Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh - Huru-Hara
Setelah berdiskusi dengan Amara, Amara memperbolehkan Alea tinggal di rumahnya saat Cindi ke luar negeri. Sebetulnya Amara tidak mau, tapi mau bagaimana lagi, dia kasihan juga sama Alea yang ngerengek minta dengan Varo saat mamanya ada urusan di luar negeri. Cindi tidak ada keluarga di sini, hanya kenal Alvaro dan keluarga Alvaro saja, jadi wajar jika Alea dititipkan pada Alvaro. Untung saja Amara sedang diliburkan selama tiga hari, jadi dia bisa bantu Narti dan Asih untuk jagain Alea.
Hari ini Alea sudah mulai tinggal di rumah Amara dan Alvaro. Tadi pagi Alvaro baru saja mengantarkan Cindi ke Bandara. Rasanya begitu menyesakkan di hati Amara, suaminya kembali perhatian pada Cindi, dan anaknya. Bahkan pagi-pagi buta Alvaro sudah pamit untuk antar Cindi ke Bandara. Tanpa beban dan tanpa ragu Alvaro pergi begitu saja meninggalkan Amara untuk mengatar Cindi.
Pagi ini, Alvaro datang dengan Alea, membawa tas yang berisi keperluan Alea. Lagi-lagi Amara melihat binar kebahagiaan di wajah Alvaro saat bersama Alae. Gadis itu digendog, Alvaro, lalu dibawanya ke ruang makan untuk sarapan. Alvaro pun meyuapinya, karena Alea ingin disuapinya. Seperti ayah dan anaknya, mereka benar-benar dekat tak bersekat.
“Apa dia benar anakmu, Mas? Seperti yang Kak Vira bilang?” ucap Amara dalam hati, saat melihat kedekatan mereka berdua. Bahkan Alvaro benar-benar berperan seperti seorang ayah.
“Sayang, nanti sama Bi Asih, Bi Narti, dan Tante Ara, ya? Om kerja dulu,” ucap Alvaro.
“Iya, Om,” jawabnya.
“Jangan nakal, ya? Nurut sama Bibi dan Tante Ara,” ucap Alvaro.
“Iya, aku gak nakal, Om. Tapi pulangnya nanti bawain aku mainan ya, Om?” pinta Alea.
“Oke, Om akan bawakan mainan, dan Pizza kesukaan kamu,” ucap Alvaro dengan senyuman bahagia, sambil mengusap kepala Alea.
“Yeay ... nanti makan pizza!” ucap Alea dengan riang.
“Nitip Alea ya, Ra?”
“Iya, Mas,” jawab Amara.
Seperti itu saja ucapan dari Alvaro. Dari pagi saat akan mengantarkan Cindi, dan sekarang pulangnya, Alvaro tidak sehangat kemarin. Entah kenapa dia cepat berubah sekali. Malah Alvaro terlihat begitu hangat dengan Alea.
^^^
Alvaro sudah berangkat ke kantor. Alea bersama Narti, dia bermain di ruang tengah. Siang ini Alea tidak mau makan, karena tidak disuapi Alvaro. Dia hanya makan cemilan dan minum susu saja. Itu pun Alvaro semua yang menyiapkan. Alea bahkan tidak mau ditemai Amara saat bermain, dia tidak mau menjawab saat Amara tanya, bahkan didekati Amara dia malah menjauh, lalu menatap Amara dengan tatapan tidak suka.
“Alea kenapa gak mau makan? Makan, ya?” bujuk Amara.
“Enggak mau!” teriak Alea dengan mata mendelik ke arah Amara.
“Makan dong, Nak? Nanti Om marah sama Tante?”
“Biar saja, biar om marahin tante! Karena tante rebut om dari mama dan aku. Tante tahu, om itu mau jadi papa aku, tapi tante melarang, kan? Dasar orang jahat!” sarkas Alea.
“Aduh non, jangan bicara begitu?” tegur Narti.
“Dia itu orang jahat, Bibi!”
“Biar, Bi. Terserah bocah itu mau bicara apa, kasihan anak kecil sudah didoktrin tidak baik oleh ibunya,” ucap Amara lirih.
“Tante jahat, sana pergi! Jangan di sini!” Alea mendorong tubuh Amara, menyuruh Amara pergi.
Amara pusing sendiri melihat kelakuan anak kecil yang begitu. Ia akhirnya ke kamar, mengambil ponselnya, ia melihat ada pesan dari suaminya.
[Alea sudah makan, Ra? Nanti disuapi, ya?]
Amara membalas apa adanya, bilang Alea gak mau makan kalau tidak Alvaro yang menyuapinya.
[Dia gak mau makan, dia maunya makan disuapi kamu, Mas!]
