Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lara Seorang Ibu
"Lain kali hati-hati, Bu. Jangan karena gagal nikah jadi hilang fokus."
Deg ...
Inayah seketika mematung, ucapan Rayyan berhasil menohok hatinya.
"Maaf Bu, jika yang aku katakan benar." susul Rayyan dengan menampilkan wajah tanpa dosanya.
"Tapi aku senang Ibu balik lagi ke sekolah. Aku kira setelah gagal nikah ibu ada rencana bunuh diri karena patah hati."
Jleb ....
Kata-kata Rayyan yang diucapkan dengan wajah datar itu kembali membuat Inayah tersentak, dia menatap tajam muridnya itu karena berkata yang kurang sopan menurutnya.
"Maaf Bu ...hehe" Rayyan mengacungkan dua jarinya, telunjuk dan jari tengah kali ini sambil nyengir. Inayah hanya geleng-geleng kepala menanggapinya. Tapi fokus Inayah malah teralihkan pada wajah ceria muridnya itu.
"Permisi, Ibu mau lewat." Inayah memutuskan untuk no komen mendengar semua omongan murid baru itu. Di pertemuan kedua ini kembali murid baru itu membuatnya jengkel. Namun Inayah masih bisa menahan diri untuk tidak menampilkan kekesalannya.
"Saya temani ya, Bu." Inayah menghentikan langkah, dia berbalik saat merasakan Rayyan mengikuti langkahnya di belakang.
"Terima kasih, tapi tidak usah. Kamu silakan lanjutkan kegiatan belajarmu dengan benar." tegas Inayah, dia kembali berbalik dan melanjutkan langkah menuju ruang perpustakaan.
"Tapi saya khawatir dengan Ibu " Rayyan tidak menyerah, dia tetap beralasan sambil terus mengikuti Inayah.
"Assalamu'alaikum, Bu "
"Wa'alaikumsalam." balas Inayah saat berpapasan dengan beberapa murid perempuan yang juga baru dari perpustakaan.
Sekilas mereka melirik Rayyan yang beberapa minggu ini menjadi pusat perhatian semua siswa di sekolah itu.
Rombongan murid perempuan itu sejenak berhenti dan saling berbisik.
"Eh itu Rayyan kan?"
"Iya beneran itu Rayan yang murid baru itu" sahut salah satu temannya.
"Beneran dia senyum barusan?"
"Iya, ganteng banget ya. Coba kalau dia kayak gitu terus pasti semua cewek makin klepek klepek."
"Ah jarang senyum aja banyak yang ngefans."
"Iya juga sih." mereka pun mengakhiri sesi bergosipnya dengan sama-sama tertawa.
Rayyan, murid baru yang selama ini dikenal sebagai murid yang tidak pernah tersenyum. Di awal masuk, dia bahkan beberapa kali keluar masuk ruang BK karena selalu tidur di dalam kelas saat pembelajaran berlangsung.
Tapi hari ini mereka seolah mendapat kejutan melihat murid baru itu senyum-senyum saat berjalan di belakang Bu Inayah.
"Kenapa kamu mengikuti saya?" Inayah setengah berbisik, dia sudah masuk ke perpustakaan dan mencari buku yang dibutuhkannya setelah saling sapa dengan rekannya yang bertugas menjadi petugas perpustakaan.
"Aku hanya khawatir Ibu berbuat aneh-aneh di perpus, secara kan tempat ini sepi dan sunyi "
"Berbuat aneh bagaimana maksud kamu?" Inayah menaikkan kedua alisnya. Lagi-lagi tidak nyaman dengan pernyataan Rayyan.
"Yaa... misalnya mengakhiri hidup, di perpus kan tempatnya sepi." jawab Rayyan enteng.
"Rayyan ..." tegur Inayah memotong ucapan Rayyan yang lagi-lagi melantur dan dirasa tidak sopan menurutnya.
"Sekarang sebaiknya kamu kembali ke kelas dan ikuti pembelajaran dengan baik."
"Tapi Ibu janji jangan nekad ya." Rayyan masih berada di posisinya.
"Ckk" akhirnya Inayah tidak bisa menahan diri untuk tidak berdecak, murid yang satu ini sungguh membuat hatinya semakin kesal.
"Masuk ke kelas!" tegas Inayah, pelan tapi tapi menusuk. Tatapannya bahkan tajam pada Rayyan.
Namun lagi-lagi muridnya itu hanya malah mengukir senyum. Rayyan merasa Inayah sangat menggemaskan di matanya dan membuatnya ingin semakin dekat dengan guru yang satu itu.
"Baik-baik Bu, aku akan masuk. Tapi ada satu syarat."
"Syarat apa?" Inayah mendelik, muridnya yang satu ini sungguh sangat menguji kesabarannya.
