Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EMPAT MATA
Hari sudah benar-benar gelap, menyelimuti kota dengan kesunyian yang mencekam. Di dalam kamar kost Lena, Hana yang baru saja terlelap selama beberapa menit tiba-tiba tersentak bangun ketika suara ketukan terdengar di pintu. Matanya yang masih berat ia kucek perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar sebelum akhirnya beranjak dari tempat tidur.
Suara ketukan itu terdengar samar namun cukup jelas untuk membangunkannya. Perasaan bingung langsung menyelimuti Hana. Baru sejam yang lalu Lena pergi bekerja, tak mungkin ia kembali secepat ini, bukan? Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi sehingga Lena harus pulang lebih awal? Entahlah, Hana merasa ia harus memeriksanya sendiri.
Dengan langkah hati-hati, ia berjalan mendekati pintu, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia meraih gagang pintu dan menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memutarnya perlahan.
Ceklek…
Hana membuka pintu dengan sedikit ragu, dan saat pintu terbuka sepenuhnya, matanya langsung membelalak. Seketika, napasnya tercekat, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia berdiri terpaku, tak mampu berkedip sedikit pun saat melihat dua sosok pria yang begitu familiar berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi serius.
Angin malam yang dingin berhembus pelan, menyentuh kulitnya, tapi Hana bahkan tidak memperdulikannya. Ia mencoba memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi, bahwa dua orang yang kini berdiri di hadapannya benar-benar nyata.
"Rei, Nathan!" gumamnya pelan dengan nada terkejut. Suaranya hampir bergetar, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Rei, pria yang berdiri sedikit lebih dekat dengannya, melirik Nathan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam pandangannya, sesuatu yang membuat suasana terasa semakin tegang.
"Tunggu di sini!" ucap Rei tegas. Suaranya rendah, namun ada ketegasan yang membuat Nathan hanya mengangguk tanpa membantah.
Tanpa memberi Hana kesempatan untuk bertanya atau bereaksi, Rei langsung meraih pergelangan tangannya dan menariknya masuk ke dalam kost dengan gerakan cepat. Hana tersentak, tetapi ia terlalu terkejut untuk melawan.
Ruangan terasa lebih sunyi saat pintu tertutup kembali, menyisakan hanya mereka berdua di dalamnya. Hana bisa merasakan napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, sementara Rei berdiri di depannya, siap untuk berbicara empat mata.
Hana hanya diam, membiarkan dirinya mengikuti langkah suaminya tanpa perlawanan. Jari-jari Rei masih melingkar di pergelangan tangannya, mencengkeram erat seolah tak ingin melepaskannya begitu saja. Suasana di dalam kamar kost terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang bergema pelan.
Saat mereka akhirnya berhenti di balik dinding, Hana bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Lampu kamar yang redup memberikan nuansa temaram, menciptakan bayangan samar di wajah Rei yang kini berdiri tepat di depannya. Tatapan pria itu begitu dalam, menelusuri manik mata Hana seakan mencari sesuatu yang tersembunyi di sana.
Keheningan menggantung di antara mereka sebelum akhirnya Rei membuka suara.
"Kenapa tidak pulang?" tanyanya dengan nada pelan. Suaranya terdengar lebih lembut dibandingkan sebelumnya, namun tetap mengandung ketegasan yang tak bisa diabaikan.
Hana menunduk sesaat, merasakan genggaman Rei perlahan terlepas dari tangannya. Namun, bukan itu yang mengusik pikirannya—melainkan pertanyaan yang baru saja keluar dari bibir pria itu.
Dengan cepat, ia mengangkat kepalanya, menatap Rei dengan sorot mata penuh perasaan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, kekecewaan, dan juga luka yang mengendap di sana.
"Kenapa kau harus peduli?" balas Hana dengan suara yang sedikit meninggi. Ada nada perlawanan dalam suaranya, seolah ia tak ingin menunjukkan betapa sebenarnya pertanyaan itu menyentuh hatinya. Rei menghela napas panjang, matanya masih tetap terarah pada wanita di hadapannya.
