"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan dua sahabat
"Christopher!"
Pria itu tersentak kaget ketika suara berat sang ayah, agak keras menegurnya.
Setelah untuk beberapa saat tenggelam dalam ingatan masa lalu, kini ia menyadari dirinya ada di meja makan, bersama Travis, sang ayah, dan Nora.
"Ya, Ayah," jawabnya, malas.
"Bagaimana kuliahmu?"
"Biasa saja."
"Kapan kau akan lulus?"
"Segera."
"Bagus. Cepatlah lulus dan mulailah berkarir di dunia politik. Aku akan membantumu."
Christopher menyandarkan punggung, menyilangkan tangan di dadanya. "Maaf, tapi aku tidak tertarik, ayah."
Rahang Mr. Vaughan mengeras. "Tidak kau, tidak Travis... Tak ada satu pun yang bisa kuandalkan. Satu hanya bisa menghamburkan uang, satu lagi keras kepala dan tak tahu diuntung."
"Sayang," Nora mencoba menenangkan, "biarkan mereka memilih jalan sendiri. Mereka sudah dewasa."
"Dewasa itu berarti bertanggung jawab! Lihat mereka sekarang? Hanya tahu bersenang-senang."
Travis mendesah, menyuap potongan steak dengan malas. Christopher hampir saja melontarkan sarkas yang lebih tajam, tetapi mendadak ia merasakan remasan kuat di pahanya. Travis. Saudara laki-lakinya itu menggeleng pelan, memberi isyarat agar ia tidak melawan.
Christopher menghela napas. "Terserah Ayah saja," ucapnya akhirnya, acuh tak acuh, lalu memasukkan daging ke mulutnya.
Mr. Vaughan mendengus. "Lalu bagaimana hubunganmu dengan wanita itu?"
Christopher berhenti mengunyah. Ia melirik pria tua di hadapannya dengan ekspresi datar. "Wanita yang mana?"
"Yang lebih tua darimu." Christopher mengerti bahwa Saline adalah wanita yang dimaksud sang ayah.
Christopher mengangkat bahu, menyandarkan punggung ke kursi. "Banyak wanita yang berhubungan denganku, Ayah. Anda harus lebih spesifik."
Mr. Vaughan berdecak. "Kenapa kau lebih suka perempuan yang cukup tua untuk menjadi ibumu? Banyak gadis cantik yang seusiamu, kenapa memilih yang seperti itu?"
Christopher terkekeh kecil. "Lucu sekali, Ayah. Bukankah Anda juga seperti itu?"
"Apa maksudmu?"
Christopher melirik Nora sekilas sebelum kembali menatap ayahnya. "Kenapa kau tertarik pada seseorang yang lebih cocok jadi anakmu ketimbang istri? Apakah itu normal?"
BRAK!
Telapak tangan Mr. Vaughan menghantam meja, membuat peralatan makan di atasnya bergetar.
Travis menyandarkan kepala ke kursi, memutar bola matanya. "Brengsek, Christopher. Aku cuma mau makan malam tenang dan memastikan kartu kreditku aman. Fuck!" batinnya nelangsa.
"Bedebah sialan!" Mr. Vaughan mendelik marah. "Apa yang kau katakan tadi?!"
Christopher tidak mundur. Ia hanya menatap sang ayah dengan ekspresi santai.
"Apa yang kau katakan tentang ayahmu, huh? anak tidak tahu diuntung. Kau pikir kau bisa hidup enak sampai sekarang karena siapa? Sialan!" Suara Mr. Vaughan naik satu oktaf. "Aku tidak mau ada omong kosong di keluargaku! Kau mengerti?"
"Sayang, kau harus memperhatikan emosimu. Ingat apa yang dokter katakan." Nora mencoba menenangkan sementara Christopher tetap diam.
Dalam hati ia tertawa melihat wajah sang ayah yang merah menahan malu.
Mr. Vaughan membuang napas kasar sebelum beralih ke Travis. "Dan kau, Travis! Berhenti bermain-main dan tidur sana-sini! Aku tidak akan mentoleransi kesalahan lain darimu. Jika kau membuat masalah seperti kemarin lagi, ucapkan selamat tinggal pada semua fasilitasmu."
Travis mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku mengerti, Ayah."
"Sudah saatnya kau serius menjalani hidupmu."
