Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bendera Putih
Anna terbangun dengan sentakan, seolah-olah peti mati yang mengurungnya tiba-tiba terbuka lebar. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat. Tangan dinginnya meraba sekeliling, mencari pegangan di tengah gelap dan dingin yang membungkus pikirannya. Refleks, ia mencengkeram sesuatu—tangan seseorang.
Baru setelah itu, matanya terbuka perlahan. Cahaya menusuk penglihatannya, membuatnya menyipit. Sekelilingnya samar, berputar, seperti dunia masih menolak untuk benar-benar nyata.
"Ini... di mana?" suaranya parau, hampir tak terdengar. Tenggorokannya terasa seperti gurun, kering, panas, menyiksa. "Aku... haus..."
Tiga sosok berdiri di dekatnya. Bayangan-bayangan gelap yang perlahan mulai memiliki bentuk. Mata Anna mulai bisa mengenali wajah-wajah mereka, dan pada salah satu dari mereka, pandangannya terhenti.
Seorang pria dengan ekspresi yang selalu sama—serakah, licik, tanpa belas kasih. Mata Anna turun membaca nama di seragamnya.
Stevan.
Akhirnya aku menemukanmu.
Tatapan Anna terkunci pada pria itu, mengirimkan isyarat yang jelas: Aku hanya ingin berbicara denganmu.
Stevan tidak bodoh. Ia menangkap tatapan itu, lalu menoleh kepada dua sipir di sampingnya.
"Panggil dokter. Katakan wanita ini sudah siuman."
Kemudian, kepada yang lain, "Ambilkan segelas air."
Begitu mereka pergi, udara terasa lebih berat. Seolah ada sesuatu yang menekan ruangan ini, menekan napas Anna. Di dalam keheningan, ia menghela napas dalam-dalam, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.
"Katakan padanya... aku menyerah."
Bendera putih.
Tidak ada lagi gunanya melawan. Tidak ada lagi tempat untuk lari.
Stevan hanya mengangguk, seakan menerima pengakuan itu tanpa kejutan, lalu pergi.
Anna menutup mata sejenak. Di kejauhan, langkah-langkah berat mendekat. Seorang sipir datang, membawa segelas air. Dengan tangan gemetar, Anna meraihnya, meneguknya dengan rakus.
Air itu terasa seperti obat bagi tubuhnya yang kehausan. Tapi bukan air yang bisa menyembuhkan dirinya. Bukan cairan itu yang bisa menenangkan gejolak yang terus berputar di kepalanya.
Setelah menelan tegukan terakhir, tangannya naik ke kepalanya. Rasa sakit yang tajam menusuk. Ia meraba benjolan hangat di pelipisnya, menekan perlahan, merasakan denyut yang begitu menyakitkan.
Apakah retak?
Dari kejauhan, ia melihat Stevan berbicara dengan seseorang yang baru datang.
Seorang wanita muda dengan wajah anggun dan lembut.
Elisa.
Dokter muda itu tampak begitu tenang, begitu dingin. Tapi bagi Anna, tidak ada yang lebih berbahaya dari wajah yang menenangkan seperti itu.
Sekutu Ethan.
Jantung Anna berdegup lebih kencang. Napasnya tertahan di tenggorokan. Ia tahu apa yang akan terjadi.
Elisa tersenyum kecil. Senyum yang terlalu formal. Terlalu kosong.
"Suntik penahan nyeri, ya?"
Basa-basi. Tak ada kepedulian di dalamnya.
Anna ingin menolak. Ingin berkata sesuatu. Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya, dinginnya jarum sudah menembus kulitnya. Cairan itu mengalir dalam nadinya, menelusup ke dalam tubuhnya, menyebar seperti racun yang lembut dan halus.
Dingin.
Gelap.
Semua perlahan memudar. Pandangannya kabur. Kabut hitam mulai menelan dunia.
Semuanya lenyap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat kesadarannya kembali, hal pertama yang Anna lihat adalah langit-langit putih bersih yang begitu dekat di atas kepalanya.
Bukan dinding berlumut penjara.
Bukan jeruji besi yang membatasi kebebasannya.
Tidak ada suara rantai, tidak ada aroma lembap sel tahanan.
Udara di sini terasa berbeda.
Matanya bergerak ke samping. Jendela besar. Di luar sana, awan putih membentang luas, begitu dekat seolah bisa disentuh.
Pesawat.
Kesadarannya menghantamnya begitu cepat hingga membuat dadanya terasa sesak.
Tangannya turun, meraba apa yang ia kenakan. Bukan seragam tahanan lusuh, melainkan gaun yang begitu indah, begitu mahal. Bahan lembut itu membentuk tubuhnya dengan sempurna. Ia tahu, pakaian seperti ini tak mungkin ia beli hanya dengan menabung di penjara.
Bagaimana bisa?
Ia terkekeh pelan. Suara tawanya sendiri terasa asing di telinganya.
Di sekelilingnya, hanya ada beberapa pria berseragam gelap. Wajah mereka dingin, tanpa ekspresi. Pengawal.
