Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Calon Suami
Akay masih bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan karena marah—meskipun, ya, Aylin memang keterlaluan—tapi lebih karena ia masih belum bisa melupakan momen di balapan tadi.
Matanya sedikit menyipit, mengingat kembali bagaimana Aylin, tanpa rasa takut, melompati mobilnya dengan motornya. Ia bisa saja celaka, bisa saja jatuh dan terluka. Tapi nyatanya, gadis itu justru mendarat dengan mulus, seolah-olah melanggar hukum gravitasi adalah hal biasa baginya.
Menyebalkan.
Membahayakan.
Tapi di sisi lain…
Sial, dia keren.
Akay mendengus pelan, kepalanya menunduk sebentar sebelum ia kembali mengangkat wajah, menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup.
Ia menghela napas kasar seraya membuka kancing kemejanya satu per satu. Pandangannya jatuh pada bayangan dirinya di cermin, matanya dipenuhi berbagai emosi yang sulit ia artikan. "Kenapa aku sampai segini pedulinya?"
Sebelum menikah, ia dan Aylin bahkan tak saling mengenal. Mereka baru bertemu beberapa menit sebelum mengikat janji suci, dan sejak saat itu hidupnya berubah menjadi penuh badai. Aylin keras kepala, liar, dan penuh masalah. Gadis itu tidak pernah memberi ketenangan. Sering membuatnya kesal, sering membuat darahnya mendidih, tapi yang paling menyebalkan—Aylin juga membuatnya tidak bisa berpaling.
Kenapa ia tidak bisa mengabaikannya saja? Kenapa setiap kali gadis itu menantangnya, ia justru semakin ingin menaklukkannya?
Apa ini semua hanya karena permintaan Nenek Ros di napas terakhirnya? Atau karena janji suci yang sudah ia ucapkan di hadapan Tuhan?
Atau… ini karena dirinya sendiri?
Karena semakin lama, ia merasa semakin terikat dengan gadis itu. Semakin menyukainya.
Akay mengusap wajahnya, seolah bisa menghilangkan kegelisahan yang tiba-tiba merayapi dadanya.
Sial.
Aylin memang pemberontak. Suka melawan dan selalu berbicara kasar tanpa filter. Tapi di balik semua itu, dia tidak pernah berpura-pura. Apa yang dia rasakan, itulah yang dia tunjukkan. Apa yang dia pikirkan, itulah yang dia katakan. Tidak ada kepalsuan. Tidak ada manipulasi.
Mungkin itu yang membuat Aylin berbeda dari wanita lainnya.
Mungkin itu yang membuatnya… menarik.
Dan mungkin, itu juga yang membuatnya secara perlahan merasuki hati Akay, bahkan sebelum ia sempat menyadarinya.
Akay menghembuskan napas panjang, menatap bayangan dirinya di cermin dengan tatapan penuh tekad.
Aylin memang keras kepala, liar, dan penuh masalah. Tapi satu hal yang jelas—mulai malam ini, ia tak akan membiarkan perempuan itu berbuat seenaknya lagi.
Beberapa menit kemudian....
Aylin keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih basah, beberapa helai menempel di pelipisnya.
Begitu melihat Akay yang sudah bertelanjang dada, ia langsung mengalihkan pandangan. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya mengagumi tubuh suaminya, sebaik apa pun bentuknya.
"Ambil pakaian di lemari sebelah kiri," perintah Akay santai sambil melangkah menuju kamar mandi.
Aylin mendengus pelan, menatap punggung suaminya yang menghilang di balik pintu. Setelah itu, ia menghela napas panjang dan berjalan menuju lemari yang ditunjukkan.
Dengan ragu, ia membuka pintunya—dan seketika matanya membelalak.
Lemari itu penuh dengan pakaiannya!
Gaun, jaket, celana, bahkan seragam sekolah dan beberapa kaos favoritnya ada di sana. Semua tertata rapi seolah sudah menunggu dirinya sejak lama.
Aylin terdiam, otaknya berusaha mencerna situasi. Kapan Akay menyiapkan semua ini? Sejak kapan suaminya tahu ukuran pakaiannya?
Lagi-lagi, Akay selalu selangkah lebih maju.
Dengan geram, ia meraih pakaian pertama yang terlihat, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya.
Aylin menjatuhkan diri ke kasur dengan napas lelah. Pakaian bersih sudah melekat di tubuhnya, tapi pikirannya masih kusut. Ia meraih ponselnya dan membuka grup chat.
Rena: Lin, lo di mana? Baik-baik aja, 'kan?
Sinta: Beneran tuh cowok tadi cuma saudara? Gue enggak percaya!
Linda: Jujur deh, siapa dia sebenarnya?
Aylin menghela napas panjang. Kepalanya terasa penuh. Bohong pun percuma, karena bagaimana pun ia berusaha menutupi kebenaran, tetap saja tak masuk akal bagi mereka.
Matanya menatap layar ponsel beberapa detik sebelum akhirnya ia mengetik jawaban.
