Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resepsi Pernikahan Hardi
Karina menghentikan gerakan tangannya saat sedang memasukkan sayuran ke air mendidih. Ia ingat sesuatu, hari ini adalah pernikahan Hardi dan mereka akan pergi menghadirinya. Sebenarnya Karina enggan, tetapi Nino tidak mungkin pergi sendirian. Jika tidak pergi ke sana menemani Nino, ia takut orang-orang akan berpikir Karina masih punya perasaan pada mantan suaminya itu.
“Nino ke mana, Karin?”
Suara Azizah di belakangnya membuat Karina sedikit tersentak. Ia menoleh ke arah wanita paruh baya itu.
“Pergi joging, Bu. Keliling kompleks.”
“Oh.” Azizah mengangguk-angguk. “Dia masih suka pergi ke gym?”
Karina bergumam seraya berpikir. “Udah jarang, Bu. Mas Nino sering lembur, jadi kayaknya gak ada waktu pergi ke gym.” Karina melanjutkan kegiatannya yang sedang memasak. “Paling joging aja tiap week end.”
“Ibu denger, hari ini kalian diundang Hardi?”
Karina kembali berhenti. Ia melirik ke arah ibu mertuanya. “Iya.”
“Kalian mau datang?”
Karina memaksakan seulas senyum seraya mengangguk.
Azizah mengelus pundak Karina. “Enggak apa-apa. Kalian udah punya kehidupan masing-masing sekarang. Datang menemani Nino lebih baik. Lagipula, Nino itu teman Hardi, jadi gak mungkin kalau gak datang ke pernikahannya.”
Azizah seolah menjawab kebimbangan Karina sejak tadi. Jika memang begitu, Karina akan menemani Nino nanti.
***
Nino berlari sambil terus memikirkan mimpinya semalam. Ia bermimpi Karina pergi, dia meninggalkannya karena sebuah alasan. Karina pergi karena mengetahui sesuatu. Sesuatu yang sudah Nino lupakan sejak lama.
Nino berhenti, ia membungkuk dengan menumpukan tangan di lutut. Napasnya terengah-engah, matanya memejam sejenak. Semoga saja itu hanya mimpi dan tidak akan menjadi sebuah kenyataan.
Setelah empat puluh lima menit berlalu, Nino kembali ke rumah. Ia melihat ibunya yang berada di halaman belakang bersama Tasya. Namun, Karina tidak ada di sana. Nino mencari-cari wanita itu, ia memutuskan untuk ke kamar karena tidak menemukan Karina di mana pun.
Karina sedang memilih pakaian untuk pergi ke resepsi Hardi siang nanti. Ia mendesah pelan, bingung karena terlalu banyak pilihan. Ternyata pakaiannya sebanyak ini, sepertinya ia harus memilih pakaian yang sudah tidak terpakai agar lemarinya sedikit lega.
Karina terkesiap saat seseorang melingkarkan tangan di pinggangnya. Karina menoleh dan itu Nino. Pria itu tersenyum, lalu mencium pipi istrinya.
“Kamu ngagetin aja.”
“Kamu lagi apa?”
“Aku nyari baju, tapi aku bingung pilih yang mana.” Karina menatap lemari yang terbuka.
Nino ikut memandangi pakaian yang tergantung di sana. Lalu, terpaku pada satu pakaian berwarna lace. Nino melepas pelukannya untuk mengambil pakaian itu.
Nino memandangi kebaya brokat dengan payet membentuk aksen bunga di pundaknya.
“Ini bagus,” ujar Nino.
Karina menoleh menatap suaminya. “Serius kamu nyuruh aku pake kebaya?”
Nino terkekeh. “Emang kenapa?” Nino merangkul pinggang Karina dengan posesif. “Kamu cantik lho kalau pake kebaya.” Nino mengatakannya tepat di telinga Karina. Wanita itu sedikit menjauh karena merinding mendengar suara pelan Nino.
Karina menatap Nino seraya mengernyit.
“Kenapa?”
“Suara kamu bikin aku merinding.”
Nino tersenyum menggoda, ia menyimpan kebaya itu di tempat tidur. Lalu, kembali memeluk Karina.
“Kemarin kita belum selesai, lho.”
“Terus?” Karina masih menjaga kontak matanya dengan Nino.
“Gimana kalau kita lanjut sekarang?” Nino menggigit cuping telinga Karina.
Napas Karina menjadi berat dan matanya memejam karena merasakan sesuatu dalam dirinya. Tangan Nino mulai meraba-raba dengan nakal di tubuh Karina.
Karina menjauhkan tangan Nino. Ia segera membuka mata dan Nino menatapnya sedikit kecewa.
“Masih pagi.” Karina tersenyum dengan wajah memerah.
Nino tidak menyerah, ia kembali merangkul pinggang istrinya. “Emangnya ada aturnnya, ya?”
“Bukan gitu, Mas.” Karina memutar tubuhnya menghadap Nino. “Di rumah ada Ibu sama Tasya. Kalau tiba-tiba mereka manggil aku atau kamu, gimana?”
