Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
putus
Calista berdiri di ambang pintu, matanya memerah karena tangisan. Dia merasa terjebak di antara dua dunia—satu dunia yang dia bangun bersama Kenneth dan satu lagi yang terancam hancur oleh kehadiran Randy, mantan kekasihnya. Suasana di dalam ruangan itu terasa sangat tegang, dan kata-kata yang terucap hanya memperburuk keadaan.
“Randy, aku minta maaf dan aku berani sumpah kalau hamil ini sepenuhnya hanya tragedi,” ujar Calista dengan nada memohon, berusaha meraih simpati Randy. Dia mengingat kembali semua momen indah yang mereka miliki, tetapi tidak ada yang bisa menghapus kesedihan yang kini menghantuinya.
“Nggak, kalau kamu sayang aku, kamu nggak bakalan hamil begini, Cal, dan kamu nggak akan nikah sama laki-laki lain,” tepis Randy dengan suara penuh amarah. Dia terlihat sangat terluka, dan wajahnya memerah karena emosi. Calista merasa tertekan, tidak tahu harus berkata apa.
Kenneth, yang berusaha tenang, berniat untuk pergi agar mereka berdua bisa menyelesaikan masalah ini. Namun, Calista dengan tegas menahan Kenneth. “Duduk,” perintahnya. Ada ketegangan di antara mereka, tetapi dia tahu Kenneth ada di sisinya untuk mendukungnya.
“Tapi Cal...” Kenneth berusaha menjelaskan, namun Calista tetap bersikeras.
“Duduk Ken, temenin aku.” Akhirnya, Kenneth pun duduk di samping Calista, merasakan ketidaknyamanan di dalam hatinya.
Kini, Kenneth berhadapan dengan Randy yang sedang sangat marah. Mereka seperti dua pria yang saling berebut perhatian wanita yang sama. “Kamu sayang aku kan, Cal?” tanya Randy, matanya menatap tajam ke arah Calista, menunggu kepastian.
Calista hanya bisa mengangguk. “Oke, ceraikan Kenneth dan nikah sama aku,” kata Randy dengan nada penuh harapan.
Kejutan memenuhi ruangan. “Nggak bisa! Calista lagi ngandung anak gue!” Kenneth menjadi kesal, tidak terima dengan usulan Randy.
“Bisa! Karena gue bakal bertanggung jawab atas anak lo dan Calista!” balas Randy, semakin meninggikan suaranya. Kenneth dan Calista bertukar pandang, saling mendukung dalam kebingungan ini.
“Gak! Gue gak setuju!” tegas Kenneth, merasa bahwa ia harus melindungi Calista dan anak mereka.
“Yaudah, kalau gitu gugurin aja anak lo berdua! Gampang kan! Lagian itu juga anak haram!” Teriak Randy, kata-katanya tajam seperti pisau, melukai hati Calista yang berjuang untuk tetap tegar.
Calista tak bisa menahan diri, dan dengan satu gerakan cepat, dia bangkit dan menampar Randy dengan sangat kencang. “Mulut kamu di jaga! Jangan mandang aku dan anak aku rendah!” Omelnya, suara penuh keberanian namun dipenuhi air mata.
Randy, terkejut oleh reaksi Calista, hanya bisa terdiam. Namun, emosinya masih berkecamuk. “Katanya kamu cinta sama aku, harusnya kalau kamu cinta, ya kamu nurutin semua kemauan aku, Cal!” Randy mencengkeram bahu Calista dengan keras, dan Calista meringis kesakitan.
Kenneth tidak tinggal diam. Dia mendorong tubuh Randy menjauh dari Calista dan menariknya ke belakang tubuhnya. “Ayo Cal, ayo kita pergi dari rumah ini dan gugurin kandungan kamu,” ajak Randy sambil tersenyum sinis.
“Gila! Kamu gila! Aku gak mau bunuh anak aku sendiri!” Calista menolak dengan tegas.
“Aku sayang kamu, Calista! Kenapa kamu beneran tega ninggalin aku dengan cara begini?!” Tangisan Randy pecah, suaranya bergetar penuh kesedihan. Melihat Randy yang menangis, Calista hanya bisa terduduk lemas, hatinya hancur.
