Ajari Aku Hijrah

“Kenapa mamih biarin Rini ngelayanin Tomi?” tanya Azizah.

“Ya dia berani bayar, kenapa gue nggak kasih tuh orang cewek. Lagian si Rini kan emang rajin banget kerjanya. Aki-aki aja dia mau, Kenapa Tomi ngggak?” jawab Mirna sembari menghembuskan asap nikotin ke udara.

“Kenapa Tomi nggak?” Azizah mengulang perkataan Mirna yang membuatnya ingin melempar asbak ke muka wanita paruh baya itu.

“Mih... Mamih sadar nggak sih? Apa belum cukup kasus Linda waktu itu, hah? Mamih nggak inget ada p*rek yang cacat gara-gara tuh cowok? Terus sekarang, Rini kritis gara-gara dia juga. Mau berapa lagi korbannya supaya mamih nge-banned tuh laki dari tempat ini hah?” cecarnya.

“Hidup ini kejem, Zee. Lu udah ngerasain sendiri gimana bapak lu udah merawanin lu, dan ibu lu bikin lu ngikutin jejaknya jadi p*rek. Ini juga konsekuensi Rini lah. Nggak semua cowok lembut, ada yang kasar juga kek Tomi, dan dia tau. Dia Terima dengan sadar kok job itu,” jawab Mirna tanpa rasa bersalah.

“Bener-bener nggak habis pikir sama jalan pikiran Mamih. Mamih tau, sekarang Rini lagi dioperasi. Rusuknya patah dan kena jantung sama paru-parunya."

"Terus bukannya khawatir atau prihatin sama salah satu mesin duit Mamih, Mamih malah enak-enakan ng*we disini? Seenggaknya kasih Rini kompensasi. Dia celaka di tempat kerja,” ujar Azizah.

Mirna tiba-tiba terbahak mendengar perkataan wanita berambut kemerahan di depannya itu. Dia bahkan sampai terbatuk karena merasa lucu dengan ucapan Azizah.

“Lu gila? Apa otak lu udah korslet? Lu kira kerjaan kita ini legal, hah? Mana ada kompensasi kecelakaan kerja di tempat kek gini? Kagak ada sejarahnya, Zee,” ucap Mirna.

Dia meneguk minumannya dan kembali mengisap pangkal bergabus itu.

“Hahahaha... Lagian dinsos juga nggak bakalan mau ngeluarin klaimnya. Ada-ada aja. Kompensasi dia bilang, bisa rugi kalo tiap ada urusan kayak gini gue kasih duit,” ucapnya lagi.

Azizah nampan mengepalkan tangan, merasa emosi yang sudah tak bisa lagi dia tahan.

Oke... Kalo itu yang Mamih mau. Gue bakal kasih lihat ke Mamih, apa itu namanya rugi, ujar Azizah slama hati.

Dia berbalik dan pergi dari ruangan Mirna, diiringi gelak tawa wanita itu yang seolah mengejek tindakannya.

Azizah berjalan dengan cepat menuruni anak tangga. Dia berbelok ke arah belakang club dan menuju ke sebuah ruangan yang ada paling belakang.

Para koki dan pekerja yang ada di bagian belakang, melihat kedatangan Azizah yang terlihat begitu emosi dengan mata yang seolah berapi-api.

Setelah berjalan cukup dalam hingga ujung, kini terlihat sebuah pintu dari bahan metal yang agak sedikit berkarat kini berada di depannya.

Azizah membukanya dan nampak jelas barang-barang tergeletak disana seolah tak berguna. Ada alat kebersihan yang sudah tak terpakai dan berdebu, ada pula tabung pemadam kebakaran kosong dan banyak lagi.

Azizah membungkuk dan mengobrak abrik isi ruangan sempit tersebut, seperti hendak mencari sesuatu.

Tak berapa lama, dia berhenti. Netranya tertuju pada sebuah benda panjang dengan ujung membesar dan bulat, serta terbuat dari besi yang cukup keras.

Azizah menariknya diantara tumpukan benda-benda yang ada di situ dan kembali pergi meninggalkan kekacauan yang dibuatnya tadi.

Wanita itu terlihat kembali masuk ke area dalam, melewati lorong-lorong sambil membawa tongkat besi yang diambilnya dari belakang.

BRAAAKKK!

Bersambung ▶️▶️▶️

Jangan lupa like, comment dan rate novel aku ya 😄, kasih dukungan banyak-banyak ke sini 🙏