[Aku pulang, biar dia mau makan.]
Amara mengelengkan kepalanya, sepeduli itu pada Alea, bahkan dia tidak tanya Amara bagaimana, sudah makan atau belum.
“Sekarang aku yakin, anak kecil itu pasti anakmu, Mas!” batin Amara marah.
^^^
Amara tidak mau tahu soal Alea. Biar saja dia bersama Narti atau Asih, atau asisten lainnya. Ia tidak mau pusing untuk mengurus anak orang yang tidak jelas asal usulnya itu.
“Lebih baik aku rebahan santai, sambil nunggu Mas Varo pulang,” ucap Amara lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
Amara teringat sesuatu, yang membuatnya bangkit dari tempat tidurnya, lalu ia buru-buru keluar. Ia ingat, sesuatu di kebunnya. Tadi pagi dia melihat cabai dan tomat yang sudah ia semai kemarin sudah mulai tumbuh. Sayuran lain pun sudah bisa dipetik seperti terong ungu, kacang panjang, kangkung, dan masih banyak jenis sayuran yang Amara tanam. Semua tumbuh subur meski ditanam di polibag. Cabai dan tomat pun sudah banyak yang berbuah.
Amara berdiri di depan kebun yang ia rawat dengan tatapan tidak percaya, matanya menerawang ke arah kebun dengan tatapan marah dan kecewa.
“Ya Tuhan .... Alea ... apa yang kamu lakukan di sana, Nak? Kamu merusak semua tanaman Tante?” ucap Amara tidak percaya saat melihat tanaman sayurannya rusak. Semua rusak, semua dipetik, dirusak, bahkan benih yang baru semai lepas dari media tanamnya. Tanaman hidroponiknya pun ikut berantakan. Meski marah, Amara masih menahan amarahnya itu pada anak kecil yang tidak jelas asal usulnya.
“Ma—maaf, Bu. Tadi non Alea yang melakukan itu saat saya sedang membuatkan susu untuknya,” ucap Bi Narti.
“Tante jahat! Tante marahin aku! Aku gak sengaja!”
“Kamu bilang gak sengaja, Alea? Semua tanaman tante rusak lho? Ini cabai baru semai, tomat juga, sawi, selada, terus buah yang sudah harus dipanen malah di potong-potong?” ucap Amara kecewa, tapi hanya dalam hatinya.
“Ya sudah kamu jangan nangis, biar nanti tukang kebun yang membereskan, sini Alea, cuci tangan dulu, nanti om mau pulang lho? Katanya kamu mau makan sama om, disuapi om? Ayo sini, Nak?” ucap Amara dengan sabar membujuk Alea yang menangis.
Alea malah berlari masuk ke dalam, Amara hanya menggelengka kepalanya melihat kelakuan bocah kecil itu.
“Non Lea, jangan lari, nanti jatuh!” ucap Narti yang mengikuti Alea.
Amara memanggil tukang kebun untuk membereskan kebun miliknya. Yang penting dibereskan dan dibersihkan dulu, masalah tanamannya biar nanti saja, kalau mood Amara sudah membaik. Amara masuk ke dalam, dia melihat Alea sudah duduk di depan meja makan, sambil melihat-lihat menu makanan yang tertata di meja makan. Amara lalu duduk di depan Alea.
Prang!!!!
“Makanannya tidak enak! Aku gak suka!” teriak Alea setalah melempar piring yang berisi udang saus tiram, hingga udang itu bercerceran di lantai. Para pelayan dengan sigap membersihkannya.
“Alea, kalau tidak suka bilang saja, ya? Jangan dilempar gitu piringnya, gak usah teriak-teriak juga?” tegur Amara dengan lembut.
“Aku juga tidak suka kamu! Kamu itu jahat! Kamu rebut Om Varo dari mama dan aku! Om Varo milik mama, Om Varo itu papaku!” Alea pun turun dari kursinya, lalu berlari meninggalkan ruang makan sambil menangis kencang.
Alea melihat Alvaro yang sudah pulang, dan berjalan masuk. Dia langsung berlari ke arah Varo dengan menangis. Alvaro kaget melihat Alea menangis kencang, dia gendong Alea dan menenangkannya.
“Kamu kenapa? Kok nangis?” tanya Alvaro.
Bukannya menjawab, tapi Alea makin keras nangisnya. Alea juga menunjuk-nunjuk ke arah Amara, seakan dia mengadu kalau Amara yang membuatnya menangis. Alvaro menatap Amara yang masih duduk di kursinya dengan tatapan kurang mengenakkan, namun setelahnya ia tidak memedulikan Amara, tidak menyapanya sama sekali, atau bertanya apa yang terjadi, kenapa Alea menangis, dan ruang makan berantakan.