Dinda harus menulikan telinga ketika ia selalu disebut sebagai perawan tua karena di usia yang sudah menginjak 36 tahun tak kunjung menikah bahkan tidak ada tanda-tanda dia punya pacar hingga membuat spekulasi liar bahwa dia adalah seorang penyuka sesama jenis! Dinda geram dengan ocehan orang-orang tak tahu menahu soal hidupnya hingga akhirnya semesta memertemukan dia dengan Alexander Dunn, seorang brondong berusia 25 tahun dari Skotlandia yang kebetulan saat itu menginap di hotel yang sama dengannya. Apa yang akan terjadi pada hidup Dinda selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulut Pedas Sang Tante
Icha nampak menggelengkan kepalanya kala mendapatkan penjelasan dari Melvin mengenai kenapa pria itu bersikap begini dan juga Melvin menuding bahwa Icha sengaja merancang semua ini supaya mereka bisa berdekatan. Melvin sama sekali tak mau mendengarkan penjelasan dari Icha barusan karena Melvin yakin semua itu hanya dusta belaka.
"Kamu harus mendengarkan aku karena memang begitulah kenyataannya."
"Maaf namun aku gak bisa memercayainya."
"Kenapa memangnya? Bukankah kamu masih mencintaiku, bukan? Harusnya kamu senang karena aku masih ada di dekat kamu. Asal kamu tahu Vin, aku sama sekali gak cinta sama pria yang sekarang sudah menjadi suamiku. Aku hanya memanfaatkan uangnya saja dan keluargaku pun demikian."
"Maaf namun jawaban kamu barusan sungguh membuka mataku lebar-lebar bahwa ternyata aku sudah salah dalam menilai kamu selama ini."
"Melvin, apa maksud kamu?"
Melvin menggelengkan kepala dan gegas bangkit pergi dari tempat ini namun Icha memanggil namanya dan berusaha menahannya di sini lebih lama. Melvin menulikan telinganya dan terus saja berjalan meninggalkan Icha yang memanggil namanya. Melvin masuk ke dalam mobilnya dengan dada yang bergemuruh, ia mengepalkan tangan di stir mobil sebelum melajukan kendaraannya itu meninggalkan tempat ini.
"Sialan!"
Icha kesal dan menendang angin karena kesempatan untuk dekat dengan Melvin buyar namun wanita itu tak akan melepaskan Melvin begitu saja.
"Aku akan mencari cara supaya kita bisa bersama lagi, Vin."
Sementara itu Melvin memutuskan untuk pulang ke rumah, ia tak mengatakan apa pun pada sang bunda namun Herlin paham betul kalau sesuatu hal terjadi pada Melvin saat ini dan membiarkan sang putra untuk istirahat dulu tanpa banyak bertanya, nanti kala semua sudah tenang pasti Melvin akan mulai terbuka padanya.
"Kamu lapar atau butuh sesuatu? Biar Bunda siapkan."
"Nggak perlu, Bunda."
Melvin naik ke kamarnya yang ada di lantai dua dan Herlin memerhatikan putranya itu. Herlin menghela napasnya panjang dan berharap semoga saja Melvin baik-baik saja selepas ini.
****
Setelah malam tiba, Melvin akhirnya merasa hatinya sudah jauh lebih baik dan ia memutuskan untuk turun ke bawah dan di sana sang mama sudah menyiapkan makan malam untuk mereka di atas meja.
"Ayo Nak."
Melvin duduk di kursi yang bersebrangan dengan sang bunda dan Herlin mulai mengambilkan nasi dan lauk untuk Melvin yang nampak masih banya diam.
"Terima kasih Bunda," ujar Melvin kala menerima piring.
"Gak masalah, ayo makan."
Makan malam berlangsung dalam keadaan hening dan setelah makan malam, Melvin memberanikan diri untuk mengatakan pada sang bunda mengenai apa yang terjadi tadi.
"Bunda."
"Ada apa?"
Melvin menarik napas panjang dan kemudian menceritakan perihal pertemuannya dengan Icha dan di sana juga Melvin menceritakan bahwa Icha menikahi suaminya yang sekarang bukan atas dasar cinta melainkan hanya karena uang saja pun dengan keluarganya walau Melvin sudah menduga itu sejak awal namun Melvin bukanlah orang yang ingin merusak rumah tangga orang lain walau ada celah di sana untuk ia bisa masuk.
"Menurut Bunda apa yang aku sudah lakukan sudah benar kan?"