Tidak ada penjara.
Tidak ada sipir.
Tidak ada Anna yang dulu.
Dunia ini... terasa seperti mimpi.
Apakah aku hanya bermimpi jatuh miskin, menjadi tahanan, dan mencoba bunuh diri?
Tangannya naik ke kepala. Jemarinya meraba sesuatu di balik topi pita yang ia kenakan. Ia merasakan benjolan itu. Masih hangat. Masih nyata.
Tidak. Ini bukan mimpi.
Seseorang telah membalikkan hidupnya 180 derajat.
Matanya turun menatap tangannya sendiri. Kuku-kuku yang dulu kotor dan patah kini dihiasi desain yang begitu rumit, begitu mahal.
Ia menggeleng kecil.
Percobaan bunuh diri telah membawanya ke kehidupan yang disebut 'mati'.
Sekarang, ia bukan lagi narapidana.
Sekarang, ia bukan lagi si miskin.
Sekarang, ia bukan lagi Anna yang dulu.
Sekarang, ia adalah sesuatu yang lain.
Sekarang, ia hanyalah boneka seseorang.
Hidup ini bukan lagi miliknya.
Ia menatap jendela pesawat sekali lagi, memandang awan-awan putih yang terus berlalu tanpa arah.
Berapa lama aku 'mati'... sampai aku tidak menyadari bahwa aku telah hidup kembali—sebagai boneka Ethan?
Lalu, suara roda pesawat yang menyentuh landasan membangunkan kesadarannya sepenuhnya.
Matanya membelalak. Ia menoleh ke luar jendela, menelan ludah saat melihat apa yang ada di bawahnya.
Gedung-gedung itu. Jembatan itu. Sungai itu.
Darahnya berdesir. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menekan dahinya ke kaca, seakan berharap ada sesuatu yang berbeda.
Tidak. Tidak mungkin.
Ini bukan kota asing. Ini bukan tempat baru.
Mereka tidak pernah membawanya ke mana pun.
Mereka hanya menerbangkannya di udara, berputar-putar, lalu kembali ke titik awal.
Ia tidak pernah pergi.
Tawa kecil lolos dari bibirnya. Tawa kosong. Penuh kebencian yang membara.
Seseorang benar-benar telah memainkan hidupnya dengan kejam.
Ia menggigit bibirnya, menahan letupan emosi yang mendesak ingin keluar.
Matanya kembali menatap kota yang sama, tanah yang sama.
Selamat datang kembali, Anna.
Atau lebih tepatnya—kau tidak pernah pergi.
Pesawat itu telah berhenti sepenuhnya. Suara mesin yang menderu perlahan mereda, berganti dengan dengungan samar aktivitas di luar. Dari jendela kecil, Anna melihat belalai gajah yang turun menyentuh badan pesawat. Lalu matanya beralih ke bawah, ke sekelompok orang yang sudah menunggu di ruang kedatangan. Mereka berdiri dalam barisan yang tampak terlalu rapi untuk sesuatu yang kebetulan. Kamera menggantung di leher mereka, beberapa sudah siap menekan tombol, jari-jari mereka bertengger di atas shutter, menunggu momen yang dianggap paling layak untuk diabadikan.
Anna mengerutkan kening. Ini bukan sekadar sambutan biasa. Ini bukan sekadar orang-orang iseng yang ingin melihat siapa yang baru tiba. Tidak, ini lebih dari itu. Ini terasa seperti pengaturan yang disengaja. Terlalu sempurna. Terlalu dibuat-buat.
Lalu, suara itu terdengar dari mikrofon kecil yang baru ia sadari melekat ditelinganya. Suara yang familiar, tetapi bukan miliknya. Masuk ke telinganya, mengatur narasi yang harus ia ucapkan.
"Nona hanya perlu berkata, ‘Saya sedang lelah. Seseorang sedang menunggu saya. Aku tak boleh membuatnya menunggu.’"
Kalimat itu diucapkan dengan nada datar, tanpa emosi. Sebuah instruksi, bukan saran. Sebuah perintah, bukan pilihan.
Anna mengalihkan pandangannya ke orang yang berbicara. Seorang pria berdiri di sisinya, mengenakan setelan rapi, ekspresinya tanpa cela. Ia tidak mengenalnya, tetapi dari caranya berbicara, dari sikapnya yang tenang namun menekan, jelas bahwa pria itu bukan seseorang yang bisa diabaikan.
Bibir Anna menekan rapat.
Sejauh ini, dan tetap saja… ia hanyalah boneka dalam pertunjukan yang sudah ditentukan alurnya oleh pria yang duduk di kursi Roda. Ethan Ruan.
Skenario telah ditulis. Dialog telah disiapkan. Semua orang tahu peran mereka, kecuali dirinya yang terus dipaksa bermain tanpa diberi tahu akhirnya.
Matanya kembali menatap ke luar. Blitz pertama menyala.
Pertunjukan telah dimulai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?