"Iya, ayah. Karena itulah aku berpikir untuk bergabung dengan yayasan Ayah," ujar Travis dengan senyum manis yang jelas penuh tipu daya.
Namun, ekspresi Mr. Vaughan berubah. Seketika.
"Tidak bisa!"
Christopher mengangkat alis. "Kenapa?"
"Karena aku bilang tidak!"
Christopher melirik Travis yang juga tampak terkejut. Tak biasanya ayah mereka menanggapi sesuatu dengan reaksi sekeras ini.
Sang ayah bangkit dari kursinya. "Kalian berdua, jangan membuat masalah! Aku tak mau nama baik keluarga ini hancur."
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan dua undangan hitam beraksen emas, lalu melemparkannya ke meja.
"Hadiri pesta ini."
Christopher mengambil salah satu undangan itu, membacanya sekilas.
^^^Gala Penggalangan Dana Tahunan Yayasan Vaughan^^^
^^^Dress Code: Black Tie & Mask^^^
"Untuk apa?" tanya Travis, pura-pura tak tertarik.
"Untuk membangun koneksi," jawab Mr. Vaughan dingin. "Kalian berdua harus mulai berpikir tentang masa depan kalian."
Travis menyeringai kecil, menyisipkan undangan itu ke saku jasnya. "Oh, tentu. Aku akan memastikan hadir."
Christopher melirik Travis dengan tatapan curiga. Ia tahu saudara laki-lakinya ini lebih memilih pesta liar daripada acara amal membosankan.
Dan jika Travis tiba-tiba tertarik dengan yayasan ini...
Berarti ada sesuatu yang sedang ia rencanakan.
...-0-0-0-...
"Surprise!"
Dua wanita muncul di depan pintu dengan wajah sumringah begitu Everly membukanya.
"Anaya, Rosemarry!"
"Hai, Mrs. Collins!" seru mereka serempak.
Everly mengernyit. "Tiba-tiba muncul disini?"
"Cause We miss you!" Tanpa aba-aba, mereka langsung memeluk Everly erat, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Lihat apa yang kami bawa~" Anaya bernyanyi kecil, mengangkat kantong belanjaan di tangannya. Sementara, Rosemary dengan santainya mengacungkan selusin bir.
Everly menatap mereka dengan mata membelalak. "Kalian mau mukbang atau apa?
"Girl, serius ini bahkan belum seluruhnya. Masih ada food delivery yang akan datang!" cerocos Anaya santai.
"Kita harus merayakan ini, kan?" tambah Rosemary, melirik Anaya sebelum menerobos masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu izin pemiliknya.
"Merayakan apa?!" tanya Everly mengekor pada kedua sahabatnya meminta penjelasan .
"Status single-mu!" ucap kedua temannya serempak, diakhiri cekikikan. Sembari Mengeluarkan isi kantong belanjaan mereka di pantry.
Everly mendesah panjang sebelum memutar bola matanya. 'Teman-teman Sialan!' umpatnya nelangsa.
"Ini jam 9 malam, for god sake." Everly tak berpikir ini akan berakhir aman. Terakhir kali dia mengikuti keinginan teman-temannya, dirinya berakhir di ranjang pria asing yang lebih muda darinya.
"Besok weekend Eve, lagipula kami sudah susah payah meluangkan waktu dari Harrisburg, untuk mengunjungimu, kau serius akan mengusir kami?" rajuk Rosemarry dengan nada dibuat-buat dan wajah cemberut.
Sekali lagi Everly menghela napas panjang. Dia menyerah. "Baiklah, asal kalian membantuku membereskannya ketika selesai."
"Deal!"
Mereka mulai menata makanan. Anaya menyiapkan coffee table di ruang tengah apartemen, melapisi meja dengan alas makan. Rosemarry sibuk menuangkan bir ke dalam gelas, sementara Everly, membantu mengeluarkan piring dan peralatan makan.
"Kau harus mengakui, ini jauh lebih baik daripada menangisi masa lalu sambil menonton drama murahan," celetuk Rosemary sambil menuangkan bir untuk Everly.
"Aku tidak menangis," sanggah Everly mencicip kepingan Nacho, seraya duduk di atas karpet lantai di depan sofa.
Anaya terkikik melirik laptop yang menampilkan playlist drama. "Tapi kau nonton drama sedih, kan?"
Everly buru-buru bangkit menutup laptopnya. "Aku sedang mengisi waktu luang.”
