NovelToon NovelToon
ARGRAVEN

ARGRAVEN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Eva

WARNING ⚠️

Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20>>Naif

Naif

****

"Saya boleh bertanya." Agraven Kasalvori mulai membuka mulutnya untuk bertanya demi meyakinkan sesuatu.

Yang ditanya lantas mendongak. "H-hah?"

"Saya boleh nanya sesuatu?" ulang Agraven bertanya.

"Sejak kapan dia izin dulu sebelum nanya," batin Aza merasa ada yang aneh.

Setelah diam beberapa saat, akhirnya Aza mengangguk.

"Agoraphobia ... kamu pernah alami juga sebelumnya, 'kan?" Aza menutupi rasa keterkejutannya. Dari mana Agraven tau? pikirnya.

"E-enggak--"

"Saya nggak suka dibohongi, Azananta. Kapan?" tuntut Agraven bertanya. Sifat pemaksanya telah kembali.

"K-kapan apa maksud kamu, Kak?"

"Gangguan ...."

"Anxiety disorder... gangguan kecemasan itu sering kamu alami kapan sebelum akhir-akhir ini?"

Aza terdiam. Bukan bingung mau menjawab apa, tapi ia memang tidak berniat untuk menjawab. Lebih baik dirinya menunduk, menghindari tatapan intimidasi dari Agraven untuknya.

"Aza," panggil Agraven. Intonasinya masih terdengar rendah.

Wanita itu menggeleng dengan kepala yang masih menunduk.

"Jawab pertanyaan saya atau saya perkosa, hm?"

Aza langsung mendongak dengan raut wajah panik. Cukup malam itu Agraven menyakitinya, tidak akan lagi. Bayangan saat Agraven menyetubuhinya membuat Aza bergidik. Sungguh ia tidak menginginkan hal itu lagi terjadi.

"Masih belum jawab, huh?" Agraven mendekatkan wajahnya dengan wajah Aza, refleks wanita itu melotot dan menggeleng.

"J-jangan, aku mohon jangan lakukan itu lagi. Cukup," lirih Aza memohon.

Melihat wanitanya ketakutan Agraven menghela napas, ia kembali menjauhkan wajahnya dari wajah Aza yang berjarak hanya beberapa senti saja. Tangannya terangkat untuk mengusap rambut panjang Aza dengan lembut.

"Jawablah," pintanya lagi.

Mau tidak mau Aza harus menjawab. Sepertinya percuma jika ia berbohong.

"Umur tujuh tahun sampai sepuluh tahun. Aza ngalamin itu selama tiga tahun."

Agraven terlihat kaget mendengar jawaban Aza. Namun, dengan cepat ia mengubah ekspresi wajahnya.

"Karena apa dan penyebabnya apa?" Pertanyaan yang sebenarnya sudah tau jawabannya, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Aza dan untuk meyakinkan sesuatu.

Harusnya ia membantu Aza melupakan ketakutan, kecemasan itu, tetapi ia justru mengingatkan kembali kejadian itu.

"T-takut ... takut, Kak ...."

"Jangan takut," ucap Agraven terlewat santai. Ia beralih tempat duduk menjadi di samping Aza yang sedang bersandar di kepala ranjang. Tangannya merangkul bahu Aza, otomatis kepala wanita itu bersandar di bahunya.

"Takut, Kak ... di depan mata Aza Mama sama Papa--"

"Ssttt, udah. Nggak perlu dilanjutkan dan ... maaf." Agraven langsung membungkam bibir Aza dengan telunjuknya. Ia tidak ingin mendengar kelanjutan cerita Aza. Ia sudah tau kelanjutannya apa.

Aza sedikit mendongak untuk melihat Agraven yang duduk sampingnya.

"Tiga tahun ...."

"Selama tiga tahun Aza sering disangka anak yang gila! Selama tiga tahun ketakutan itu menemani hidup Aza! Anak kecil baru berumur tujuh tahun harus bolak-balik ke psikolog anak! Selama tiga tahun penyembuhan itu hiks ...."

"Ketakutan itu mulai memudar saat Aza umur sebelas tahun. Berkat bantuan Ibu panti dan teman-teman Aza yang selalu meyakinkan Aza untuk terus melanjutkan kehidupan ...."

"Dan dengan mudahnya kamu, Kak ...." Aza menatap Agraven dengan tatapan penuh kehancuran. "Dengan mudahnya kamu mengembalikan pengganggu itu hiks, ketakutan, kecemasan, kesedihan itu kembali, Kak! Karena kakak!" teriak Aza. Ia mendorong bahu Agraven. Berharap laki-laki itu pergi dari sisinya.

