KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN

KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN

01. Awal mula

Awan gelap menggantung di atas desa Suko Mulyo. Gagal panen kembali menyerang, semua orang terkena dampaknya termasuk keluarga kecil Wito dan Nina. Musim panen bagi mereka, artinya adalah musim tagihan juga. Biaya untuk penggarapan lahan, yang sebelumnya mendapatkan talangan, kini mulai menyuarakan meminta pembayaran. Semua berdatangan, seperti ombak besar yang tak terhindarkan.

Wito, Suami Nina tak lagi bisa bekerja keras seperti sebelumnya semenjak lututnya mengalami penyempitan tulang beberapa bulan yang lalu. Sementara kebutuhan keluarga semakin meningkat, seiring bertambahnya usia anak mereka yang kini sudah mulai masuk masa sekolah. Sementara sawah yang mereka harapkan bisa menyambung hidup malah sudah setahun ini tak memberikan hasil baik.

Ingin berteriak, tapi malu didengar tetangga. Ingin menangis, tetapi air matanya terasa sudah kering, membuat wanita berusia tiga puluh lima tahun itu hanya bisa menahan semuanya dalam dada.

“Assalamualaikum…!”

Belum selesai berpikir tentang apa yang akan dimasak buat makan besok, suara salam dari depan pintu mengagetkannya. Nina bergegas keluar.

“Waalaikumsalam!” jawabnya. Mengerutkan kening karena merasa tak mengenal siapa yang sedang bertamu ke rumahnya di kala menjelang senja.

“Ini rumah Pak Wito ya, Bu…?” tanya tamu yang tidak dikenalnya.

“Iya, benar. Maaf, Njenengan sinten nggih…?” (Anda ini siapa?) tanya Nina.

“Kulo Slamet, Yu… (Saya Slamet, Mbak) yang punya disel di sawah Balong!” jawab orang itu.

Jantung Nina berdebar. Ini pasti tagihan pengairan sawah yang belum dibayar karena gagal panen.

“Kang Wito-nya ada, Bu…?” tanya Pak Slamet.

“Bapaknya lagi gak di rumah, Pak. Ada apa ya? Nanti saya sampaikan!” jawab Mia. Wito, suaminya memang sedang tidak di rumah, mungkin memancing di sungai mencari hiburan untuk menghilangkan stress.

“Ini mau mengantarkan tagihan air disel di sawah, Bu!” kata Pak Slamet sambil menyerahkan nota. Totalnya Rp480.000.

“Iya, nanti saya sampaikan, Pak. Maaf ya kalau nanti mungkin agak telat, seperti Bapak tahu sendiri panen musim ini gagal lagi!” ucap Nina.

“Tidak apa-apa, Bu. Semua juga mengalami hal yang sama. Saya maklum, tapi mohon disampaikan ke Kang Wito, untuk nantinya mohon di segerakan ya, Bu. Soalnya saya sendiri untuk bahan bakarnya sebagian juga ambil pinjaman di toko. Dan sawah saya sendiri juga diserang wereng seperti yang lain juga. Dan jadinya sawah saya mengalami gagal panen, jadi mohon pengertiannya ya, Bu!” Pak Slamet memohon dan menjelaskan.

“Iya, Pak. Terima kasih atas pengertiannya, dan saya benar-benar mohon maaf!” Nina merasa tak enak hati. Tapi apa boleh buat. Mereka memang tak memiliki uang.

***

“Apa ini, Mas…?” Nina menerima nota dari Wito. Suaminya itu baru saja pulang setelah hampir separuh hari menghilang.

“Tadi ketemu Pak Jono di jalan. Itu tagihan pupuk kita, Dek,” jawab Wito lalu duduk. Matanya menerawang.

Nina menyusul duduk di sampingnya. “Tadi juga Pak Slamet datang nganter tagihan air disel, Mas!” ucap Nina lirih. Keduanya nampak menghela nafas berat. Seakan ada bongkahan batu besar menghimpit dada mereka.

“Belum lagi tagihan traktor, upah pekerja dan lain-lain. Kita mau bayar pakai apa, Dek?” tanya Wito. Mereka tak punya apa-apa untuk dijual. Menggarap sawah dengan biaya yang dipinjamkan dahulu oleh pemilik peralatan mesin, dan dibayar saat panen. Tapi ternyata, panen yang diharapkan bisa menutup semua biaya, malah jauh dari harapan.

***

Mentari mulai merunduk di ufuk barat, meninggalkan langit jingga yang memudar. Nina masih duduk di beranda, jemarinya cekatan menganyam tas dari bahan anyaman plastik, sebuah usaha kecil untuk menambah pemasukan keluarga.

Pikirannya melayang pada tumpukan tagihan yang belum terbayar, beban berat yang terus membebani dadanya. Berulang kali membuang nafas berat, namun sesak di dada tak juga terurai. Sampai kemudian, suara riang anak-anak memecah lamunannya. Sinta, anak tetangga, datang bersama ibunya, Bu Asih.

"Mak Nina, Sinta main ya?" Bu Asih menyapa ramah, langsung ikut duduk di depan Nina tanpa menunggu jawaban.

Nina tersenyum, "Main aja Bu, ngapain sih pakai izin segala?" jawabnya, lalu keduanya pun tergelak bersama.

