NADYA

Pagi ini Nadya sangat terkejut saat mendapati Dewangga didepan pekarangan tempat kost nya. Pemuda itu tampak bersandar di kap mobil, seperti tengah menunggu seseorang.

"Kak Dewa?" sapa Nadya dengan tampang bingungnya.

Dewangga melihat kehadiran Nadya, dia menyunggingkan senyum tipis. "Ayo!" ajaknya.

"Eh? Mau kemana?"

"Ke kampus," jawab Dewangga singkat.

"Aku naik angkutan umum aja, Kak!" kata Nadya menolak, jelas saja dia bingung dengan sikap Dewangga saat ini, apalagi sebelumnya mereka tak punya hubungan yang cukup dekat, ingat kan jika mereka hanya terlibat satu sama lain karena Nadya mau mengganti kaos pemuda itu yang berharga 2 juta rupiah.

"Aku sudah menjemputmu kesini tapi kau menolak ajakan ku?" Dewangga malah memberi Nadya pertanyaan yang membuat gadis itu serba salah.

"Nadya, aku tidak menerima penolakan," kata Dewangga sebelum Nadya sempat berkata-kata.

"Aku gak bisa, Kak!" Nadya kekeuh dengan keputusannya. Sekarang ada hati yang harus dia jaga meski dia juga tidak tau mau dibawa kemana hubungannya dengan Alex.

Penolakan Nadya justru membuat Dewangga tersenyum sarkas. "Kau tidak mau karena takut dengan lelaki kemarin?" tanyanya menyelidik.

"Aku bukan takut padanya, Kak. Aku menghargainya."

Dewangga manggut-manggut sekarang. Kini dia sudah dapat menyimpulkan jika Nadya dengan cowok yang kemarin dia lihat memang memiliki hubungan.

"Kalau ku bilang ini ada kaitannya dengan hutangmu, bagaimana?"

Nadya membeku. Apa yang harus dia katakan sekarang. Bagaimana jika Dewangga menagih hutangnya agar lunas semua saat ini juga? Jangan lupakan jika pemuda itu adalah berandal kampus. Meski Nadya sadar jika beberapa hari belakangan ini dewangga mulai melunak padanya, tapi itu tidak dapat memungkiri watak asli seorang Dewangga yang keras dan tak menerima penolakan.

Melihat Nadya terdiam, sudut bibir dewangga tertarik ke atas. Dia tau jika sudah membahas soal hutang, Nadya tidak akan bisa berkutik lagi.

"Ikut aku atau lunasi hutangmu sekarang juga," kata Dewangga enteng. Dia memberi Nadya pilihan tapi jelas-jelas tau jika Nadya takkan bisa memilih.

"Kak, aku--"

Dewangga menggelengkan kepalanya sebagai isyarat bahwa dia tidak akan mau mendengar alasan-alasan yang dibuat Nadya sekarang.

"Cepat atau kita akan terlambat kuliah."

Mau tak mau akhirnya Nadya masuk juga ke dalam mobil pemuda itu. Duduk di kiri Dewangga dengan perasaan serba salah. Kenapa sekarang Dewangga harus bersikap begini padanya? Tapi inikan memang sifat asli pemuda itu. Pemaksa.

"Selesai kuliah jam berapa?"

"Eh?" Nadya sampai kaget saat suara Dewangga terdengar tiba-tiba, sebab sejak tadi suasana dalam mobil cukup hening. Tentu saja, itu karena Nadya tak tau harus bicara apa dengannya.

"Siang," jawab Nadya seadanya.

"Jam berapa?"

"Memangnya kenapa?" balas Nadya. Kenapa sekarang Dewangga kepo dengan kegiatannya?

"Tak apa. Aku hanya mau mengajakmu bertemu ibuku lagi hari ini jadi aku harus memastikan jam berapa kelasmu selesai."

Nadya menarik nafas panjang. "Memangnya harus ketemu lagi ya? Bukannya kemarin baru ketemu ibu kamu?" tanyanya.

"Aku pikir itu akan membantumu agar hutangmu lebih cepat lunas," jawab Dewangga seraya mengendikkan bahunya.

Nadya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Disaat bersamaan dia mendapatkan pesan dari Alex di ponselnya.

