Novel ketiga Author septi.sari
Karya asli dengan ide alami!!
Anissa terpaksa menerima perjodohan atas kehendak ayahnya, dengan pria matang bernama Prabu Sakti Darmanta.
Mendapat julukan nona Darmanta sesungguhnya bukan keinginan Anissa, karena pernikahan yang tengah dia jalani hanya sebagai batu loncatan saja.
Anissa sangka, dia diperistri karena Prabu mencintainya. Namun dia salah. Kehadiranya, sesungguhnya hanya dijadikan budak untuk merawat kekasihnya yang saat ini dalam masa pengobatan, akibat Deprsi berat.
Marah, kecewa, kesal seakan bertempur menjadi satu dalam jiwanya. Setelah dia tahu kebenaran dalam pernikahanya.
Prabu sendiri menyimpan rahasia besar atas kekasihnya itu. Seiring berjalanya waktu, Anissa berhasil membongkar kebenaran tentang rumah tangganya yang hampir kandas ditengah jalan.
Namum semuanya sudah terasa mati. Cinta yang dulu tersususn rapi, seolah hancur tanpa dia tahu kapan waktu yang tepat untuk merakitnya kembali.
Akankan Anissa masih bisa bertahan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Prabu mulai memicing. Kalimat sang paman barusan rupanya benar-benar membuat kesadarannya berangsur. Dia seolah kembali hidup dalam raga yang dia benci. Melakukan tanggung jawab yang tidak seharusnya dipikulkan untuknya.
"Apa maksud paman??"
Prabu menggeser kursinya, lalu segera bangkit. Tatapanya melekat pada tubuh pria tua disebrang, yang kini tengah menatap luasnya perkebunan strawberry.
"Anggap saja angin berlalu!!" katanya. Setelah itu paman Rahmad mengunci tatapan Prabu yang masih berjarak, "Kamu tidak mencintai Ailin, bukan?? Kamu menyiksa batinmu sendiri, seolah ragamu memiliki seribu nyawa. Prabu...Prabu.....!! Sebijaksana kamu, rupanya begitu lemah akan cinta."
Paman Rahmad menggelengkan kepala, merasa ikut terbeban atas masalah keponaknnya itu. Sudah hampir 5 tahun, pria tua itu menjadi saksi betapa ambigunya kisah percintaan sang keponakan yang tengah dimainkan oleh takdirnya.
Hahh!!
Prabu mendesah kasar, menyandarkan tubuhnya pada pinggiran meja. Sedikit demi sedikit, rupanya ucapan sang paman berhasil diolah pikiranya.
Cinta? Bukan, itu bukan cinta. Prabu hanya bersimpati. Namun caranya yang halus, banyak orang yang salah mengartikan perasaanya. 5 tahun bukan waktu yang sedikit. Namun dia terus berusaha menutup hati, hingga tuntutan dari sang ibu membuatnya berpikir dua kali. Apakah dia akan selamanya bersanding dalam raga yang tak berjiwa. Atau dia mengorbankan jiwa seseorang, demi menjaga raga kekasihnya.
Begitu rumit!! Namun itulah kehidupan yang Prabu jalani.
*
*
*
"Tumben, nyonya mau keluar??" tegur Mirna yang kini tengah menurunkan selang air, yang dia gunakan untuk menyiram tanaman.
Pelayan muda itu sangat bersyukur, dapat melihat nyonyanya berpenampilan rapi. Dan satu lagi yang membuat Mirna berbinar. Wajah nyonyanya kini tampak bersinar, seolah baru saja mendapat jackpot.
"Nona, Mirna!! Saya bukan nyonya di rumah tuanmu."
Entah sudah keberapa kali mulut Anissa mengingatkan para pelayanya. Yang jelas, dia sudah mulai agak muak mendengarnya.
Mirna sontak membekap mulutnya, lalu berkata "Tapi tuan selalu menyuruh kami untuk memanggil anda nyonya!! Lalu, kami harus mengikuti perintah siapa??"
