Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJUTAN
"Brie— kau ... " Hadwin menjeda kalimatnya. Pria itu tidak tahu harus berbuat apa ketika melihat air mata Briela yang luruh dengan derasnya.
"Aku tidak tahu alasanmu menangis. Tetapi jika kau menginginkan jawaban atas pertanyaanmu sebelumnya, aku akan berusaha menjawabnya." Hadwin berbicara dengan hati-hati. "Aku melakukan semua hal untukmu, karena— mm entahlah Brie, aku juga tidak tahu alasannya. Aku hanya merasa aku harus melakukannya untukmu saja. Aku hanya ingin menjadi sosok yang bisa kau andalkan. Dan aku benar-benar tulus melakukannya," lanjutnya.
Briela menatap Hadwin. Meski Hadwin sudah menjawabnya namun entah mengapa bukannya berhenti, tetapi air mata Briela luruh semakin deras. Briela tahu pria itu selalu melakukan segalanya dengan tulus.
Mungkin sebenarnya Briela bukan menginginkan jawaban. Briela mungkin menyalahkan pikirannya sendiri yang selalu menilai Hadwin melakukan sesuatu hanya berdasarkan kontrak. Dan ketika ia sadar bahwa Hadwin benar-benar tulus, Briela hanya butuh meluapkan rasa bersalahnya saja.
***
"Brie, perkiraan cuaca hari ini akan turun hujan salju yang lebat di malam hari. Pastikan kau untuk tidak pulang terlambat!"
Pesan teks yang hanya Briela baca tanpa ia balas. Sejak malam dimana Briela menangis ketika mengetahui Hadwin yang selalu tulus padanya. Briela sedikit menjaga jarak— bukan karena Briela tidak nyaman dengan semua perlakuan Hadwin. Hanya saja Briela kebingungan harus bagaimana menyikapi Hadwin.
Briela berkali-kali merasakan gejolak batin yang mengganggu ketenangannya. Ia percaya jika Hadwin benar-benar tulus, tetapi di sisi lain dalam dirinya Briela selalu meyakinkan dirinya untuk menjaga batas karena kontrak yang ada.
Ia terbiasa dengan perlakuan dan sikap yang Hadwin berikan namun ia juga takut mengambil langkah yang sama. Takut dengan segala pikiran yang memenuhi kepalanya.
Briela pulang ketika pukul empat sore, dalam perjalanan pulang hujan salju mulai turun. Saat mobilnya sudah berada di area parkir apartemen salju turun dengan sangat lebat. Briela merasa beruntung atas hal itu.
Begitu Briela turun dari mobilnya, hawa dingin menyapa kulitnya yang terbuka. Briela memeluk tubuhnya sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya Briela selalu melewati puncak musim dingin itu sendirian sambil memeluk dan menguatkan dirinya sendiri.
Pagi tadi, ayahnya menelepon. Mengucapkan selamat ulang tahun dan mengirim hadiah ke alamat kantornya seperti biasa. Hanya ayahnya selain Jennifer yang selalu tulus mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Jennifer sendiri meneleponnya dini hari tadi, mengucapkan selamat ulang tahun dan meminta maaf karena tidak bisa menemui Briela secara langsung. Jennifer sedang berada di Swiss untuk pemotretan.
Di kantor Briela tentu menerima ucapan selamat dari rekan kerjanya tapi sepertinya hanya sebagai bentuk formalitas saja. Tetapi itu bukan hal yang mengejutkan lagi, Briela sudah terbiasa untuk hal-hal seperti itu.
Briela masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai apartemen yang ia tinggali bersama Hadwin. Begitu Briela masuk ke dalam apartemen, wanita itu melihat Hadwin tengah sibuk menghias dinding dengan balon dan pita warna warni.
Briela mematung di tempatnya berdiri, Hadwin menoleh ketika mendengar pintu terbuka. Pria itu terkejut, rencananya kacau. Dia sedang menyiapkan kejutan namun persiapannya belum selesai dan orang yang akan diberi kejutan ternyata melihat kekacauan itu.
Hadwin turun dari tangga portabel yang ia pakai untuk menjangkau area atas. Tangannya masih memegang pita berwarna pink salem. Wajahnya tampak kikuk.
Hadwin menggaruk pelipisnya, "Kau, sudah pulang Brie?" Akhirnya hanya pertanyaan itu yang bisa ia ucapkan.