Nino melepaskan rangkulannya seraya membuang napas sedikit kasar. “Aku nyerah, deh.”
Karina mencibir ketika melihat wajah suaminya yang ditekuk. Ia balik memeluk Nino. “Jangan marah, dong.”
“Enggak, kok.”
Karina menangkup wajah Nino untuk mengarahkan tatapan padanya. “Kalau gak marah, wajah kamu gak bakal cemberut begitu.”
Nino tetap cuek.
Karina mendesah pelan. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. “Kalau gitu ….” Karina berjinjit dan membisikkan sesuatu pada Nino dan pria itu melirik pada Karina.
“Beneran?”
“Wajah aku kelihatan bohong, aku gak akan bilang gitu kalau mau bohong.”
“Kamu jangan menggoda, deh. Jangan bikin aku tambah pengen nerkam kamu.” Nino memeluk Karina gemas.
“Kamu yang duluan menggoda. Aku cuma nawarin win-win solution aja. Sebagai ganti kemarin dan pagi ini.”
“Oke.” Nino mendekatkan wajahnya ke telinga Karina. Dia berbisik, “Aku tunggu janji kamu.”
Karina mengalungkan tangannya di pundak pria itu. “As you wish, Suamiku Sayang.”
Nino terkekeh. Ketika ia hendak mencium bibir Karina, ketukan pintu dan suara Azizah terdengar di luar sana.
“Yang aku bilang bener, kan?” Karina tersenyum. “Kalau kita melakukannya sekarang, kita juga yang repot.”
“Karina, kamu di dalam?” Azizah kembali mengetuk pintu sambil memanggil Karina.
“Iya, Bu.” Karina berseru. Ia meninggalkan Nino yang mengacak rambutnya karena sedikit frustrasi.
“Lho, Nino udah pulang jogingnya?” tanya Azizah ketika Karina membuka pintu kamar.
Karina menoleh sekilas. Lalu, tersenyum. “Baru aja.”
“Aduh, maaf ya, Ibu jadi ganggu kalian.”
Karina kembali tersenyum. “Enggak kok, Bu. Omong-omong, ada apa Ibu panggil aku?”
“Katanya mau ikut ke rumah Tante Risti.”
Nino segera menoleh ketika Azizah mengajak Karina pergi ke sana.
“Kayaknya sebentar lagi kita pergi, Bu. Karina datang sama aku aja nanti.” Nino segera menyela sebelum Karina mengiyakan.
“Tapi, Mas—-”
“Gak udah datang ke sana tanpa aku.” Wajah Nino berubah serius. Dia berlalu melangkah menuju kamar mandi.
Azizah bisa mengerti kenapa Nino berkata seperti itu. Saudara mereka itu memang selalu membandingkan menantunya dengan Karina. Hanya karena Azizah merestui hubungan Nino dengan Karina, dan hanya karena Karina pernah menikah sebelumnya. Mereka mempermasalahkan status Karina saat itu.
Karena awalnya, Nino berniat dijodohkan dengan saudara dari menantu Risti dan Nino menolak. Dia jadi berbalik tidak menyukai Karina saat Nino akan menikahi wanita itu. Dia jadi sering membandingkan keluarga Karina dan menantunya yang lebih kaya itu. Apalagi sekarang mereka sudah mempunyai cucu, mereka pasti akan lebih mudah memojokkan Karina. Dan Nino sudah pasti tidak akan suka istrinya diperlakukan seperti itu.
***
Karina kesulitan ketika akan menarik resleting kebayanya yang berada di belakang. Ia merasa frustrasi karena tangannya mulai pegal. Pintu kamar terbuka dan Nino masuk, ia sudah rapi dengan kemeja batiknya. Karina menghela napas lega, akhirnya pertolongan datang juga.
“Mas, bisa tolongin aku, gak?” Karina berjalan pelan karena ia mengenakan rok lilit yang membuat langkahnya sedikit sempit.
“Kenapa?” Nino sedang memakaikan jam di pergelangan tangannya.
“Bisa … tolongin aku tarik resletingnya?” Karina bertanya ragu, sambil berbalik sekilas. Ia malu karena punggungnya terekspos. Walaupun mereka suami istri, mereka belum pernah melihat tubuh masing-masing yang polos tanpa busana.
Nino dengan senang hati menolong Karina. Dengan perlahan ia menarik resletingnya. Setelah selesai, Karina menoleh dengan wajah yang memerah.
“Kamu gak sengaja menggoda aku, kan?” gurau Nino ketika melihat wajah istrinya.
“Ih, apaan. Tanganku emang gak nyampe narik resletingnya.” Wajah Karina semakin memerah.
Nino tertawa lebar. “Udah, ah. Ayo, berangkat.”
***
Pernikahan Hardi digelar dengan resepsi yang mewah. Karina sempat mendengar jika istrinya juga seorang pengusaha kuliner yang cukup sukses. Awalnya Karina menyangka jika Hardi akan berakhir menikahi wanita yang menjadi selingkuhannya dulu.
