Jerat Cinta Mantan Suami

Mulut Ishara sedikit terbuka dengan tatapan bingung nya, wanita itu melongok saat mendengar perkataan yang lebih terdengar seperti aduan.

“Aku demam Araaa!!..”

*

Ishara terkesiap saat mendengar nada bicara Agaskara, nada manja yang sudah lama tidak ia dengar saat pria itu mengadukan beberapa hal yang membuatnya tidak senang dahulu.

“Araa..” Agaskara memanggil dengan wajah memelas pucat nya.

Tidak dapat Ishara elak bahwa pria itu hanya berbohong, terbukti dari wajah yang terlihat lesu dan bibir yang pucat. Serta saat rapat tadi dirinya sempat melirik Agaskara yang sepertinya terus memijat pelipis nya.

“Tuan ingin saya panggilkan dokter?”

Agaskara menggeleng cepat dengan bibir cemberut tidak senang. Wanita di hadapan nya sangat tidak peka!

“Lalu?” Ishara menggenggam erat tab beserta beberapa berkas di depan dada nya, menahan perasaan nya yang kembali terombang-ambing.

“Aku butuh pelukan”

Agaskara berucap dengan suara pelan nya yang tentu dapat di dengar oleh Ishara, namun wanita itu memilih untuk pura-pura tidak mendengar.

“Jika tuan tidak mau saya panggilkan dokter, bagaimana jika saya ambilkan obat penurun panas saja?” Tawar Ishara yang langsung mendapat gelengan dari Agaskara.

Tidak hanya disitu, pria bertubuh kekar dengan penampilan yang berubah delapan puluh derajat saat rapat sebelumnya. Kini berjalan menghampiri Ishara yang diam di posisi nya.

“Tuan..” Suara Ishara terendam saat tiba-tiba Agaskara menyandarkan kepalanya di bahu Ishara.

Tidak memeluknya, melainkan hanya kepala yang bersandar di bahu Ishara dengan helaan napas berat nya.

“Panas sekali” Batin Ishara merasakan suhu kening dan napas Agaskara.

“Pelukan mu adalah obat ku..” Agaskara berujar lirih, seakan tidak memiliki tenaga lagi.

“Sepertinya demam anda cukup parah, lebih baik saya panggilkan dokter saja?”

“Tidak, tidak, tidak”

“Lalu bagaimana jika--”

“Peluk aku Ara” Rengek Agaskara memotong perkataan Ishara. “Aku lemas, kepala aku pusing dan di tambah kondisi perusahaan sedang mengalami kerugian seperti ini. Rasanya kepala ku mau meledak”

Selama beberapa saat berperang dengan perasaan dan hati nurani nya, pada akhirnya kini tangan kanan Ishara terangkat menyentuh bahu Agaskara dan mengusapnya pelan.

“Baiklah kita duduk di sofa, jangan seperti ini”

Mendengar perkataan Ishara yang akhirnya setuju, dengan cepat Agaskara menarik wanita itu menuju sofa di ruangan nya yang terbilang cukup besar dan langsung mendudukkan Ishara di sana.

Belum sempat wanita itu bersuara, Agaskara langsung berbaring di atas pahanya dan memiringkan kepalanya ke arah perut Ishara lalu memeluknya.

Tentu pergerakan dan kelakuan Agaskara mampu menimbulkan keterkejutan yang hanya membuat Ishara terdiam kaku.

Hembusan napas hangat menembus blazer yang Ishara pakai mampu membuat wanita itu tersadar dan berkedip beberapa kali.

“Lah kok?” Ishara bergumam bingung. “Katanya peluk kok jadi gini?” Lanjutnya.

Agaskara menduselkan kepalanya di perut Ishara hingga blazer yang wanita itu gunakan sedikit tersingkap.

“Pelukan nya nanti, aku sangat lelah dan usap-usap kepala ku”

Entah melihat dari mana yang pasti Agaskara dapat dengan pas mengambil tangan kiri Ishara lalu di tuntun agar menyentuh rambut nya.