Aylin: Dia calon suami gue.
Tanpa menunggu balasan, ia melempar ponselnya ke kasur dengan napas kasar. Tepat saat itu, suara pintu kamar mandi terbuka.
Aylin menoleh—dan langsung membelalak.
Akay keluar hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Butiran air masih mengalir dari rambutnya, membasahi dada bidangnya yang terlihat jelas di bawah cahaya kamar.
Sial.
Aylin buru-buru memalingkan wajah. "Astaga, Akay! Kenapa kamu keluar kamar mandi tanpa pakaian, sih?!"
Akay, yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, melirik Aylin dengan ekspresi santai. "Ini pakai pakaian, kok."
Aylin menggeram. "Handuk doang itu namanya bukan pakaian!"
Alih-alih menjawab, Akay justru menyeringai. Ia mendekat, membuat Aylin otomatis mundur.
"Kenapa?" godanya. "Takut tergoda?"
Aylin mendengus, menahan panas yang menjalar di wajahnya. "Mimpi!"
Sementara Akay tertawa kecil, Aylin buru-buru meraih bantal dan melemparnya ke arah pria itu sebelum buru-buru membalikkan badan, berusaha mengabaikan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Namun, entah mengapa ia malah menoleh saat pria itu menjauh.
Ia menatap Akay yang berjalan menuju lemari pakaian dengan langkah santai. Pria itu menarik sebuah kaus dan celana panjang, lalu tanpa ragu membuka handuk yang melilit di pinggangnya.
Aylin yang melihat itu langsung membelalak. “AKAY! Dasar gila, nggak tahu malu, ya?!” serunya, buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan dan memalingkan wajahnya.
Akay, yang sudah mengenakan celana, menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa harus malu?” tanyanya santai. Ia menarik kausnya ke atas, lalu memakainya dengan gerakan tenang sebelum kembali melirik Aylin. “Aku cuma pakai pakaian di depan istri sendiri, bukan di depan orang lain.”
Aylin mendengus, masih memalingkan wajah. “Tapi aku nggak mau lihat!”
Akay menyeringai kecil. “Padahal tadi ngelihat, 'kan? Kemarin juga udah lihat semuanya.”
Aylin menggeram. “Brengsek!”
Akay terkekeh pelan, lalu berjalan mendekat. “Jadi ini yang bikin kamu kesal? Aku santai aja, tapi kok kamu yang panik?”
Aylin menoleh tajam. “Aku panik karena kamu seenaknya! Serius deh, kayaknya di kamus hidupmu tuh nggak ada kata ‘privasi’.”
Alih-alih tersinggung, Akay justru menatap Aylin dengan ekspresi lebih lembut. Perdebatan mereka ini terasa begitu… akrab.
Padahal baru pagi tadi mereka saling beradu mulut, dan baru beberapa hari mereka tinggal bersama. Namun, mengapa rasanya seolah mereka sudah lama mengenal satu sama lain? Seolah ini bukan pertengkaran baru, melainkan kebiasaan lama yang mereka ulangi?
Mungkin karena Aylin tetap sama—keras kepala, penuh perlawanan, dan selalu punya cara untuk membuatnya naik darah. Tapi justru itu yang membuatnya berbeda. Tidak seperti orang lain yang menahan diri di hadapannya, Aylin selalu mengatakan apa pun yang ia pikirkan tanpa peduli pada konsekuensinya.
Dan tanpa sadar, setiap momen bersamanya selalu meninggalkan jejak dalam benaknya.
Mungkin, itu sebabnya ia merasa seperti telah mengenal gadis ini lebih lama dari yang sebenarnya.
Tanpa sadar, kekesalan Akay perlahan menguap.
Ia menghela napas dan melipat tangannya di dada. “Kalau mau privasi, mungkin kita harus tidur terpisah.”
Aylin mengangguk cepat. “Setuju!”
Tapi kemudian Akay menyeringai lagi. “Tapi nggak bisa. Kita udah menikah.”
Aylin tertegun. “Brengsek, kau...”
Akay tertawa pelan. “Iya, iya, aku brengsek. Tapi aku suamimu.”
Aylin membuang napas kasar. “Aku benci kamu.”
“Terserah.” Akay menyentil dahi Aylin dengan ringan, lalu berbalik. Sementara Aylin menggerutu kesal, Akay justru tersenyum kecil. Entah kenapa, ia menikmati momen ini. Dan ia mulai menyadari sesuatu—bahwa selama ini, ia merindukan Aylin lebih dari yang ia sadari.
Aylin membanting tubuhnya ke tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ia sengaja memunggungi Akay, tak ingin melihat wajah suaminya yang menyebalkan itu.
Akay, yang baru saja merebahkan diri di sisi lain tempat tidur, menghela napas panjang. “Kau serius tidur kayak gitu?”
Aylin tidak menjawab.
Akay menyentuh bahunya, mencoba membalikkan tubuhnya, tapi Aylin mengibaskan tangan suaminya dengan kasar. “Tidur aja, jangan ganggu aku.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