NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:361
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bukti darah

Pagi menjelang, kebetulan hari ini adalah hari minggu Oline berinisiatif untuk pergi lari pagi, Oline mengajak satya tentu saja satya tidak menolak karena selain menjadi tukang kebun dan sopir, Bara juga menugaskannya untuk menjaga dan mengawasi Oline di manapun dan kapanpun.

Setelah adzan shubuh berkumandang Oline bersiap, tak lupa ia mematikan alarm dan membawa jaket serta syalnya.

Bara sudah melarangnya karena udara dingin di desa tersebut, tetapi Oline tetap kekeh sehinggga mau tidak mau Bara harus mengalah terhadap sikap egoisnya sang keponakan.

Bara menyuruh Satya terus bersama Oline dan memantau apa pun yang Oline lakukan.

Ketika membuka pintu wajahnya sudah di terpa udara dingin, Oline menggigil dan merapatkan syal serta jaket yang ia kenakan.

“Non yakin mau lari pagi sekarang?” tanya Satya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Oline.

“Iya,” jawab Oline mantap.

“Tetapi ini terlalu pagi non, matahari saja masih belum menampakkan diri.”

Oline menatap satya sekilas dan melangkah keluar rumah.

Oline melakukan pemanasan sebelum keluar dari gerbang rumahnya.

Bara yang melihat itu dari jendela atas bergumam

“benar-benar keras kepala.”

Bara kembali melanjutkan tidurnya, ia bersembunyi di balik selimut untuk menghindari udara pagi yang benar-benar membuat seluruh badan terasa ngilu.

Sedangkan Oline dan satya sudah selesai dengan pemanasannya, mereka berlari kecil meninggalkan halaman rumah megah tersebut.

Di sepanjang jalan mereka asyik mengobrol hingga tak terasa mereka sampai di pinggir sungai. Langkah Oline terhenti saat melihat Devanka yang tengah duduk termenung memandangi riak air sungai yang begitu bening.

“Kak Sat, aku haus. Kak Satya bawa air tidak?” tanya Oline beralasan.

Sebenarnya dia hanya ingin satya pergi sebentar agar dirinya bisa menghampiri Devanka.

“Saya tidak bawa non, lupa. Sebentar non, biar saya belikan di warung dekat-dekat sini,” tawarnya sambil bergegas pergi meninggalkan Oline.

Oline menghampiri Devanka yang tengah duduk termenung, entah apa yang dipikirkannya sehingga keberadaan Oline tak membuat sadar akan lamunannya.

“Dev,” panggil Oline di samping Devanka.

Devanka tak menjawab, tatapan menyiratkan kesedihan yang mendalam atau lebih tepatnya menyiratkan kehilangan akan sosok seseorang.

“Dev!” panggil Oline sekali lagi sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah Devanka.

“Eh?” Devanka tersadar dari lamunannya dan langsung menatap ke arah Oline.

“Oline? Ngapain di sini?”

“Nah justru itu yang ingin aku tanyakan sama kamu. Kenapa ngelamun di sini? Entar ke sambet loh!” guraunya.

Devanka tersenyum kecut.

“Ini sudah siang, setauku dedemit dan sejenisnya tidak muncul siang hari,” belanya.

“Kata siapa? ‘kan kamu sedang melamun, pikiran kosong. Jadi bisa saja nanti setannya mengambil kesempatan dan masuk ke dalam tubuh kamu.”

Devanka tertawa mendengar penjelasan Oline.

“Mana mungkin setan mau masuk ke dalam tubuhku, dia takut tertimpa beban hidup yang sedang aku pikirkan,” jawabnya asal.

Devanka dan Oline tertawa. Satya yang melihat kedekatan mereka tampak cemburu, tetapi apa boleh buat? Dia bukan siapa-siapa, dia hanya seorang bawahan dari keluarga Oline. Satya sadar akan posisi dirinya yang berkasta rendah dan dirinya memang tidak pantas bersama Oline dan sangat mustahil Oline membalas cintanya.

Sebesar apapun cintanya kepada Oline, itu percuma saja.

Satya duduk di dekat pohon yang banyak terdapat semak-semak, dia melihat Oline dan Devanka dari tempatnya duduk, begitu akrab dan serasi.