Cukup banyak orang yang memerhatikan kedatangan Karina. Mungkin mereka tidak menyangka jika seorang mantan istri akan datang ke resepsi pernikahan mantan suami. Sebenarnya tidak ada salahnya, Karina sudah mempunyai Nino sekarang. Keluarga istrinya tidak perlu cemas Hardi akan terpikat lagi padanya. Kecuali, dia memang tidak tahu diri masih mengharapkan mantan istrinya walau sudah kembali menikah.
“Karina!” seru Kristin senang saat Karina berjalan menuju wanita baya itu.
Karina tersenyum dan menyambut pelukan Kristin yang sudah merentangkan tangan dari jauh.
“Mama kira kamu gak akan datang.” Ia masih menyebut dirinya Mama pada Karina. Karena Kristin memang menyukai Karina. Sebenarnya, ia juga tidak rela putranya cerai dengan Karina.
“Aku nemenin Mas Nino.” Karina hanya menjawab dan menyapa seperlunya saja. Ia tidak ingin terlihat seolah mantan menantunya lebih menyukai Karina daripada menantu barunya. Namun, sikap Kristin padanya sudah pasti sangat kontras.
Kristin menyalami Nino dengan senyum tak kalah ramah. “Terima kasih ya, kalian udah datang.”
Nino tersenyum. “Sama-sama, Tante.”
“Karin, udah lama Mama gak ngobrol sama kamu,” ujarnya. Ia segera menggandeng tangan Karina. “Ayo, temenin Mama sebentar.”
Karina melirik Nino sekilas. Pria itu mengangguk, mengizinkan Karina pergi bersama Kristin.
“Sorry, ya, kalau sikap Mama terlalu berlebihan sama Karina,” ujar Hardi ketika Nino menyalaminya. Ia berkata seperti itu sambil berbisik agar tidak terdengar istrinya.
“Enggak apa-apa, kok.” Nino berusaha memaklumi. Nino menepuk bahu Hardi. “Selamat, ya.”
Hardi tersenyum seraya mengangguk.
Setelah bersalaman dengan pengantin. Nino mengambil minum untuknya dan juga Karina. Kemudian, menghampiri Karina yang sedang direcoki mantan mertuanya dengan cerita-cerita yang panjang lebar.
Nino menggeser kursi ke samping istrinya dan meletakkan gelasnya di meja.
“Tante mau saya ambilin minum?” tanya Nino, menyela ketika obrolan mereka dijeda.
“Enggak usah.” Kristin tersenyum lebar. “Tante senang kamu menikah sama Karina. Ya, walaupun agak gak rela mantu kesayangan Tante direbut orang.” Kristin tertawa lebar seraya menutup mulutnya dengan kipas yang dipegang.
Nino tertawa kecil menanggapi gurauan yang cukup tajam itu. Namun, ia sudah tahu bagaimana sifat Kristin.
Mereka melanjutkan perbincangan dan sepanjang itu, hanya Kristin yang banyak bicara. Nino dan Karina hanya menanggapi sekenanya saja.
“Aku ke belakang dulu, ya,” pamit Nino.
Karina hanya mengangguk dan melanjutkan mendengar cerita Kristin yang entah sampai di mana ujungnya.
Ketika Nino berjalan menuju toilet, seseorang mengikutinya. Nino tentu merasa seperti ada yang mengikuti, ia menoleh untuk memastikan dan benar saja, ada seseorang bersembunyi di balik dinding persimpangan lorong menuju tangga darurat dan tempat resepsi, di depan sana toilet yang akan dituju oleh Nino.
Nino masih diam memandangi orang yang berdiri di sana, ia bisa tahu karena melihat sepatunya. Nino yakin dia yang mengikuti, ketika berjalan melewati tempat itu, Nino tidak melihat siapa pun.
Nino melangkah perlahan dan ketika semakin mendekat, orang itu pergi. Nino berlari mengejarnya dan dia keluar menuju tangga darurat. Selain pintu menuju tangga darurat, ada dua ruangan yang saling berseberangan. Nino tidak yakin dia masuk ke salah satu ruangan itu, karena ia melihat pintu darurat tertutup.
Nino segera membuka pintunya, dia sudah tidak ada di sana. Mungkin dia sudah turun, tetapi Nino tidak mendengar suara langkah kaki.
“Hai, Nino.”
Nino tersentak ketika mendengar suara di belakangnya. Ia segera berbalik. Matanya terbelalak melihat siapa yang ada di sana.
“Kevin,” gumam Nino. Tangannya mengepal erat.
“Kita ketemu lagi,” ujar Kevin sambil tersenyum miring.
Nino menatap tajam pria itu. “Ngapain lo di sini?”
“Gue?” Kevin menunjuk dirinya sendiri. “Tentu gue menghadiri pernikahan Hardi, atas nama Elvira.” Dia tersenyum penuh muslihat.