Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Membangun kembali
Keisha duduk di bangkunya, menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Hari-hari yang penuh kebingungan dan perasaan yang bergejolak kini telah berlalu, meninggalkan ruang hampa di dalam dirinya. Surat-surat yang ia berikan kepada Rama dan Davin terasa seperti pintu yang ditutup, meski ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang. Keputusan yang telah ia buat tidak mudah, dan meskipun ia merasa lega, hatinya tetap dipenuhi banyak pertanyaan.
Di kantin, suasana siang itu lebih riuh dari biasanya. Meskipun Keisha datang lebih awal, meja yang biasa ia duduki bersama Rama dan Davin sudah penuh dengan teman-teman sekelasnya. Nadya melambaikan tangan dari kejauhan, menarik perhatian Keisha.
“Keisha! Ke sini!” panggil Nadya dengan suara ceria, membuat Keisha tersenyum kecil dan melangkah menuju meja itu. Di sana, Nadya duduk bersama dua teman lain yang juga berada di kelas yang sama. Mereka segera menyapa Keisha dengan ramah, meskipun ada sedikit ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
“Keisha, gimana? Lo udah ngasih surat kan?” tanya Nadya, menatap Keisha dengan penasaran.
Keisha mengangguk pelan, merasakan detakan jantung yang semakin cepat. “Iya. Udah aku kasih. Tapi aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini.”
Nadya menatapnya dengan penuh pengertian. “Keisha, lo udah ambil langkah besar, dan itu nggak gampang. Jadi, apa pun hasilnya, lo harus bangga sama diri lo sendiri.”
Keisha tersenyum kecil, merasakan sedikit ketenangan dalam kata-kata sahabatnya itu. Namun, meskipun begitu, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya—perasaan yang belum sepenuhnya terselesaikan antara dirinya, Rama, dan Davin. Mungkin ini bukan sekadar soal memilih antara dua orang, tetapi lebih pada menerima kenyataan bahwa hidup kadang berjalan dengan cara yang tak terduga.
~
Hari-hari setelah surat itu dibagikan berjalan lebih lambat dari yang diharapkan Keisha. Ia terus menjalani rutinitas sekolah seperti biasa, mencoba beradaptasi dengan perubahan yang ada. Meskipun dirinya merasa telah membuat keputusan yang tepat, rasa ragu masih menyelimuti hati Keisha.
Rama mulai menjauhkan diri, tidak lagi seperti dulu yang selalu menghabiskan waktu bersama Keisha. Ia terlihat lebih sibuk dengan kegiatan ekstra sekolahnya, memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya yang lain. Keisha menyadari perubahan itu, dan meskipun ia tahu bahwa keputusan itu memang perlu, ia tetap merasa sedih melihat Rama semakin menjauh.
Di sisi lain, Davin juga tampak tidak seperti biasanya. Ia tidak terlalu sering terlihat berinteraksi dengan Keisha, bahkan di kelas sekalipun. Davin memilih untuk fokus pada tugas-tugas sekolahnya dan tidak terlalu menggubris kehadiran Keisha. Sesekali, mereka bertemu di perpustakaan atau di lorong sekolah, tetapi tidak ada lagi percakapan seperti dulu. Keisha merasa semakin terasing.
Keisha menyadari bahwa ia harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin tidak ada cara untuk mengembalikan hubungan mereka ke keadaan semula. Semua yang pernah ada, semua yang mereka bangun bersama, kini terasa seperti kenangan yang perlahan memudar. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, menatap masa depan yang kabur dan tidak pasti.
~
Pada suatu hari, saat pelajaran sejarah berlangsung, Keisha terperangkap dalam pikirannya sendiri. Ia tidak bisa sepenuhnya fokus pada materi yang diajarkan oleh Bu Anita. Keisha merasa ada sesuatu yang kurang, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apapun. Ia menoleh ke arah jendela kelas, memandangi langit yang tampak kelabu. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran waktu yang tak bisa ia kendalikan.
Tiba-tiba, suara guru memanggil namanya. “Keisha, bisa bantu jawab soal ini?”