"Iya Nak, apa yang kamu lakukan sudah benar. Jangan pernah menjadi duri dalam rumah tangga orang lain walau mereka mengatakan tidak bahagia dalam menjalani rumah tangga itu tapi jangan pernah berani masuk lebih jauh ke sana."
****
Dinda tak pernah merasakan gugup seperti ini sebelumnya, ke Skotlandia memang kali pertama untuknya karena sebelumnya ia datang ke Inggris sebagai wakil perusahaan dalam mencari investor dari negara itu. Dinda menatap koper yang sudah ia isi dengan pakaiannya dan beberapa jam lagi ia dan Alex sudah harus bertolak ke Bandara.
"Gugup?" tanya Alex saat masuk ke dalam kamar mereka.
"Iya tentu saja, mau bertemu mertua. Apakah ayahmu akan menyukaiku?"
"Kalau pun dia tak menyukaimu namun ia tak punya pilihan. Dia harus menerima kamu sebagai menantunya."
"Tapi bagaimana kalau dia mau kita berpisah?"
"Sudahlah Dinda, jangan terlalu memikirkan hal buruk. Percaya padaku, bukankah ini yang kamu inginkan?"
Dinda menganggukan kepalanya dan mencoba untuk tidak gugup, sementara Alex sendiri juga tak kalah gugupnya dengan Dinda setelah sekian lama ia pergi dari tempat di mana ia lahir dan besar kini ia harus kembali ke sana memperkenalkan istrinya pada sang ayah. Alex menarik napas dalam dan kemudian ia mencoba untuk tenang hingga akhirnya kini mereka dalam perjalanan menuju Bandara.
"Semua sudah kamu bawa kan? Paspor kamu nggak ketinggalan kan? Nggak lucu kalau kita harus balik lagi buat ambil paspor kamu karena sekarang sudah setengah perjalanan."
"Iya, aku gak lupa bawa pasporku, ini lihat."
****
Widuri datang ke rumah Herlin dengan membawa buah tangan dari Salsa dan suaminya yang baru saja pulang dari Paris berbulan madu. Widuri menceritakan secara berlebihan pada Herlin bahwa menantunya itu sungguh baik dan loyal sekali padanya bahkan menurut cerita Widuri sebenarnya dia juga mau diajak ke Paris hanya saja karena ia ada urusan maka ia tak bisa pergi.
"Ngomong-ngomong apakah menantu kamu itu sudah pernah memberikan sesuatu padamu atau mengajakmu jalan-jalan? Bukannya katanya menantu kamu itu model dan punya penghasilan sendiri? Masa sih masih menumpang di apartemen Dinda?"
"Mbak, tolong jangan pernah bicara yang bukan-bukan soal keluargaku. Bukankah terakhir kali aku sudah memperingatkan untuk jangan datang ke sini kalau hanya untuk berbuat keributan?"
"Kamu ini kenapa sih, Lin? Bawaannya sensi terus sama aku. Aku ini sama sekali gak membuat ribut orang aku tanya baik-baik kok kamu malah sewot begitu?"
"Mbak, urusan rumah tangga anakku biarkan saja dia yang mengurusnya. Aku sebagai ibunya gak perlu ikut campur dalam masalah rumah tangganya. Aku selalu mau mendengar keluh kesahnya namun bukan berarti aku akan mau tahu lebih dalam, aku menghargai batasan anakku."
"Lalu bagaimana soal Melvin? Kasihan sekali dia, dikirain bakal nikah duluan dari pada kakaknya malah yang terjadi sebaliknya, dia gagal nikah. Dia gak stres dan jadi gila kan? Dia gak ada niat untuk bunuh diri?"
"CUKUP MBAK!"
****
Dinda dan Alex sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta dan sudah melakukan proses check-in dan menaruh koper mereka dan sekarang baru saja melewati imigrasi dan berjalan menuju ruang tunggu. Suasana Bandara pada malam ini cukup ramai karena ada beberapa jadwal keberangkatan yang saling berdekatan. Alex dan Dinda sudah duduk di dekat gate keberangkatan dan masih ada sekitar 1 jam lagi sebelum boarding dimulai.
"Kamu gugup, ya?" tanya Dinda pada suaminya yang duduk di sebelahnya.
"Sudah lama sekali aku gak bertemu dengan ayahku dan sekarang aku akan menemuinya kembali."
"Aku minta maaf kalau membuat kamu gak nyaman tapi aku melakukan semua ini supaya gak timbul fitnah dan kesalah pahaman di kemudian hari."
"Aku mengerti, cepat atau lambat aku harus menghadapinya kan?"