Anissa mengernyit, berpikir jauh melayang. Apa barusan dia tidak salah mendengar. Nyonya?? Apa Prabu salah menyebut?? Atau kalimat nyonya itu ditunjukan oleh kekasihnya~Ailin?? Anissa kini tampak berperang hebat dengan pikiranya. Jikapun saja dia dianggap sebagai nyonya rumah, mungkin itu hanya sebuah kalimat penyejuk atas statusnya yang saa ini bersanding diatas dua buku negara.
"Lupakan saja!!" enyah Anissa. "Saya ingin keluar sebentar, mau cari angin saja."
Mirna mengangguk lega, "Hati-hati nyonya!! Jangan jauh-jauh, nanti tersesat lagi," peringatnya.
"Tidak akan!! Ini masih pukul 2 siang. Jalanan juga masih ramai. Saya bisa andalkan lidah saya untuk bertanya!!"
Mirna terkekeh pelan. Lalu hanya menatap kepergian nyonya mudanya hingga menjauh kedunia luar.
Magelang~siapa yang tidak kenal dengan kota julukan Tuin van Java. Kota yang memiliki sejuta bunga, dengan berbagai macam taman indah yang diapit oleh pegunungan dan bukit.
Tidak hanya menyuguhkan keindahan. Destinasi kota tersebut, mampu menghipnotis bagi para pengunjung, karena kearifan penduduk lokalnya.
Anissa meraup nafas dalam, sebelum benar-benar menginjakan kakinya kedunia luar. Tempat yang dia tinggali kini berada dilereng bukit megah ujung kota. Tidak salah jika penulis sekaligus pelukis cantik itu menatap kagum ciptaan Tuhan, setiap kali menapakan kakinya.
Mengingat hobinya yang berpenghasil, Anissa kini akan singgah kekota untuk membeli peralatan melukis, karena semua barangnya masih tertinggal dirumah orang tuanya.
Anissa sudah berdiri ditempat pangkal transportasi, untuk membawanya menuju kota. Tempat itu tersendiri bisa dibilang pasar kecil, yang berjarak 10menit jika berjalan kaki dari kediaman suaminya.
Suasana siang yang menjelang sore, semakin ramai akan pengunjung, baik itu penduduk lokal maupun wisatawan.
"Dokar?? Ternyata bukan hanya untuk wisata saja rupanya..." lirih Anissa menatap heran kearah segrombolan para kusir.
Dia begitu terkecoh melihat alat transportasi tua itu. Senyumnya mengembang kagum, dengan kedua mata berbinar. Tidak bisa, Anissa harus mencobanya. Dia tidak akan mungkin diam, mengingat masa kecilnya dulu sering diajak oleh sang nenek menaiki dokar saat kepasar.
"Saya pesan dokar satu..."
Anissa terperanjat, saat bukan dirinya saja yang mengucapkan kalimat tersebut.
Begitupun orang di sebelahnya. Pria asing itu juga mengucapkan kalimat yang sama dengan Anissa. Mereka sama-sama terkejut, karena ucapan mereka tidak terencana sebelumnya.
"Maaf, biar saya cari dokar lainnya!!" Anissa menunduk sopan akan segera pergi dari posisinya.
Pria asing itu merasa tidak enak hati. Mana mungkin dia tidak mau mengalah dari perempuan, "Tidak perlu!! Anda saja yang mengambilnya. Biar saya yang mencari lainnya!!"
Anissa hanya mengangguk, tanpa banyak kalimat. Setelah itu, dia segera menaiki dokar tersebut karena waktu yang sudah tidak siang lagi. Jadi dia harus segera sampai kekota, sebelum waktu malam hari datang.
"Sudah siap, nduk??" tanya pria tua berambut putih, namun cukup lihai dalam menjalankan dokarnya.
Anissa mengangguk, "Sudah pak!! Tolong antarkan saya ketoko peralatan melukis. Apa anda tahu dimana tempatnya??"