"RASA ITU KEMBALI MENGHANTUI AZA!"

"Saya tau." Agraven mengangguk sambil menatap lekat manik mata Aza yang berair. "Sekarang saya tau semuanya," lanjut Agraven.

Laki-laki tersebut beranjak dari posisinya, ia pindah duduk di depan Aza yang sedang bersila.

Aza mendongak dengan takut-takut.

Melihat Aza yang seperti waspada membuat Agraven menghela napas.

"Yang tadi ... itu terakhir kali buat kamu mengenang itu semua. Setelah ini saya akan bantu kamu untuk melupakan... maksudnya bantu keluar dari ketakutan itu."

Agraven menarik Aza ke dalam dekapannya. Rambut wanita itu ia usap dengan lembut. "Saya nggak bisa bantu kamu buat lupain kejadian itu, karena melupakan sebuah memori ingatan itu nggak semudah membalikkan telapak tangan." Aza ingin menjauh dari Agraven, tetapi laki-laki tersebut langsung menahannya.

Isak tangis Aza kembali terdengar.

Wanita di pelukannya sekarang sudah sangat menderita. Mungkin jika orang lain yang berada di posisi Aza akan menyerah dan mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup.

Tangan Agraven menepuk-nepuk pelan punggung Aza. Berniat menenangkan.

"Nangis aja. Sekarang ada saya, kamu nggak sendiri lagi, Azananta." Agraven berujar pelan. Namun, Aza masih dapat mendengarnya

Dengan perlahan tangan Aza membalas pelukan Agraven. Untuk kali ini biarkan Aza menumpahkan segala isi hatinya. Yang ia butuhkan saat ini memang sebuah pelukan dan sandaran.

Tangan Aza semakin erat memeluk pinggang Agraven. Jarinya menggenggam kuat baju belakang Agraven. Isak tangisnya mulai terdengar jelas. Aza benar-benar menumpahkan segalanya di dada Agraven.

"Hiks ... kenapa Aza yang ngalamin kayak gini hiks?"

"Karena Aza spesial."

"Aza nggak sekuat itu--"

"Aza sangat kuat. Buktinya sekarang seorang Aza masih bertahan." Agraven terus menjawab keluhan Aza.

Wanita tersebut melepas pelukannya dari Agraven, ia mendongak menatap wajah Agraven.

"Kenapa kamu jadi gini, Kak? Kakak cuma pura-pura baik, 'kan sama Aza?"

"Saya nggak ada waktu buat berpura-pura," jawab Agraven.

"Sebenarnya apa tujuan kamu hancurin hidup Aza? Dan sekarang kamu seolah-olah ingin membantu Aza keluar dari lembah hitam itu? Apa maksudnya, Kak?" tanya Aza menuntut Jawaban.

Agraven terdiam. Tangannya mengahalau beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah cantik itu.

"Maaf cara saya salah. Maaf juga saya telat tau tentang agoraphobia yang kamu derita."

Aza benar-benar tidak habis pikir dengan Agraven. Sungguh sangat mengganggu pikirannya saat ini.

"Apa ...." Aza menjeda ucapannya. Alis Agraven terangkat menunggu kalimat yang akan diutarakan oleh mulut manis wanitanya itu.

"Hm?"

"Apa Aza pernah kenal kamu sebelumnya, Kak?" Agraven langsung mengalihkan pandangannya.

"Nggak, Za. Kamu nggak pernah kenal saya, tapi saya sangat mengenalimu," jawab Agraven.

"Kenal Aza? Dari mana?"

"Sekarang udah malam. Kamu istirahat, besok kita ke Om Genta. Setelah itu kamu ikut saya." Agraven mengalihkan pembicaraan.

"Ikut ke mana?"

"Besok kamu bakal tau. Sekarang tidur," jawab Agraven, lalu menuntun Aza untuk berbaring.

Setelah menyelimuti tubuh Aza, Agraven ikut berbaring di samping Aza.

Melihat itu, Aza kembali duduk. Agraven lantas ikut kembali duduk.

"Tidur, Za!" tekan Raven.

"Kak ...." cicit Aza. "Kita bukan siapa-siapa, kita hanya orang asing. Nggak baik jika tidur berdua di satu kamar, apalagi satu ranjang," lanjut Aza menunduk.

Agraven menghela napas. "Kalau begitu, ayo nikah," ajak Agraven.

Mata Aza membulat sempurna karena kaget.

"Itu nggak akan terjadi, kak. Lihat ...." Aza menggantungkan ucapannya sambil menunjuk liontin kalung yang Agraven pakai. "Kita sangat jauh, Kak! Bukan jarak atau perasaan yang membatasi kita, tapi agama. Jarak bisa diperdekat, perasaan bisa tumbuh seiring waktu, tapi agama ...."