Entah apa yang mereka bicarakan, wajah Oline tampak sangat berseri ketika bersama dengan Devanka.

Waktu bagai cepat berlalu, Devanka melihat arloji di tangannya yang menunjukkan sudah jam 7.30, dia pamit kepada Oline untuk pulang terlebih dulu karena dia harus membuka toko, sedangkan ayah dan ibunya sudah tadi malam kembali ke kota. Oline tersenyum dan mengangguk, ada perasaan tidak rela yang terbesit di hatinya. Dia masih ingin berbincang dan bercanda bersama dengan Devanka, tetapi dia tidak boleh egois bukan? Devanka memiliki kesibukan sendiri yang jauh lebih penting.

Oline kembali ke tempat dia ditinggal Satya, tetapi Satya belum terlihat, Oline menunggu, tak lama berselang Satya datang dengan membawa air mineral sambil mengatur nafas.

“Maaf non, tadi tokonya belum buka. Jadi saya berinisiatif untuk menunggunya saja,” ucapnya sambil memberikan sebotol air mineral kepada Oline.

“Gak papa kok kak, ya udah ayo kita pulang,” ajak Oline.

Oline mendahului langkah Satya, dia ingin cepat sampai di rumah dan menyibukkan diri dengan rebahan. Dia masih berpikir, benarkah dirinya mencintai Devanka? Oline tersenyum sendiri mengingat setiap detail kedekatan dirinya dan Devanka.

Oline berlari kecil saat sudah sampai di rumahnya.

“Tidak mau sarapan dulu?” tanya Bara yang sudah duduk di ruang tamu sambil membaca koran.

“Mau mandi dulu, habis itu sarapan,” ucap Oline sambil berlari menaiki anak tangga satu demi satu.

Oline berbaring di tempat tidurnya, rasanya hari ini dia hanya ingin rebahan sepanjang hari. Matahari mulai masuk melalui celah-celah jendela kamarnya, dia membuka jendela membiarkan sinar mentari menghiasi seluruh ruang di kamarnya, Oline kembali membuka diary Vanya, dia marah dan muak kepada dirinya sendiri karena sampai sekarang dia masih belum menemukan titik terang tentang kasus Vanya.

Oline dengan perasaan jengkel membanting buku diary Vanya, tetapi terdapat sebuah lembar foto yang jatuh dari diary tersebut.

Oline cepat-cepat memungut foto tersebut, dia terkejut foto tersebut adalah foto Devanka yang terdapat percikan darah yang bertuliskan “pembunuhnya adalah ....” tidak ada kalimat kelanjutan tetapi pikiran Oline mengatakan kalau Devankalah pembunuh dari Vanya.

Oline mengingat pamannya yang selalu curiga kepada Devanka.

“Apakah?” tanyanya ragu.

“Tidak! Aku yakin bukan dia pelakunya, ini mungkin kebetulan.”

Oline kembali mengingat masa-masa dia dan Vanya, memang beberapa kali dia lihat Devanka menatap tak suka ke arah Vanya, tatapan misterius yang menyimpan banyak rahasia. Tetapi waktu itu dia pikir itu hanya tatapan biasa saja. Oline tak sampai berpikir bahwa Devanka akan mencelakai Vanya.

Pikirannya kalut, dia bimbang akankah percaya pada hatinya sedangkan semua bukti sudah mengarah kepada Devanka? Hatinya menolak keras tatapi otaknya bersikeras.

Oline menangis, dia kembali terjebak dalam situasi yang membingungkan.

Setelah berpikir, Oline memutuskan untuk menjauhi pembunuh temannya.

“Aku tidak boleh egois, aku mungkin memang mencintai Devanka tetapi aku tidak boleh mengabaikan temanku bukan?” ucapnya berdialog sendiri.

“Ini demi Vanya, lelaki itu pembunuh Vanya. Aku—aku, aku tidak ingin bertemu dengannya lagi!” ucapnya.

“Apa motifnya membunuh Vanya? Apa dia memiliki penyakit mental?”

Oline menangis di samping ranjangnya, dia memandang foto tampan Devanka dengan senyum manis, Oline ingin merobek foto itu tetapi ia urungkan, dia yakin foto itu suatu saat akan berguna untuk mengungkap pembunuhan yang dilakukan oleh Devanka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!