Keisha tersentak, merasa malu karena tidak mendengarkan pelajaran. Ia mengangkat tangan dengan sedikit gugup. “Iya, Bu,” jawabnya.
Keisha pun menjawab soal dengan lancar, menunjukkan bahwa ia tetap bisa berkonsentrasi meski pikirannya sedang terbelah. Bu Anita mengangguk dengan puas. “Bagus, Keisha. Poin tambahan untukmu.” Keisha tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa hambar. Semua pencapaian yang ia raih dalam pelajaran dan kehidupan akademis rasanya tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang ada di hatinya.
~
Setelah pelajaran berakhir, Keisha pergi ke taman belakang sekolah, tempat yang biasa ia kunjungi untuk berpikir dan mengumpulkan diri. Langit sudah mulai gelap, dan udara sejuk membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Keisha duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon besar, menatap halaman sekolah yang sepi. Di sinilah ia sering berlama-lama ketika butuh waktu untuk sendiri, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sosial yang kerap kali membuatnya merasa tertekan.
Namun, hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang tidak asing—Rama. Rama sedang duduk di bangku taman yang sedikit lebih jauh dari tempat Keisha duduk. Seolah merasakan pandangan Keisha, Rama menoleh dan tersenyum lemah ke arahnya. Keisha merasa sedikit terkejut, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang mendalam.
Keisha menghela napas dalam-dalam dan memutuskan untuk mendekat. Dengan langkah yang agak ragu, ia berjalan menuju Rama.
“Rama...” suara Keisha terdengar lebih rendah dari biasanya.
Rama menatapnya dengan tatapan tenang, tanpa ekspresi marah atau kecewa. “Keisha, ada yang bisa gue bantu?” tanyanya, meskipun dari suaranya, Keisha bisa merasakan ada jarak yang terbentuk di antara mereka.
Keisha duduk di sebelahnya, mencoba untuk tidak merasa canggung. “Aku... cuma pengen ngomong sama lo. Aku tahu mungkin gue nggak bisa ngembaliin semuanya seperti dulu, tapi... gue harus bilang ini. Aku masih peduli sama lo, Rama. Gue nggak mau kehilangan lo, walaupun aku tahu kita nggak bisa kembali seperti dulu.”
Rama terdiam, sejenak merenung. Wajahnya tetap tenang, meskipun Keisha bisa melihat sedikit kekhawatiran di matanya. “Keisha, gue juga peduli sama lo. Tapi gue butuh waktu buat ngereset semuanya. Gue nggak mau lo ngerasa terjebak antara gue dan Davin. Lo berhak bahagia, Kei.”
Kata-kata Rama membuat Keisha merasakan rasa hangat yang mengalir di hatinya. “Aku nggak tahu gimana rasanya bahagia lagi, Rama. Tapi aku janji, gue bakal coba cari jalan buat itu. Gue nggak ingin bikin lo bingung lagi.”
Rama menoleh ke arah Keisha dan tersenyum, meskipun senyumnya itu agak terasa pahit. “Gue juga nggak mau bikin lo bingung. Jadi, gue akan ngasih lo waktu, Keisha. Gue harap lo bisa tahu apa yang lo mau.”
Keisha merasa beban di dadanya sedikit berkurang setelah percakapan itu. Mungkin ini bukan solusi instan, tetapi setidaknya ada kejelasan antara dirinya dan Rama. Ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan hilang begitu saja, tetapi ia juga tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan yang salah.
~
Keesokan harinya, Keisha merasa sedikit lebih ringan. Ia berjalan menuju kelas dengan langkah yang lebih mantap, meskipun di dalam hati masih ada keraguan dan ketakutan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, Keisha sadar bahwa ia harus terus berjalan—baik dengan atau tanpa Rama, atau bahkan tanpa Davin.
Di akhir pelajaran, Keisha duduk dengan Nadya, berbicara tentang hal-hal kecil, mencoba untuk kembali menikmati hidup seperti sebelumnya. Meski dunia terasa berubah, Keisha tahu bahwa yang terpenting adalah bagaimana ia menghadapi perubahan itu. Karena hidup terus berjalan, dan Keisha harus bisa menemukan jalannya sendiri, seiring dengan waktu yang terus berjalan.