“Ran, hubungan kita udah nggak direstui sama keluarga besar kamu, dan gimana bisa kalau aku balik ke kamu dengan keadaan aku berbadan dua?” jelas Calista dengan air mata mengalir. “Aku juga gak bisa gugurin anak aku sendiri, dan aku gak bisa ninggalin Kenneth karena kamu tahu prinsip aku,” lanjutnya.
“Pernikahan sekali seumur hidup, jika cerai, tak akan ada lagi yang namanya pernikahan,” ucap mereka bersamaan, seakan satu suara yang saling melengkapi.
Kenneth yang mendengar prinsip Calista merasa sangat kagum, namun di sisi lain, ia merasa tidak enak hati pada Randy. “Tunggu sebentar,” perintah Calista, lalu dia bergegas menuju ke gudang untuk mengambil paper bag hadiah dari Randy.
“Ini aku balikin, aku gak bisa nerima ini,” kata Calista sambil memberikan Randy paper bag tersebut. Dia tahu, hubungan ini tidak bisa dipertahankan dengan barang-barang mewah.
“Kenapa kamu balikin? Kamu gak suka?” tanya Randy, bingung dengan keputusan Calista.
“Bukan begitu, aku cuma gak mau aja terima barang-barang mewah dari kamu, karena nanti kalau keluarga kamu tahu, pasti mereka akan tambah benci sama aku,” jelas Calista, berusaha menjaga perasaan semua orang.
Randy menghela napasnya lalu terdiam, suasana menjadi hening. Kenneth memecah keheningan. “Sorry, ini semua salah gue. Gue penyebab Calista hamil dan rusaknya hubungan kalian,” ucap Kenneth, berusaha bertanggung jawab atas situasi yang rumit ini.
“Tapi kalau Calista emang mau cerai dan nikah sama lo, gue ikhlas dan gue lepasin Calista,” tambahnya, membuat Calista kaget.
“Nggak, aku gak mau cerai! Nanti anak kita gimana, Ken…” rengek Calista, merasa panik.
“Anak kita bisa aku rawat sendiri, Cal. Kamu nanti bisa pergi sama Randy aja kalau kamu mau dan mulai kehidupan baru,” kata Kenneth pasrah, menatap Calista dengan penuh harap bahwa dia tidak akan mengambil keputusan yang salah.
“Udah cukup, gue rasa emang gue yang harus ngalah,” ujar Randy, mencoba menengahi mereka berdua. “Gue harus ikhlasin Calista buat lo. Hubungan gue sama Calista emang udah harus berakhir sampai di sini, kayaknya,” lanjutnya, suaranya kini lebih lembut.
“Ran…” panggil Calista sedih, merasakan betapa beratnya keputusan ini.
“Udah ya, Cal. Gue rasa kita emang harus putus... Ini demi kebaikan kita semua,” Randy menghela napas panjang, merasakan perpisahan yang menyakitkan.
Calista terkejut. Kata-kata Randy berubah menjadi lo-gue, dan itu sangat membuat Calista terpukul. Dia merasa hampa, seakan tidak ada lagi tujuan hidupnya. Tak ada lagi Calista di hidupnya, tidak ada rumah tempat mengeluarkan keluh kesahnya, dan tidak ada lagi tempat pulang yang bisa diandalkan.
Randy menatap mata Calista yang sembab dengan dalam, lalu ia pun tersenyum meskipun ada kesedihan yang mendalam. “Simpen aja pemberian gue, jangan dibuang,” ujarnya. “Gue nitip Calista sama lo, jagain Calista dan anaknya… Gue pamit,” pesan Randy kepada Kenneth sebelum meninggalkan rumah itu.
Ketika Randy melangkah keluar, Calista merasa seluruh jiwanya hancur. Dia tahu bahwa Randy pergi dengan perasaan yang sangat hancur, meninggalkan luka yang dalam di hati mereka semua. Sementara Kenneth, di sampingnya, berusaha menguatkan Calista, namun dia sendiri merasa bingung dengan situasi ini.
Calista berlutut di lantai, air matanya tak berhenti mengalir. Dia merasa bersalah atas semua yang terjadi, dan satu hal yang dia tahu pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini. Di luar sana, Randy berjalan menjauh, menghilang dari pandangannya, meninggalkan kenangan dan janji yang tak bisa ditepati.