Briela menatap ke seluruh penjuru ruangan yang dihias dengan cantik oleh Hadwin. Ketulusan terpancar jelas di setiap detail yang Hadwin torehkan.
Briela menatap ke tengah ruangan, sebuah kue cokelat dan beberapa macaron warna-warni telah di tata di atas meja beserta pernak-pernik hiasan pesta yang membuatnya terlihat meriah.
Briela kembali mengedarkan pandangannya, hingga berakhir pada lokasi dimana Hadwin belum selesai menghiasnya. Lokasi yang sama dengan yang pertama kali Briela lihat ketika ia masuk ke dalam rumah.
Briela menatap Hadwin lekat kilatan di matanya benar-benar membuat nyali menciut. Dan entah sejak kapan kilatan dalam matanya berubah menjadi tetesan air mata.
Briela menangis— bukan tangisan haru melainkan karena amarah.
"Hadwin ... Mengapa kau selalu seperti ini? Mengapa melakukan semua hal semaumu sendiri," teriak Briela marah tengah tangisannya.
Hadwin termangu, senyuman canggung yang semula menghiasi wajahnya seketika luruh dan digantikan perasaan bersalah. "Apa ini tidak sesuai seleramu, Brie. Maaf— aku hanya ingin menjadikan hari ulang tahunmu berkesan saat kau bersamaku."
"Tidak perlu minta maaf," ujar Briela ketus.
"Tetap saja aku merasa tidak enak, Brie. Maafkan aku. Lain kali— "
Belum selesai Hadwin berbicara, Briela lebih dulu menyela dengan kalimatnya yang tajam. "Kau hanya melakukan hal yang sia-sia." Briela berlalu meninggalkan Hadwin.
"Setidaknya kau bisa menikmati kuenya, Brie. Itu rasa favoritmu," ucap Hadwin, ia berusaha meyakinkan Briela jika apa yang dilakukannya bukanlah hal yang sia-sia.
Sayang seribu sayang satu hal yang Hadwin yakini akan berhasil untuk menutupi kesalahannya terpaksa harus ia relakan juga Briela menyahut dengan nada yang begitu dingin.
"Buang saja!" Briela berlalu tanpa menoleh sedikitpun ke arah Hadwin yang masih mematung di tempatnya dengan perasaan yang campur aduk.
Hadwin bingung, ia mencari-cari dimana letak kesalahannya. Jika hanya dekorasi yang tidak Briela sukai, seharusnya wanita itu tidak akan semarah itu. Tetapi nyatanya Briela bahkan tidak berminat sedikitpun pada kue yang biasanya sangat Briela sukai.
Pikiran Hadwin benar-benar buntu, pria itu cukup lama duduk diam sembari mengamati usahanya yang kini terasa sia-sia. Ketika hari mulai gelap, Hadwin masih saja di sana masih mencari letak kesalahannya. Sedang Briela, ia tidak lagi terlihat sejak masuk ke kamarnya. Briela seolah menyembunyikan diri dalam gelapnya malam.
Hadwin menghela napas panjang, meski pikirannya masih buntu ia akhirnya memberesi semua hal yang tadinya akan ia jadikan kejutan untuk merayakan ulang tahun Briela. Ia memasukkan semuanya hingga detail terkecil ke dalam sebuah kantung plastik besar. Hadwin membawanya keluar apartemen untuk membuangnya.
Di depan trash chute Hadwin menatap kantung plastik yang ia masukkan ke dalamnya, tatapannya kosong. Hadwin menoleh ke kanan, di sampingnya ia melihat hujan salju yang begitu lebat di luar jendela. Dinginnya baru saja Hadwin rasakan setelah semua kantung plastik yang berisi aksesoris kejutan untuk Briela tidak terlihat lagi.
Hadwin mengingat lagi betapa dinginnya kalimat Briela saat memintanya membuang kue yang Hadwin tawarkan. Seharusnya hari ini menjadi hari yang membahagiakan, pikir Hadwin sebelumnya. Tapi nyatanya tidak ada secuil pun kebahagiaan yang di dapat, selain kebingungan dan kekecewaan.
Apa yang membuatmu semarah itu, Brie?
🥀🥀Hai hai readers kasih aku masukan dong atau komentar tenang alurnya! Kalian suka nggak? 🥀🥀