[Aku berangkat sekolah ya, nanti pas pulang aku mampir ke outlet buat ketemu kamu🤭☺️]

Nadya tersenyum membaca pesan itu. Dia segera membalasnya dengan jawaban 'ok', tapi senyumannya saat membaca pesan itu nampak dipandangan Dewangga.

Dewangga bukan tipe pemuda seperti Alex yang blak-blakan ingin tau siapa yang tengah berkirim pesan dengan Nadya. Dia lebih mempercayai instingnya. Dia tidak butuh konfirmasi dari Nadya karena dia dapat menyimpulkan sendiri dari apa yang dia lihat dan sekarang Dewangga yakin jika Nadya memiliki hubungan dengan cowok yang sempat bertemu juga dengannya, kemarin.

"Jika nanti bertemu ibuku lagi, dan dia mengenalimu sebagai Dewinta, tolong jelaskan padanya jika kamu bukan Dewinta melainkan Nadya."

Nadya langsung menoleh pada Dewangga saat itu juga saat mendengar ucapan pemuda itu.

"Kenapa?" tanya Nadya dengan kernyitan didahinya.

"Bagaimanapun juga ibu harus mengerti bahwa Dewinta sudah tidak ada."

"Baiklah," kata Nadya. Lalu dia terpikir sesuatu. "Bagaimana kalau ibu kamu menyangka aku sebagai pacar kamu lagi? Aku harus jawab apa?" tanyanya. Dia takut salah menjawab dan bersikap, bagaimanapun Nadya harus memikirkan psikis wanita paruh baya itu, dia juga harus meminta persetujuan dari Dewangga agar tidak membuat kesalahan.

"Tinggal iyakan saja."

"Tapi, kak?"

"Lebih baik begitu daripada dia menganggapmu sebagai Dewinta yang sudah tiada, Nadya. Setidaknya, dia bisa mengetahui bahwa kau adalah Nadya dan bukan Dewi, anaknya."

Nadya membuang pandangan ke luar jendela, menatap lalu lalang kendaraan dihadapannya. Dia sadar jika sekarang dia semakin terjebak dengan Dewangga. Ah, kapan hutangnya lunas? Kenapa ini terasa lama sekali. Padahal Nadya sudah berusaha bekerja keras tapi hutang itu belum lunas juga. Harapan Nadya tinggal gajinya diawal bulan depan tapi menunggu awal bulan itu masih lama.

"Kau keberatan?" tanya Dewangga menyadarkan Nadya dari lamunannya.

Nadya tak menyahut, dia memilih diam saja. Toh kalau dia menjawab keberatan pasti Dewangga akan kembali mengingatkannya akan hutang itu lagi.

"Aku paham kau sedang menjaga perasaan seseorang, Nadya."

Kali ini Nadya menoleh lagi pada Dewangga, tapi bibirnya tetap terkunci seakan tak senang karena Dewangga seperti mencampuri masalah pribadinya.

"Tapi bantulah aku sedikit lagi. Paling tidak, sampai aku menyatakan hutangmu lunas."

Nadya tak tahan lagi untuk mengutarakan pemikirannya didepan pemuda itu. Akhirnya dia menjawab Dewangga dengan cukup ketus.

"Kamu bersikap seolah-olah aku adalah gadis yang bisa kau atur, Kak. Saat aku mengatakan tidak bisa atau tidak mau kamu akan mengingatkan ku akan hutangku yang belum lunas. Kamu bersikap seenaknya, karena kamu tau aku belum bisa melunasinya. Aku bisa memakluminya karena disini aku yang salah. Tapi bisakah kamu tidak mencampuri urusan pribadiku? Aku sedikit risih dengan hal itu!"

Mendengar ucapan Nadya yang keras, tentu saja membuat Dewangga heran. Dia tidak marah, tapi dia takjub karena gadis setenang Nadya bisa juga meledak-ledak seperti ini. Ternyata selain ceroboh, tertutup dan tidak mau mencampuri urusannya, Nadya juga bisa bersikap keras seperti dirinya. Jadi, apalagi karakter Nadya yang belum dapat Dewangga baca? Sepertinya meski Nadya mencoba menutupi jati dirinya sendiri, tapi Dewangga tetap bisa mengetahui siapa Nadya.

"Sepertinya kau adalah sesuatu yang ingin ku baca berulang-ulang," pikir Dewangga.

...Bersambung ......