"Nduk cah ayu pendatang??" pak kusir itu menatap kendali kudanya, namun kalimatnya ditujukan oleh Anissa.
"Iya, benar pak!! Saya bekerja dikediaman Darmanta!!"
Anissa menggunakan kata pekerja. Karena menurutnya, hanya kalimat itu yang dapat dicerna oleh perasaanya saat ini. Menjadi nyonya?? Sungguh, itu semua langsung ditepis oleh kenyataan hidup dalam pernikahannya.
"Pak Darmanta dulunya asli orang Magelang. Semenjak krisis yang melanda desa, beliau berpindah ke Solo, membangun bisnis disana. Ya walaupun demikian, tindak laku pak Darmanta begitu dikenang oleh banyak warga lokal. Sifat dermawannya hingga saat ini, diwariskan oleh kedua putranya!! Kepergian beliau meninggalkan bekas luka banyak orang. Termasuk saya, yang kerap sekali dibantu.."
Anissa begitu menyimak ucapan kusir tua saat ini. Namun dari kalimat yang dilontarkan, hanya ada satu yang menarik perhatiannya.
Kedua putranya?? Secara tidak langsung, Prabu memiliki saudara?? Tapi siapa?? Secara, Anissa tidak pernah tahu dimana keberadaan saudaranya. Dia hanya tahu, jika Prabu putra tunggal keluarga Darmanta.
Sejenak, Anissa terdiam. Apa yang barusan bersemayang didalam pikiranya bukan hanya pertanyaan semata. Melainkan kenyataan yang baru saja pendengarannya terima, hingga membuat kesadarannya bangkit.
Menempuh waktu setengah jam berdokar. Kini dokar yang dia naiki sudah berhenti tepat, didepan toko besar dengan nama ~Melukis Senja~
"Apa saya boleh...."
"Sudah tiba nduk!! Segeralah turun. Bapak hanya takut, jika saja kamu sampai telat pulang, majikanmu akan marah!! Bapak kenal sekali siapa den Prabu!!" seru pak Kusir yang terlebih memotong ucapan Anissa.
Anissa hanya mengangguk patuh. Apa yang di ucapkan pria tua itu, memang benar adanya. Suaminya adalah pria yang sangat arogan. Diam namun penuh ancaman.
Dasar Prabu!!
Langkah kaki jenjang itu melangkah pelan, membelah keramaian kota yang dimana membawanya menuju toko.
Dapat Anissa lihat dari tembok kaca, kusir tua itu masih setia menunggunya dengan memberi kudanya minum terlebih dahulu. Senyum tulus mengembang sempurna diwajahnya. Dia merasa iba, dengan semangat tua itu saat menjalankan pekerjaanya yang terbilang tidak mudah.
Tutur kata yang lembut dan penuh kasih, seakan berputar dalam ingatanya seraya dia mendekat kearah rak, yang dimana kain kanvas ataupun cat air berjejer rapi.
Dan disaat yang bersamaan, tepatnya didepan toko peralatan melukis. Terdapat sebuah cafe yang cukup terbilang klasik, dengan nuansa era kuno.
Sebuah mobil civic berhenti didepanya. Dan keluarlah sebuah keluarga, tampak berjalan masuk kedalam.
Anissa yang baru saja keluar, langkahnya menggantung didepan pintu. Tatapannya tidak beralih kearah mobil civic tersebut. Dadanya berdesir menatap hangatnya yang tercipta dalam keluarga tersebut, yang kini telah duduk dipinggir kaca depan.
Nafasnya sudah tersengal, hingga tanpa dia rasa gumpalan air sudah menumpuk dibalik pelupuk matanya.
'Kalian begitu kejam!! Karena ulah kalian, aku yang harus menanggung semua ini. Hidupku hancur direnggut ketidakadilan, yang kalian ciptakan!! Kenapa ayah tega membohongiku'
Suara Anissa tercekat dikerongkongannya saja. Dia sejujurnya ingin berteriak sekencang-kencangnya, namun terasa ambigu para penglihat yang tak tahu kebenaran. Semakin dia menatap lurus, dadanya juga ikut bergemuruh tanpa bisa dihentikan.