"Oke, oke, aku sudah cukup senang kau tidak menghabiskan waktu dengan menangisi mantan suami blonde mu itu." balas Rosemary santai.
"Jadi," Rosemary menyesap birnya, "selamat datang di kehidupan single lagi! Bagaimana rasanya?"
Everly menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap makanan di hadapannya dengan ekspresi malas. "Biasa saja. Aku belum merasa bebas, kalau itu yang kalian tanyakan."
"Karena perceraian kalian hanya sementara?"
Everly mengangguk, mengonfirmasi tebakan Rosemary.
"Aku benar-benar tidak habis pikir dia masih percaya pada hal konyol itu." Kini Anaya mendengus sebal. "Kalau begitu, kapan rencananya kalian akan rujuk?"
Everly menggeleng pelan.
"Maksudmu, tidak ada kepastian?" Rosemary mengernyit.
"Lalu, apakah dia sering menghubungimu sejak kau pindah?" timpal Anaya mulai gemas.
Everly berpikir sejenak. "Hanya di awal aku keluar dari rumah. Setelah itu, tidak lagi."
"Nah, itu dia yang kumaksud!" Anaya membetulkan posisi duduknya, matanya berbinar penuh emosi. "Seharusnya, kalau dia benar-benar cinta, dia tidak akan bisa tanpamu!"
Everly tertunduk, menghela napas sebelum menatap sahabatnya bergantian. "Apa kalian ke sini hanya untuk menghakimiku? Kalau iya, lebih baik pulang saja sana!" Ia berujar sebal. Dia sudah cukup pusing dengan situasi hidupnya, dan dua sahabatnya ini malah membuat pikirannya semakin kacau.
"Oke, oke!" Rosemary menyikut Anaya kuat, sebagai tanda agar wanita itu menghentikan mulut cerewetnya karena mood Everly mulai buruk. Gadis berambut ikal itu meletakkan kaleng birnya dengan cukup keras di atas meja. "Mari kita hentikan pembahasan tentang Mason si bajingan itu, oke?!"
Pada akhirnya Anaya mengangguk setuju.
"Baiklah. Kalau begitu, ceritakan saja bagaimana kau bisa bertetangga dengan teman cinta satu malammu?" tanya Rose mengalihkan pembicaraan mereka.
"Oh tidak jangan bahas itu sekarang." Everly menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Memangnya kenapa?"
"Dia tidak hanya tetanggaku. Tapi juga teman sekampusku." gumamnya pelan penuh rasa malu. Sedangkan kedua sahabatnya histeris.
"No way?!" Rosemary menatap Everly dengan mulut sedikit terbuka, sementara Anaya langsung terlonjak di duduknya.
"Astaga! Ini semakin menarik!" Anaya bertepuk tangan, matanya berbinar penuh antusias. "Jadi, dia tidak hanya tinggal satu lantai denganmu, tapi juga satu universitas? Tuhan, ini seperti cerita di novel romansa klise!"
"Justru itu yang membuatnya menyebalkan!" Everly meremas rambutnya frustrasi karena itu merupakan situasi yang sangat canggung.
"Masalahnya, aku justru jadi makin aneh setiap kali bertemu dengannya. Aku jadi gugup, jadi kikuk dan sangat canggung."
Anaya menyeringai jahil. "Oh, kalau begitu, kita harus membantumu!"
Everly langsung waspada. "Tunggu, apa maksudmu?"
"Kalian canggung karena tidak mengenal dekat satu sama lain. Aku akan mengundangnya. Dan kalian bisa ngobrol dari hati ke hati." Anaya beranjak dari duduknya.
"No no no. Kau gila?" Everly menarik baju Anaya dari seberang meja untuk mencegah kegilaan wanita itu.
"Kenapa? Anggap saja ini acara untuk mengakrabkan diri antar tetangga."
"Tidak, jangan membuatku lebih malu lagi, Sialan!"
"Kenapa sih? kan sudah kubilang santai saja Everly,"
Sebelum wanita yang bermata biru itu sempat membantah, Anaya sudah melangkah ke luar, menghampiri pintu apartemen yang tepat bersebelahan dengan milik Everly.
"Anaya! Hentikan!" Everly buru-buru mengejar, tapi terlambat. Anaya sudah mengetuk pintu apartemen Christopher dengan percaya diri.