mendengar, tapi karena dirinya sendiri tak mampu menahan kata-kata itu.
Pak Hendra tersenyum sambil menatap pintu yang baru saja tertutup.
Sementara Rendi, dari kejauhan, sempat menoleh dan membalas dengan anggukan kecil. Tanpa sepatah kata, hanya tatapan yang tak bisa dibaca siapa pun.
...----------------...
Mereka berdua seperti dua musim yang tak pernah benar-benar bertemu. Rendi hadir sebagai pelindung, tapi tidak pernah menjadi pelabuhan. Sementara Bunga tetap menunggu, meski tak tahu sampai kapan akan sanggup menanti. Hubungan mereka bukan tentang tawa dan pelukan, tapi tentang diam yang menggantung, dan kebaikan yang tak pernah sampai pada cinta yang utuh.