“Usap dan pijat, kepalaku sangat sakit” Pinta Agaskara.

Pada akhirnya Ishara melepaskan terlebih dahulu barang-barang yang ia bawa ke sebelah nya, lalu mulai mengusap dan sesekali memijat kepala pria itu.

Jika tidak di turuti maka Agaskara akan merengek, karena itu lah kebiasaan pria itu.

**

*

“Hai semua,, maaf aku terlambat”

Mendengar suara yang tidak asing, para wanita di suatu ruangan privat sebuah restoran ternama itu pun langsung menoleh.

Sang figur utama yang sejak awal di tunggu kehadiran nya kini telah datang dengan tampilan elegan namun tetap meninggalkan kesan mewah nya.

Satu persatu para wanita itu melakukan cipika-cipiki sampai akhirnya sampai pada seorang wanita yang membawa anak nya.

“Wah siapa gadis cantik ini?” Tanya Nicely yang baru saja melakukan cipika-cipiki pada wanita muda itu.

Wanita yang terlihat seumuran dengan Nicely dan duduk tepat di samping wanita muda itu terlihat terkekeh samar.

“Perkenalkan ini putri ku pertama ku Brista, Nice” Ucap Carey Bannet memperkenalkan putri nya.

“Halo tante” Wanita bernama Brista itu tersenyum dengan kepala menunduk sesaat sebagai tanda kesopanan nya.

“Astaga pantas sangat cantik!” Puji Nicely tersenyum.

Tentu mendapatkan pujian dan respon dari Nicely membuat Carey melirik beberapa teman-teman nya yang langsung di sambut anggukan.

Nicely pun duduk di kursi nya, kegiatan arisan yang diadakan setiap satu bulan sekali ini di pimpin oleh nya.

Bukan hanya arisan semata tetapi juga menjadi ladang silahturahmi antar beberapa keluarga itu. Nicely tentu tidak memberi batasan jika hanya yang boleh ikut hanya kalangan atas saja.

Tetapi mungkin untuk mengikuti kegiatan seperti ini, kalangan bawah sudah merasa minder duluan. Hingga hanya ada beberapa orang dari kalangan menengah dan atas.

Para wanita itu memulai kegiatan nya bahkan melakukan lunch bersama setelah nya. Membicarakan beberapa hal dan ada juga yang memamerkan harta miliknya atau suami nya.

“Bagaimana putri ku menurut mu, Nice?” Carey bertanya pada wanita di sebelah nya yang baru saja ia dekati posisi duduk nya.

Di hadapan nya sana Brista tengah mengobrol santai dan terlihat begitu anggun dengan beberapa wanita.

“Putri mu terlihat sangat sopan dan anggun, pasti semua karena didikan mu” Jawab Nicely dengan nada riang nya. Tidak terdapat sedikit pun keangkuhan dari nada bicara sang ibu Vincente.

“Hm tentu, aku berusaha mendidiknya agar menjadi wanita yang sopan, anggun dan mandiri agar tidak merepotkan suami nya kelak”

Nicely tersenyum bangga mendengar itu, kemudian wanita itu mengambil teh nya lalu menyeruputnya pelan.

“Bagaimana jika kita jodohkan anak-anak kita?”

Ukhuk.. Ukhukk..

Nicely tersedak teh nya saat mendengar pertanyaan yang terdengar seperti ajakan dari Carey, dan hal itu pun membuat semua pasang mata menatap ke arah nya.

“Astaga hati-hati nyonya, teh nya mungkin masih panas” Brista memberikan sapu tangan nya.

Bahkan membersihkan tumpahan teh yang terkena baju Nicely membuat wanita setengah baya itu memegang kedua tangan Brista.

“Tidak apa Brista, jangan seperti ini” Tolak halus Nicely tersenyum tulus.

Menatap wajah wanita muda yang bersimpuh di bawa nya, seketika Nicely terdiam selama beberapa saat.

“Apa sudah waktunya?” Batin Nicely

...****************...