"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Dengan segala cara akhirnya Janu berhasil membawa Eva ke apartemennya. Tak apa meski pacarnya itu masih marah dan tak mau berbicara sama sekali, yang terpenting gadis itu sudah ada bersamanya sekarang.
"Beib, mau minum apa?" tanyanya ke gadis yang hanya duduk diam di sofa. Menghela napas, Janu tak bertanya lagi tapi langsung ke dapur. Ambil dua minuman yang berbeda, satu kaleng soda untuknya dan satu lagi banana milk minuman favorite pacarnya.
Janu sampai punya stok banyak di kulkas, karena gadisnya ini sangat menyukai minuman susu rasa pisang.
"Nih, minum. Susu pisang untuk cewek gue yang paling cantik,"
Di ambil minuman itu oleh Eva, disedot begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih atau meladeni pujian dari pacarnya.
Tak akan mempan rayuan seperti itu. Bukan tipe gadis yang menye-menye atau gampang meleleh dengan kata pujian cantik.
Eva berdecak kesal karena Janu dengan entengnya meletakkan kepala di pangkuannya.
"Kangen," kata Janu. Mengubah posisinya menjadi miring, memeluk pinggang dan menenggelamkan kepalanya di perut Eva. "Udahan ya ngambeknya?"
"Lo bisa duduk dulu nggak?"
Janu nurut. Mendengar suara pacarnya yang serius, dia jadi keder sendiri. Sepertinya si pacar ini sudah tidak mau di ajak bercanda. Dan manja-manjanya tadi bukan waktu yang tepat.
"Lo tau nggak sih, salah lo dimana?"
Janu mengangguk. "Gue salah, udah ngatain lo cewek nggak bener. Tapi gue emosi, Beib,"
"Itu masalahnya!" seru Eva memotong ucapan Janu. "Salah lo bukan karena ngatain gue, Jan. Tapi karena emosi lo!"
Eva sangat paham. Sangat paham sekali jika perkataan kasar Janu terhadapnya itu tidak dari hati, tapi karena emosi. Janu itu kalau emosi tidak bisa di kontrol, baik mulut atau tangannya tidak bisa di kendalikan.
"Bisa nggak sih, Jan. Sedikit aja, lo tahan diri. Kendaliin emosi. Sedikit aja, Jan. Lo bukan bocah esempe yang dikit-dikit tantrum," kata Eva dengan pelan, namun penuh ketegasan agar Janu bisa mengerti apa maksud yang disampaikannya.
"Mau sampai kapan kita begini terus?" tanyanya membuat Janu memalingkan muka. "Capek gue ribut mulu. Kita selalu aja berantem, debatin masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan baik-baik. Dewasa dong, Jan,"
Eva melirik tangan Janu yang sudah mencengkeram pinggiran sofa. Tahu jika pacarnya sekarang mulai emosi lagi.
"Gue capek beneran, Jan. Lo selalu begini, terus dateng bilang maaf. Besoknya begini lagi, maaf lagi. Terus aja begitu. Capek, Jan," kata Eva. "Gue juga bisa lelah dan nyerah kalo begini terus," lanjutnya yang semakin lirih.
Janu dengan cepat menggerakkan kepalanya menoleh ke Eva. "Lo ngomong apa?" tanyanya dengan wajah yang sudah tidak bersahabat. Tidak suka dengan pernyataan pacarnya. "Apa maksudnya, Va?"
"Lo tau maksud gue, Jan," jawab Eva. "Kelakuan lo kayak nyakitin gue perlahan. Kenapa nggak sekalian aja kita babak belur, biar nggak sakit lagi?" sarkasnya.
Dengan artian, hubungan ini sudah tidak sehat. Emosi Janu sering kali membuatnya sakit, jika memang tidak ada jalan tengah karena Janu masih tidak mau berubah, apa tidak lebih baik mereka putus saja? Biar sekalian sakitnya banyak, tapi setelahnya tidak akan ada yang saling menyakiti jika sudah tidak bersama.
"Lo gila?" bentak Janu.
Eva menggeleng pelan. Jangankan untuk berubah, untuk mau memahami maksudnya saja Janu tidak bisa. "Ini, begini sikap lo. Nggak bisa sama sekali di ajak ngomong baik-baik,"
Janu berdiri, menjambak rambutnya sendiri dengan mata terpejam. Merutuk dalam hati kenapa diri ini tak bisa mengontrol emosi sama sekali.
Sebenarnya paham maksud dari kalimat Eva, tapi selalu saja seperti ini jika tidak sesuai dengan apa yang dia mau. Diri selalu di asuh oleh emosi.