"Kau istriku, Hana. Kau tanggung jawabku," ujar Rei dengan suara yang sarat makna. Matanya menatap lurus ke arah Hana, mencoba menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.
Hana tersenyum, tapi bukan senyum bahagia. Senyum itu penuh arti, lebih mirip senyum seseorang yang telah pasrah terhadap keadaan. Ada kepedihan yang samar di sana, namun ia tetap berusaha terlihat tegar.
"Kau tidak lupa perjanjian kita, kan?" Hana mengingatkan dengan nada tenang, namun ada sesuatu yang tajam di balik ucapannya. Ia menatap Rei dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Lagian, kau seharusnya senang. Sekarang kau bebas menemui Livy sesuka hatimu. Bukankah dia cinta pertamamu?" lanjutnya, suaranya terdengar lebih menyindir kali ini.
Rei tidak segera menjawab. Ia hanya diam, membiarkan kata-kata Hana menggantung di udara. Ia sama sekali tidak terkejut dengan ucapan itu—tentu saja tidak. Ia sudah tahu sejak awal bahwa Hana pasti mengetahuinya. Ia hanya tidak menyangka bahwa Hana akan mengatakannya dengan begitu lugas.
"Hana!" panggil Rei akhirnya, suaranya sedikit lebih tegas dari sebelumnya.
Namun, Hana tidak menyahut. Ia memilih diam, membiarkan emosinya menguasai diri. Ia tidak ingin menanggapi.
Rei yang tidak mendapatkan sahutan dari Hana hanya bisa menghela napas panjang sekali lagi. Ia tahu, istrinya sedang berusaha menahan emosi, sama seperti dirinya yang kini berusaha untuk tidak terpancing.
"Aku membiarkanmu di sini untuk malam ini," ucapnya dengan nada yang lebih terkendali, seolah berusaha menekan gejolak di dalam hatinya. "Tapi besok, kita akan pulang bersama. Kau butuh waktu untuk menenangkan diri, dan aku mengerti itu. Tapi setelah kita pulang, aku akan memberimu penjelasan. Semua yang kau ingin tahu, akan aku jelaskan saat waktunya tiba."
Nada suara Rei terdengar lebih tenang sekarang, tapi ada ketegasan di dalamnya. Seakan ia tidak akan menerima penolakan. Ia tidak ingin pertengkaran itu terulang lagi—pertengkaran yang terjadi di kamar mandi kemarin, di mana emosinya lepas kendali dan hampir membuatnya menyesali sesuatu yang lebih besar.
Hana tetap diam, hanya terdengar deru napasnya yang sedikit memburu. Matanya menatap lantai, tak ingin melihat ke arah Rei. Ia tidak tahu harus berkata apa, atau mungkin ia hanya takut jika mengeluarkan satu kata saja, emosinya akan semakin meluap.
Rei mengamati wajah istrinya sejenak, berharap ada sedikit respons, tapi Hana masih memilih diam. Akhirnya, tanpa mengatakan apa pun lagi, Rei berbalik dan melangkah menuju pintu.
Namun, saat tangannya hampir mencapai gagang pintu, ia tiba-tiba berhenti. Ia menoleh kembali ke arah Hana, wajahnya masih menyiratkan keseriusan.
"Nathan datang ke sini karena disuruh Mama untuk mencarimu juga," kata Rei, suaranya sedikit lebih pelan namun tetap jelas. "Kami bertemu di depan tadi."
Ia tahu Hana pasti bertanya-tanya dalam hati mengapa Nathan juga berada di tempat ini. Jadi, sebelum pertanyaan itu sempat keluar, ia memilih menjawabnya lebih dulu.
Hana masih tetap diam, hanya mengangkat kepalanya sedikit seolah ingin memastikan bahwa Rei benar-benar mengatakan hal itu.
Setelah mengatakan apa yang ingin ia sampaikan, Rei akhirnya benar-benar keluar dari kamar itu. Suara pintu tertutup terdengar samar, meninggalkan Hana sendirian dalam keheningan yang kini terasa semakin menusuk.
klo nunggu sehari satu,, kaya kurang puas. maaf