NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:928
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 12

Seorang pria. Tampaknya ia tidak terburu-buru. Ia berdiri dengan tenang, mengenakan jas hitam yang hampir tak terganggu oleh cahaya yang memudar. Tatapannya tajam, memeriksa setiap inci tubuh Amina. Senyuman tipis yang muncul di wajahnya terasa jauh dari ramah.

"Amina," katanya pelan, suaranya begitu tenang, "kita akhirnya bertemu."

Amina menegakkan punggungnya, berusaha menatap pria itu dengan mata yang penuh kewaspadaan. "Dante Von Hohenberg," gumamnya, mengenali pria itu dari dunia bawah tanah yang penuh dengan intrik dan kekuasaan.

Dante tersenyum lebih lebar, dan langkahnya mendekat dengan santai. "Kau tidak perlu terkejut, Amina. Aku tahu segalanya tentangmu, lebih dari yang kau kira."

Amina menahan napas, jantungnya berdebar kencang. "Apa yang kau inginkan dariku?" Ia berusaha tenang, meskipun gelisah merayap dalam dirinya. Ia menilai ruangan itu, mencari cara untuk keluar, namun tidak ada celah. Semua pintu tertutup rapat.

Dante memegang gelas anggur di tangan kanannya, mencicipinya seolah tak ada yang penting. "Aku tahu semua tentang penyelidikanmu. Setiap langkahmu, setiap keputusanmu, sudah aku pantau. Tidak ada yang bisa kau sembunyikan dariku."

Amina merasa hatinya bergetar. Rasa cemas yang mendalam meresap di tulangnya. "Apakah ini akhir dari semuanya?"

Dante melangkah lebih dekat, duduk di kursi yang ada di depannya, tidak memperlihatkan ekspresi apapun selain ketenangan. "Aku punya tawaran untukmu," katanya dengan suara lembut. "Berhentilah menyelidiki pembunuhan itu, dan aku akan membantumu menemukan pelakunya. Bukankah itu yang kau inginkan?"

Amina menatapnya tajam. Tawaran itu menggoda, namun ia tahu terlalu baik untuk mempercayai seorang pria seperti Dante. Dengan segala perhitungan yang dia miliki, ia tahu bahwa keputusan ini lebih rumit dari sekadar mengambil jalan yang lebih mudah. Jika aku berhenti, aku menyerah begitu saja. Tapi jika aku terus melangkah, aku akan terjebak lebih dalam.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Dante?" Amina berbicara dengan suara rendah, penuh kewaspadaan.

Dante hanya tersenyum, senyuman yang tidak menunjukkan apa-apa selain permainan. "Aku hanya ingin melihat bagaimana kau memilih, Amina. Kadang, pilihan yang paling sulit adalah pilihan yang tidak bisa kita hindari."

Amina mengalihkan pandangannya ke lantai, mencerna kata-kata itu. Siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini? Dan siapa yang menjadi korban berikutnya?

Dante menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kau tahu apa yang harus kau pilih. Waktu akan memberi tahu."

Amina duduk terikat di kursi kayu yang keras, tubuhnya kaku, setiap ototnya siap meledak. Ruangan itu terasa lebih sempit daripada sebelumnya, empat dinding yang memenjarakan, dan udara yang semakin berat. Di depannya, Dante Von Hohenberg berdiri dengan postur sempurna, mengenakan jas hitam yang terkesan elegan namun mengintimidasi. Wajahnya yang tajam tersenyum penuh perhitungan, tetapi di balik senyum itu, Amina tahu dia adalah seseorang yang tidak pernah melupakan apa pun. Semua yang telah terjadi, semua langkah yang dia ambil, hanya bagian dari rencana besar yang penuh jebakan.

"Ini bukan tawaran, Amina. Ini perangkap."

Dante mendekat, langkahnya tenang, penuh kepastian. Setiap gesekan sepatu di lantai terdengar jelas dalam keheningan yang menegangkan. Dia berhenti tepat di depan Amina, matanya menyapu wajah Amina dengan tatapan penuh makna yang sulit dibaca. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?" suaranya tenang, hampir menggoda.

Amina menatapnya tajam, bibirnya terkunci rapat. "Kau pikir aku akan berhenti mengejar kebenaran hanya karena sebuah tawaran?" ucapnya dengan suara yang bergetar sedikit, namun penuh tekad. "Tidak, Dante. Aku tidak akan mundur."