Sinta langsung berlarian masuk ke dalam rumah, sudah biasa. Sinta memang sering bermain dengan Agus anaknya Nina. Sementara Bu Asih duduk di dekat Mia. Mereka berbincang ringan tentang hal-hal remeh temeh, tentang gagal panen, tentang hujan yang tak kunjung datang, sedangkan musim pengharapan sawah sudah hampir tiba, tentang harga-harga kebutuhan pokok yang semakin melambung, dan tentang anak-anak mereka.

Sampai kemudian perlahan, Bu Asih yang sepertinya sejak tadi memperhatikan raut Nina mengalihkan pembicaraan.

"Mbak Nina, kok keliatan lesu? Ono opo to Mbak?" tanyanya dengan nada prihatin.

Nina menghela napas panjang, air matanya berkaca-kaca. Ia tak kuasa menyembunyikan kekhawatirannya. "Tanpa aku cerita pun semua orang juga tahu, Bu. Mungkin semua juga mengalami. Hanya saja mungkin aku yang paling parah.” Nina tanpa sungkan mulai bercerita. Cerita yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.

“Tiga musim berturut-turut gagal panen. Setelah sebelumya sawah kita kering kerontang, dan padi-padi pada mati karena kurangnya curah hujan, musim lalu diserang hama tikus. Terus musim ini gagal lagi karena serangan wereng.”

“Padahal, kita sudah berhutang banyak untuk pupuk, untuk sewa traktor, untuk biaya pengairan. Semuanya menggunakan hasil panen sebagai jaminan. Tapi sekarang…” Suaranya bergetar, menahan isak tangis.

"Tambah lagi, Mas Wito juga sudah beberapa bulan dia nggak bisa bekerja keras di sawah. Cuma bisa bantu-bantu pekerjaan ringan saja. Biasanya bisa pake tenaga sendiri, sekarang harus membayar orang kerja. Agus waktunya daftar sekolah. Belum lagi kebutuhan sehari-hari, semua kebutuhan pokok naik. Bungkelen (merasa sesuatu yang sangat berat dan tidak memiliki jalan keluar) aku, Bu.”

“Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Bu. Rasanya sudah nggak ada jalan keluar." Air mata Nina akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia merasa sangat terbebani, terhimpit oleh masalah yang tak kunjung usai. Ia merasa sangat lelah dan putus asa. Berharap dengan bercerita, bebannya akan berkurang.

Bu Asih mendengar cerita Nina dengan seksama. Tanpa keinginan untuk memotong. Dia paham betul apa yang dialami Nina. Dia pernah berada di titik ini, dulu.

"Kenapa gak nyoba cari pinjaman KUR saja, Mbak? Kalo Kamu mau, Aku punya nomornya Bu Menik, itu loh mantri BRI. Sekarang kan ada program KUR (Kredit Usaha Rakyat), Biar nanti aku hubungi Bu menik buat survei ke sini.” Bu Asih memberi satu solusi.

“Dari pada pergi ke tempat nya Mbah Suro, di sana bunganya mencekik leher.” Bu Asih menambahkan. Bu Asih sendiri pernah melihat, saudaranya hancur, jatuh bangun karena terjerat rentenir.

Nina merasa secercah harapan tiba-tiba menyinari hatinya yang gelap gulita. Apa mungkin, ini jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Ia menatap Bu Asih sedikit ragu, tetapi sepertinya memang tidak ada yang bisa menjadi penyelamat bagi keluarganya.

“Matur suwun, Bu. Aku akan bicarakan ini dengan mas Wito nanti.”

***

“Jadi, Kamu setuju dengan saran dari Bu Asih, Mas?” Nina bertanya sekali lagi.

“Lha terus mau cari pinjaman di mana buat nutupin hutang-hutang itu, Dek?” Wito balik bertanya.

Nina menghela nafas berat. “Sebenarnya, para ibu yang kemarin bantu tanam juga sudah nanyain kapan upah mereka diberikan, Mas.”

Tak ada pilihan lain. Tampaknya memang saran dari Bu Asih adalah satu-satunya jalan. Dan akhirnya itulah yang mereka tempuh.

***

“Aku kira prosesnya sulit, Mas. Ternyata cuma disurvei, disuruh tanda tangan, datang ke BRI, pulang bawa uang.” Nina menghempaskan tubuhnya di atas kursi usang, sepulang mereka dari BRI.

Ya, setelah melewati berbagai proses selama satu minggu, hari ini pengajuan pinjaman mereka benar-benar cair.

“Ya sudah, nanti segera bayarkan, Dek, yang upah para tetangga. Aku juga harus segera bayar pupuk dan lain-lain.”

“Semoga panen berikutnya hasilnya baik, ya Mas. Supaya kita bisa bayar angsuran.”

Satu masalah teratasi, tinggal memikirkan bagaimana selanjutnya. Karena angsuran menanti mereka.

Terpopuler

Comments

FT. Zira

FT. Zira

aku sempet mikir... kan Wito ya tokok prianya,, wanitanya kenpa gak Wati aja.. ehhh🤭🤭🤭🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️

2025-04-02

1

𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒

𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒

trnyata jd petani modale lmyn ya untuk menggarap swah ada ini itu kl pun panen y brpa sih yg d dapet petani mrka ky ibaray balik modal lbh o dikit sdgkn yg untung byk yg ngolah selanjutnya smpe k knsmen, lh ini sdh modal utang hsl panen g ada jd smkin sulit.

2025-04-03

1

Sukhana Ana lestari

Sukhana Ana lestari

Q hadir thor disini Tho.. kayaknya ini cerita bukan tentang sultan / para CEO..?? tp cerita kehidupan kelas bawah...

2025-04-02

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!