Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Axeline menelan ludahnya dengan gugup, kedua matanya membesar ketika mendengar kata-kata Keynan. "Apa kau sudah gila? Bukankah kau sendiri yang selalu mengingatkanku bahwa kita ini saudara? Tapi sekarang, kenapa kau justru mengatakan hal seperti itu?"
Keynan menghela napas panjang, menatap Axeline dengan wajah frustasi. "Aku tahu, Lin. Aku selalu mencoba meyakinkan diriku dengan kata-kata itu. Aku berusaha mengabaikan perasaan ini, membuang jauh-jauh apa yang seharusnya tidak boleh aku rasakan. Tapi, aku tidak bisa. Semakin aku menahan, semakin aku sadar bahwa aku menginginkanmu."
Axeline terdiam. Hatinya berkecamuk mendengar pengakuan Keynan. Sejak awal, ia juga mempunyai keinginan yang sama seperti Keynan. Ia ingin terus bersama pria itu.
Tapi, penolakan Keynan untuk bertanggungjawab, ucapan Keynan yang selalu berputar di benaknya tentang hubungan mereka sebagai saudara, membuatnya membuang jauh-jauh perasaannya. Apalagi, saat melihat kedekatan Keynan dengan Agnes.
"Tapi, Kak, ini salah," suara Axeline terdengar lirih, hampir tidak terdengar.
"Salah menurut siapa?" Tanya Keynan. "Hanya karena orang-orang mengatakan ini tidak seharusnya terjadi, bukan berarti perasaan ini tidak boleh ada, bukan?."
Axeline menutup matanya erat, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hanya satu hal yang pasti, hatinya tidak bisa menyangkal betapa kata-kata Keynan mengguncang pertahanannya.
"Kak, kau bercanda, kan?” suara Axeline bergetar, memastikan jika Keynan tidak bersungguh-sungguh, agar ia tidak kembali merasakan sakit di hatinya.
Keynan menatapnya dalam, jemarinya perlahan mengusap pipi Axeline dengan lembut, seakan ingin menenangkan gejolak yang sedang berkecamuk di dalam hati wanita itu.
“Aku serius, Lin. Aku sudah berusaha menahan diri, mencoba meyakinkan diri sendiri jika kau adalah adikku. Tapi aku tidak bisa.”
Axeline menelan ludahnya dengan sulit, tubuhnya terasa kaku di bawah tatapan penuh ketulusan Keynan. Ia ingin menjauh, tapi di saat yang sama, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tetap tinggal.
“Tidak seharusnya kita seperti ini, Kak,” bisiknya, meski ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia katakan.
Keynan tersenyum tipis, tatapannya tidak lepas dari wajah Axeline. “Aku tahu. Tapi hati tidak bisa dibohongi, Lin. Aku menginginkanmu, bukan sebagai adik, tapi sebagai wanita yang kucintai."
DEG!
...****************...
Di perjalanan, Axeline hanya diam, menatap jalan yang terbentang di depan mereka. Tangan Keynan yang hangat menggenggam erat jemarinya sejak tadi, seolah tidak ingin melepaskannya. Sesekali, ia melirik pria di sampingnya yang terus tersenyum, seolah bahagia karena mereka bisa bersama.
Namun, di balik senyuman itu, hati Axeline diliputi keraguan. Permintaan Keynan untuk merahasiakan hubungan mereka sementara waktu, sampai pria itu menemukan waktu yang tepat untuk jujur pada keluarga, membuatnya bimbang.
Ia menghela napas panjang. "Kenapa aku lemah jika berhadapan dengan Kak Keynan? Aku mencintainya, tapi rasa kecewa itu masih membekas. Apakah perasaanku saat ini masih sama seperti dulu?" batin Axeline, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Kau ingin mampir ke suatu tempat?" tanya Keynan, membuyarkan lamunannya.
Axeline tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Tidak, Kak. Kita langsung pulang saja," jawabnya singkat.
"Baiklah," sahut Keynan, kembali fokus mengemudi menuju kediaman keluarga Wiratama.
Namun tiba-tiba, ponsel Keynan berdering. Wajahnya berubah serius saat melirik layar dan melihat nama sang ayah tertera di sana. Sementara Axeline menatapnya dengan perasaan tidak menentu, bertanya-tanya siapa yang menghubunginya.
Keynan menepikan mobil ke bahu jalan. Dengan suara tenang, ia menjawab panggilan dari ayahnya.
"Ada apa, Dad?" tanyanya.
"Pulang sekarang! Ada yang ingin Daddy bicarakan denganmu," ujar Keyvan tegas, langsung ke intinya.
Keynan mengerutkan kening. Ada sesuatu dalam nada bicara ayahnya yang terasa berbeda. Seperti perintah yang tidak bisa ditolak. Namun, ia tidak ingin berdebat. "Baiklah, setelah mengantar Axeline, aku akan ..."
"Ajak saja Axeline kemari. Kebetulan, ayah dan ibunya juga ada di sini."