"Nanti siang temani aku makan siang di taman belakang."
Deg ...
Mendengar ucapan Rayyan seketika Inayah teringat perkataan Bu Habibah, guru senior yang di awal-awal kedatangan Rayyan ke sekolah itu sempat menangani anak tersebut.
Bu Habibah mengatakan jika selama dua minggu Rayyan bersekolah di sini, dia tidak pernah ke kantin. Jangankan menambah teman baru, saling tegur dengan teman sekelasnya saja tidak pernah kecuali teman-temannya yang memulai menyapanya, baru Rayyan menanggapi itupun hanya sekedarnya, biasanya hanya mengangguk, menggelengkan kepala atau sekedar berdehem.
Selama ini Rayyan seolah asik dengan dunianya sendiri. Di jam istirahat dimana anak-anak memburu kantin untuk mengisi kembali energi mereka, Rayyan lebih memilih menuju ke taman belakang sekolah dan ternyata di sana dia memakan bekal makan siangnya.
Pernah satu waktu ada temannya yang menghampiri Rayyan di taman itu saat makan siang bermaksud makan bareng di sana tetapi Rayyan menolak dan memilih pindah ke tempat lain memberi jarak yang nyata kepada siapapun gang coba mengakrabkan diri padanya.
"Baiklah, di jam istirahat, setelah salat dzuhur kita bertemu di taman belakang sekolah." Inayah menyanggupi, menurutnya ini adalah kesempatan dia untuk lebih mengenal karakter Rayyan yang sepertinya introvert.
"Baik Bu, sampai jumpa siang nanti. Aku akan berada di kelas sampai siang nanti, jadi jangan kangen ya."
"Assalamu'alaikum" Rayyan buru-buru berlalu dari hadapan gurunya sambil terkekeh karena joke yang baru saja dia lemparkan yakin akan membuat Bu Inayah kembali kesal.
"Heummm Rayyaaan ..." pekik Inayah tertahan.
"Wa'alaikumussalam." gumamnya terlambat menjawab salam Rayyan.
Inayah pun melanjutkan aktivitasnya, membaca buku untuk memantapkan persiapannya melakukan pembimbingan hari ini.
🌹🌹🌹
Waktu berlalu dengan semestinya tak peduli masih ada yang belum selesai hari ini, waktu tidak akan pernah menunggu. Melaju sesuai ketentuan Sang Maha Penentu. Andai kita tak pandai memanfaatkan waktu tentu kita akan tertinggal jauh di belakang.
Begitu pun dengan Inayah, rutinitasnya mengajar menjadi salah satu peralihan dari nasib buruk yang menimpanya, gagal menikah. Tapi, entahlah itu nasib buruk atau nasib baik, yang pasti keadaan ternyata belum mereda.
Di saat Inayah mampu mengalihkan hati dan pikirannya pada pekerjaan, ternyata tidak dengan keluarganya.
Sang ibu masih kedapatan sering menangis memikirkan Inayah yang masih jadi bahan gunjingan di pasar tempatnya berjualan, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya pasca ditinggalkan suami tercinta karena kecelakaan.
Walau Inayah selalu terlihat tegar di hadapannya, namun Bu Ina yakin jika putrinya pun tahu jika masih banyak orang yang sering membicarakan kegagalan pernikahannya.
Bukan hanya Bu Ina, Indira juga terkena imbasnya. Tidak sedikit yang mengatakan jika adiknya pun akan bernasib tidak jauh dari kakaknya. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan anak-anak Bu Ina akan jauh dari jodoh karena kegagalan pernikahan anak sulung mereka.
"Astaghfirullah ..." Bu Ina mengelus dada sembari mengucap istighfar. Hari sudah sore beliau baru saja kembali dari pasar dan mendapati rumahnya yang sepi karena ketiga anaknya belum pulang.
Sejak kegagalan pernikahan Inayah, ketiga anaknya lebih sering berada di luar rumah. Walau pun Irfan tidak terlalu terpengaruh tapi dia pun lebih sering pulang malam dan menghabiskan waktunya di kampus. Begitu pun Indira, dia kadang lebih memilih berada di rumah temannya jika pulang dari kampus masih siang.
Apalagi Inayah, tempat ternyaman yang bisa membuatnya tenang saat ini adalah sekolah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah walau pun sudah tidak ada jam mengajar dan pulang saat hari menjelang maghrib.
Sementara Bu Ina yang tahu apa yang menjadi penyebab anak-anaknya seperti itu hanya bisa mengelus dada, apalagi dirinya pun sangat tahu dan merasakan sendiri bagaimana gunjingan tetangga tentang keluarga mereka.
"Bapak ..." gumamnya lirih, teringat sang suami sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️