Dante tertawa pelan, namun tawa itu tidak mengubah ekspresinya yang tajam. "Kau ingin melawanku? Tidak ada gunanya. Kau akan hancur, Amina. Semua yang kau ketahui akan berakhir jika kau terus berusaha mengungkap kebenaran."

Amina merasa otaknya berputar, mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ada satu cara, Amina. Tapi kau harus sangat hati-hati. Pikirannya bergejolak, namun dia tahu bahwa melawan langsung bukanlah pilihan bijak. Meskipun dia ingin, dia sadar bahwa dia tidak bisa atau belum saatnya.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, langkah kaki yang cepat terdengar dari luar ruangan, menambah ketegangan yang menggelayuti udara. Dalam sekejap, pintu hancur berderak dengan suara keras, membuat Amina terlonjak. Serangan itu datang begitu mendalam, membawa suasana yang berbeda, yang bahkan Dante pun tidak bisa prediksi.

Kelompok berseragam hitam itu memasuki ruangan dengan senjata terhunus, gerakan mereka terkoordinasi dengan sempurna, seolah-olah mereka telah berlatih ribuan kali. Amina merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya, tapi dia tahu satu hal: dia tidak sendirian dalam permainan ini. Bukan hanya Dante yang memiliki pasukan.

Dante, yang semula tenang dan menguasai keadaan, kini mengubah ekspresinya. Matanya yang tajam kini menunjukkan sedikit kejutan. “Apa ini?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada Amina.

"Siapa mereka?!" Amina berteriak dalam hati, berusaha tetap tenang meski suasana semakin kacau. Dengan tubuh terikat, dia hanya bisa melihat mereka menyerbu ke dalam ruangan, bergerak gesit dan terlatih. Setiap gerakan mereka penuh dengan ancaman yang tak terucapkan.

"Ini bukan bagian dari rencanamu, kan?" Amina bertanya, suaranya sedikit sengaja bergetar, memancing reaksi dari Dante. "Kau tidak tahu siapa mereka?"

Dante menatap Amina dengan senyuman setengah jengkel, tetapi ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. "Kau memang pandai menggali, Amina," jawabnya, suaranya dipenuhi dengan rasa frustrasi yang samar. "Tapi aku rasa kau tidak akan bisa menggali cukup dalam untuk keluar dari ini."

Seorang pria dengan masker hitam mendekat, tangannya yang kuat meraih Amina dan mulai menariknya dari kursi. "Tidak ada waktu untuk bicara," katanya dengan suara rendah dan tegas.

Amina mencoba menepisnya, memutar tubuhnya, mencari celah. "Harus ada sesuatu yang bisa kulakukan."

Namun, sebelum Amina bisa bergerak lebih jauh, sebuah ledakan hebat mengguncang ruangan. Dinding retak, kaca berterbangan ke mana-mana, dan kekacauan pecah begitu cepat. Tubuh Amina terdorong ke belakang oleh gelombang kejut, serasa seluruh dunia terbalik dalam sekejap. Kaca dan puing-puing berjatuhan mengelilinginya, menciptakan simfoni kekacauan yang mencekam.

Amina mengerjap, berusaha kembali sadar di tengah kehancuran. Tidak! Ini bukan saatnya terkapar!

Dia melompat bangkit, merasakan sakit di punggungnya karena dampak ledakan, namun otaknya terus bergerak. "Apa yang sedang terjadi di sini?" pikirnya dengan panik. Dalam kepanikan ini, Amina menyadari bahwa semua yang dia ketahui, semua yang dia coba selidiki, kini terhubung dalam satu titik, konspirasi yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan.

Sementara itu, Dante berdiri di sudut ruangan, wajahnya lebih serius daripada sebelumnya. Dia meraih senjata dari meja di dekatnya, terlihat terkejut, namun tidak sepenuhnya kehilangan kendali. "Ini... ini tidak seharusnya terjadi," ia bergumam, berusaha mengatur pernapasannya yang mulai terengah-engah.

Amina menarik napas dalam-dalam. Ketegangan yang memuncak di dalam ruangan ini menambah kejelasan. Ada yang lebih besar dari sekadar aku dan Dante. Ada tangan yang lebih besar dari bayangannya yang menggerakkan seluruh permainan ini.

Amina bertekad. Jika ada satu kesempatan yang bisa dia ambil, ini saatnya. Tapi, dalam kekacauan ini, siapa yang bisa dipercaya? Dan lebih buruknya lagi, siapa yang mengirimkan pasukan bayangan ini?

Dante menatap Amina sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya pada pasukan yang baru datang. "Kita harus pergi," bisiknya dengan suara tajam, suaranya penuh perhitungan.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!