Keynan membeku sesaat. Matanya menyipit dengan pikiran yang langsung dipenuhi berbagai kemungkinan.
Kenapa orang tua Axeline ada di rumahnya? Apa ini soal pekerjaan? Tapi, jika itu alasannya, kenapa harus melibatkan Axeline juga? Atau, apa mereka sudah tahu tentang hubungannya dengan Axeline ?
Ia mencoba menekan semua pertanyaan yang berputar di kepalanya, sebelum akhirnya menjawab, "Baik."
Tanpa banyak bicara, ia kembali menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilnya. Sedangkan Axeline yang sedari tadi memerhatikan nya akhirnya bertanya, "Ada apa, Kak?"
Keynan meliriknya sekilas sebelum menjawab, "Tidak ada apa-apa."
Tidak butuh waktu lama, mobil Keynan berhenti sempurna di halaman rumah keluarga Dirgantara.
Keynan turun lebih dulu, lalu berjalan mengitari mobil untuk membuka pintu di sisi Axeline. Dia mengulurkan tangannya dan menatapnya dengan lembut, namun tegas, seolah meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Ayo!"
Axeline menatap tangan Keynan sejenak. Ada keraguan di benaknya, tapi ia mencoba menepisnya dan menerima uluran tangan pria itu.
Begitu ia turun dari mobil, ia menatap Keynan dengan penuh tanya. "Sebenarnya, untuk apa kau membawaku kemari?"
Keynan menarik napas sebelum menjawab, "Daddy memintaku untuk segera pulang. Dari suaranya, sepertinya ada sesuatu yang mendesak. Bahkan, Uncle dan Aunty juga ada di sini."
"Mommy dan Daddy?" Axeline membelalakkan mata. Perlahan, rasa khawatir menjalar di sekujur tubuhnya.
"Tidak perlu takut. Lagipula, belum ada yang tahu tentang hubungan kita. Jadi, kau tenang saja."
Sejenak, Axeline terdiam. Ia merasa seperti pengecut yang menyembunyikan hubungan mereka dari keluarga. Tapi, ia ingin percaya bahwa suatu hari nanti, Keynan akan berani mengatakan yang sebenarnya pada semua orang.
Keynan menggenggam tangan Axeline lebih erat, membawanya masuk ke dalam rumah. Namun, baru beberapa langkah mereka melewati ambang pintu, mata Keynan membelalak sempurna saat melihat Agnes dan kedua orang tuanya sedang berbincang dengan keluarganya.
"Ada apa ini?" tanya Keynan bingung.
Semua orang di ruangan menoleh ke arahnya.
"Akhirnya kau pulang juga. Duduklah, ada yang ingin kami bicarakan," ujar Keyvan.
Sebelum Keynan bisa mencerna situasi, Agnes tiba-tiba berdiri dan menghampirinya. Dengan cepat, ia menyandarkan tubuhnya pada Keynan, kedua tangannya melingkar di lengan pria itu dengan manja.
"Keynan, aku merindukanmu."
Axeline membeku di tempat. Ia tersenyum kecut dan berusaha menarik tangannya dari genggaman Keynan. Namun, pria itu justru semakin mengeratkan pegangannya, tidak membiarkannya pergi begitu saja.
"Kenapa kau ke sini? Dan, Orang tuamu ..."
Agnes tersenyum manis, "kami ke sini untuk membahas pertunangan kita."
DEG!
Dunia seakan berhenti berputar.
Pertunangan? Apa maksud nya?
Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik Agnes menjauh, mencari penjelasan yang masuk akal.
Sementara itu, Axeline masih terpaku di tempat. Hatinya terasa seperti diremas. Ia mengepalkan tangannya erat, mencoba menahan gejolak di dadanya. Kedua matanya mulai memanas, namun ia menengadah, berharap air mata itu tidak jatuh. Sampai suara Alexio, membuyarkan lamunannya. "Apa yang kau lakukan di sana, sayang? Kemari lah!"
Axeline mengusap air matanya buru-buru sebelum menoleh ke arah ayahnya. Dengan senyuman yang dipaksakan, ia melangkah mendekat, bergabung dengan yang lain, dan mulai diperkenalkan pada orang tua Agnes.
Cukup lama Axeline duduk di antara mereka. Sesekali, ia melihat ke arah tempat dimana Keynan membawa Agnes pergi.
Ia ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi? Dia membutuhkan penjelasan, kenapa Keynan membohonginya?
Dan, sedetik kemudian, Keynan datang dengan tangan menggenggam erat tangan Agnes. Tatapannya terlihat kosong, sangat berbeda saat bersamanya, seolah ada hal besar yang baru saja terjadi.
"Kenapa kalian lama sekali, hm? Cepat kalian duduk! Kita bahas lebih lanjut tentang pertunangan kalian," ujar Keyvan.
Tidak ada penolakan dari Keynan. Pria itu terlihat seperti boneka tali yang bergerak bukan karena kemauan nya sendiri. Dia duduk diam, membiarkan Agnes bergelayut dengan manja, dan hal itu berhasil membuat hati Axeline perlahan retak.