Dari berdiri, Janu beralih jongkok di depan Eva. Memegang kedua tangan pacarnya itu. "Beib ... Jangan begini. Gue harus apa biar bisa tahan emosi. Kasih tau gue. Gue juga nggak mau kita begini, Beib. Tapi gue selalu kalah dengan ego sendiri," mohonnya.
Janu sudah kecintaan dengan gadis ini. Tak ada sedikitpun bayangan jika hubungan ini akan berakhir. Janu juga tak mau menyakiti gadis yang dicintanya ini. Tapi respon dari emosinya juga tidak bisa dibenarkan.
"Sayang. Please. Bantu gue ya? Kasih kesempatan lagi untuk berubah. Gue cinta sama lo, Va,"
"Tapi lo nyakitin gue terus, Jan," kata Eva dengan mata yang sudah berembun. Tak tahu lagi harus seperti apa menjalani hubungan yang tidak sehat ini dengan Janu.
Di satu sisi dia ingin menyerah saja, tapi disisi lain dia sangat mencintai Janu.
"Enggak, Sayang," Janu menggeleng ribut kepalanya. Tak suka melihat pacarnya menangis, meski asal tangisan itu disebabkan oleh dirinya sendiri. "Maafin gue, Yang. Maaf. Gue janji bakalan berubah. Maaf ya?"
Eva diam saja. Biarkan air matanya turun. Di depan Janu dia tidak bisa menjadi perempuan yang sok kuat seperti biasanya. Di depan Janu dia bisa tunjukkan sisi lemahnya.
Bukan kah itu yang di lakukan ketika kita sudah bertemu dengan orang yang sangat kita cintai? Membuat kita nyaman untuk bisa jadi diri sendiri. Dan Janu orangnya, tapi kenapa orang ini yang sering membuatnya lemah sekarang.
Janu usap dengan lembut air mata yang terus turun. Beranjak dari berjongkoknya, Janu duduk dan bawa Eva ke dalam pelukannya. "Maaf ya, udah sering jahatin lo. Maaf. Tapi jangan pergi. Jangan tinggalin gue. Temenin gue berubah," kata Janu, tangannya tak henti memberi usapan di punggung serta kecupan yang dia labuhkan di kepala Eva.
Bagaimana Eva tidak nyaman, Janu yang datang memberikan racun dan Janu pula yang mengobatinya.
Merasa di bodohi oleh cinta. Ya itu Eva. Sudah jadi bucinnya Janu, gampang banget diluluhkan.
"Lo jahat tau nggak, Jan!"
"Iya, Sayang. Gue jahat,"
"Mulut lo kayak tai kalo emosi,"
"Iya. Mulut gue kayak tai,"
"Pengen gue tabok tau nggak!"
Janu menjauhkan kepalanya, agar bisa menatap wajah gadis manis yang tadi dia buat menangis. "Mau di tabok beneran?"
Eva mengangguk.
"Kalo udah di tabok, bisa berkurang nggak marahnya?"
Eva mengangguk lagi. Mulai kemarin tangannya memang gatal ingin menggeplak mulutnya Janu.
Janu yang mengangguk sekarang. "Gih, tabok," didekatkan wajahnya. "Asal elonya bisa puas. Gue nggak masalah," lanjutnya dengan lembut. Mempersilahkan kekasihnya itu untuk memberi pelajaran pada mulutnya yang sudah kurang ajar kemarin.
Plak.
Tanpa aba-aba Eva pukul mulutnya Janu. Sampai Janu berjingkat dengan mata yang terpejam erat. Tak siap dengan serangan dadakan pacarnya.
Pacarmu itu bukan gadis normal, Jan. Sebelas dua belas sama kamu. Cuma bedanya si Eva lebih unggul dalam asuh emosinya, tidak seperti kamu yang gradak gruduk.
"Sakit?" tanya Eva.
Dengan bibir yang mencebik Janu mengangguk. Memang beneran sakit gamparan pacarnya itu.
"Sukurin. Itu yang hati gue rasain!" sarkas Eva.
Makin mencebik Janu. Dia yang tatoan tapi kenapa tingkah pacarnya yang mirip preman.
"SIni, gue minta obatnya!" seru Janu yang langsung menarik tengkuk leher Eva untuk mencium bibirnya.
Rasa emosi, khawatir, rindu dan sakit dibibirnya, Janu lampiaskan ke bibir pacarnya. Menciumnya dengan hasrat dan lumayan lama.
"Janu! Gue nggak bisa napas!" seru Eva dengan napas yang memburu setelah berhasil terlepas dari jerat bibir Janu.
"Udah kan napasnya?" belum juga di jawab sama Eva, tapi sudah disosor lagi sama Janu.
Beneran pasangan sinting Janu dan Eva tuh. Gampang gelud, gampang juga sosor-sosoran.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..