"Bagaimana sayang...apa kamu bahagia berlibur kali ini??" tanya bu Marita terhadap putri bungsunya dengan Brahma.
Ayunda namanya. Gadis yang baru saja lulus SMA itu tampak berbinar, karena selalu mendapat perlakuan manis dari kedua orangtuanya. Sangat berbanding balik dengan kehidupan sang kakak~Anissa.
"Suka mah, tapi disini dingin banget ya!!" jawab Ayunda memeluk tubuhnya sendiri.
"Mamahmu sudah menyiapkan syal untukmu, tapi kamunya aja pelupa!!" sahut sang ayah sambil menyesap kopi hangatnya.
Ayunda terkekeh pelan. Gadis berusia 18 tahun itu memiliki sikap periang, namun berbeda sekali jika dihadapkan dengan sang kakak. Karena sikap orang tuanya yang selalu membedakan, membuat sikap Ayunda lebih dingin, hingga kearaban nyaris terputus diantaranya.
Tapp!!
Tapp!!
Anissa sudah berdiri dibalik punggung adiknya. Tatapanya penuh kobaran api yang tersiram gas, yang kini dia layangkan kearah kedua orang tuanya yang belum menyadari kedatanganya.
"Ayah...!!"
Suara Anissa terdengar memberat, namun penuh kekecewaan disetiap abjadnya. Daerah yang begitu dingin, kini mendadak panas akibat amarahnya yang sudah siap untuk meledak.
Tuan Brahma yang menyadari, sontak saja langsung bangkit. Begitu juga dengan bu Marita dan Ayunda.
✨🦋1 Atap Terbagi 2 Surga ✨🦋
udah update lagi ya dibab 62. nanti sudah bisa dibaca 🤗😍
alasan ibu mertua minta cucu, bkn alasan krn kau saja yg ingin di tiduri suamimu.
tp ya gimana secara suaminya kaya raya sayang banget kan kl di tinggalkan, pdhl mumpung blm jebol perawan lbih baik cerai sekarang. Anisa yg bucin duluan 🤣🤣. lemah
mending ganti kartu atau HP di jual ganti baru trus menghilang. balik nnti kl sdh sukses. itu baru wanita keren. tp kl cm wanita pasrah mau tersiksa dng pernikahan gk sehat bukan wanita keren, tp wanita lemah dan bodoh.
jaman sdh berubah wanita tak bisa di tindas.
yg utang kn bpk nya ngapain mau di nikahkan untuk lunas hutang. mnding #kabur saja dulu# di luar negri hidup lbih enak cari kerja gampang.
karena ini Annisa terkejut, bisa diganti ke rasa sakit seolah sembilu pisau ada di dadanya. maknanya, Annisa merasa tersakiti banget
setahuku, penulisan dialog yang benar itu seperti ini.
"Mas? Aku tak suka dengan panggilanmu itu Terlalu menjijikan untuk didengar, Annisa," ucap Parbu dingin dengan ekspresi seolah diri Annisa ini sebegitu menjijikan di mata Prabu.
Tahu maksudnya?
"BLA BLA BLA,/!/?/." kata/ucap/bantah/seru.
Boleh kasih jawaban kenapa setiap pertanyaan di dialog ada dobel tanda baca. semisal, ?? dan ?!. Bisa jelaskan maksud dan mungkin kamu tahu rumus struktur dialog ini dapet dr mana? referensi nya mungkin.
bisa diganti ke
Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu kamar mereka (kamar Prabu yang kini menjadi kamar mereka)
Annisa mulai menyadari sikap dingin Prabu yang mulai terlihat (ia tunjukkan).
BLA BLA BLA, Annisa langsung diboyong ke kediaman Prabu yang berada di kota Malang.
dan kata di kota bukan dikota.
kamu harus tahu penggunaan kata 'di' sebagai penunjuk tempat dan kalimat