"Bisa, Azananta."

"Enggak bisa!"

"Tentu bisa."

"Kakak mau ambil aku dari Tuhanku? Itu nggak akan pernah, kak. Aku rela mati ...."

"Sebrengsek-brengseknya saya, itu nggak akan ambil kamu dari Tuhanmu, Za!" balas Agraven menekankan setiap katanya.

"Lalu apa, Kak? Kamu mau nikah sama Aza dan beda agama? Kakak naif!" Aza membuang muka.

"Saya yang akan pindah keyakinan yang sama kayak kamu, kakek dan Galva!"

Mata Aza melotot. "Apa bedanya, Kak? berarti Aza yang ambil kamu dari--"

"Enggak, Za."

"Apa yang enggak?

"Cukup. Sekarang tidur, saya tidur di sofa," pungkas Agraven. Laki-laki tersebut mengambil bantalnya dan pergi menuju sofa yang berada di kamarnya.

Aza hanya menatap punggung Agraven yang menjauh. Laki-laki tersebut langsung berbaring di sofa yang lumayan besar. Matanya mulai menutup, tetapi Aza masih memperhatikannya.

"Tidur, Azananta. Jangan liatin saya terus. Menikah dulu, setelah itu baru kamu bebas liatin saya," kata Agraven, tetapi matanya tetap terpejam.

Aza bergidik. Ada apa dengan pria tampan satu itu? kenapa sikapnya tiba-tiba berubah? pikir Aza.

Aza kembali berbaring, tetapi matanya belum terpejam. Ia masih memikirkan ucapan Agraven beberapa menit yang lalu.

"Menikah dengannya? Lalu Kak Ludira ia ke manakan?" batin Aza.

"Untungnya apa Aza nikah sama dia?"

"Kalau nggak nikah, Aza bakal tetap dikurung di sini. Sekamar dengannya tanpa ikatan. Dosa Aza tambah besar, belum lagi kajadian ia renggut mahkota Aza... pasti dosa Aza banyak banget." Aza terus bergumam sambil menggigiti kukunya.

"Tapi balik lagi ke opsi pertama, untungnya Aza nikah sama dia apa?"

"Dia itu kejam, Za. Dia psiko," gumam Aza lagi sambil bergelut dengan pikirannya.

Agraven yang belum benar-benar tertidur pun kembali bangkit dari posisi tidurnya. Ia melangkah mendekati Aza tanpa disadari oleh perempuan itu.

"Kalau kamu nggak mau nikah sama saya, emangnya mau jika seandainya kamu hamil terus anaknya lahir tanpa seorang Ayah?" bisik Agraven.

Aza terkesiap mendengarnya. "Sejak kapan dia di situ?" batin Aza meringis.

"Ya nggak mau! Lagian Aza nggak akan hamil," bela Aza.

Agraven terkekeh mendengarnya. "Kita lihat saja nanti, salah satu dari ribuan calon anak saya pasti ada yang berhasil lolos," balas Agraven dengan yakin.

"Sekarang tidur, atau kamu mau saya tidurin, hm?"

Aza langsung menutup matanya rapat-rapat. Agraven terkekeh melihat itu. Ia membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Aza.

Cup

"Night." Setelah mencium kening Aza dengan durasi tiga detik, Agraven kembali menjauhkan wajahnya.

Setelah Agraven kembali ke sofa, Aza langsung membuka matanya.

Deg deg deg

Aza memegang dadanya terasa berdegup lebih cepat dari normal. "Kak Agraven kenapa tiba-tiba berubah jadi gitu? Dan kenapa jantung Aza deg-degan gini saat dia cium," batin Aza.

"Mungkin naluri seorang wanita kalo dicium cowok," batin Aza berasumsi.

"Tidur, Azananta!" tegur Agraven. Aza langsung menutup matanya.

To be continue....

Spam next!

1
Los Dol TV
Keren dan Inspiratif.... semoga sudi singgah ke Karyaku , Rindu Gugat
Neneng Dwi Nurhayati
ini cerita nya Agra sama Ara itu beda agama gmna Kak,
Neneng Dwi Nurhayati
double up kak
opiko
Sudah menunggu dengan tidak sabar lanjutan cerita selanjutnya! Teruslah berkarya, author!
Rosalie: udah up yah🤗
total 1 replies
Rakka
Jangan bikin saya penasaran thor, update secepat mungkin ya! 🙏😊
Rosalie: Silahkan follow akun ini buat dapetin update an terbaru dari cerita ARGRAVEN 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!