Ketika cinta tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.
Sang ibu mertua yang selalu merongrong kebahagiaan yang diimpikan oleh Bima dan Niken.
Mampukah Bima dan Niken mempertahankan rumah tangga mereka, yang telah diprediksi oleh sang ibu yang mengatakan pernikahan mereka tak akan bertahan lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dee Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasrah
"Mama....!" Laras memeluk Niken saat masuk ke dalam kamar pasien.
"Hup! Maafkan Mama, ya, Nak. Kamu harus dijaga oleh om dan tentemu."
"Tante Seruni dan Om Dewa baiiikkkk banget, Ma." Laras memuji Om dan tantenya dengan bersemangat.
"Oya, Tante Runi sudah punya pacar, loh, Ma. Dan Om Dewa sedang patah hati." Celetuk Laras sambil tidur di samping Niken.
"Oya?" Niken menatap Laras, lalu melirik ke arah Niken dan Bima.
"Heh, kamu ini masih kecil, jadi jangan suka nguping orang dewasa kalau sedang berbicara." Tegur Bima pada putri kecilnya itu.
"Ih... Papa ini pura pura lupa. Kemarin kan, Om Dewa yang cerita sama papa!" Sahut Laras sambil memamerkan giginya yang ompong.
Terdengar gelak tawa dari Niken dan Seruni.
Bima menatap istrinya dengan bahagia, ini kali pertama istrinya tertawa lepas setelah kecelakaan yang menimpanya.
"Bener, Wa?" Tanya Niken sambil menatap ke arah Dewa.
Dewa menganguk pelan.
"Itu pacarmu yang dulu itu, kan?" Selidik Niken.
"Ya. Belum jodoh saja, Mbak."
"Mas Dewa ini terlalu molor, Mbak. Sudah pacaran lima tahun, tapi nggak maju maju." Celetuk Seruni.
"Apa yang membuatmu ragu, Wa?"
Tanya Niken.
"Pertanyaan kalian bisa sama sih?" Dewa balik bertanya sambil menatap Niken dan Bima bergantian.
"Kok?"
"Kemarin aku cerita sama Mas Bima, dia juga tanya itu padaku. Kalian itu emang, ya, sehati."
"Kamu tuh memuji atau menyindir kami?" Tukas Bima.
"Ya aku memuji kalian, lah. Aku tuh nggak ragu. Tapi belum siap."
"Lah, ngapain kamu pacaran lama, kalo belum siap?" Seloroh Niken sambil melotot.
"Sudah, Mbak. Nggak usah mikirin aku. Bagaimana perkembangan kaki Mbak Niken?" Dewa mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Besok akan diperiksa lagi, dan dokter juga akan memberi memberi rekomendasi fisioterapi untuk Mbak mu ini." Cetus Bima.
"Ibu, gimana?" Tanya Niken sambil menatap Seruni.
Seruni hanya diam, dan menatap pada Dewa, seolah meminta bantuan untuk memberikan jawaban.
"Ibu sedih. Tapi, jika ibu mengatakan hal hal yang tak enak, kami mohon maaf, sebelumnya, Mbak." Ucap Seruni sambil menggenggam tangan Niken.
"Ya, aku tahu. Ibu pasti akan berat menerima ini. Terlebih saat kejadian, aku bersama dengan bapak." Niken menunduk.
Ingatan Niken kembali pada hari saat kejadian itu.
Sebelumnya, bapak banyak memberikan pesan dan bercerita banyak tentang pabrik, keinginan bapak supaya Bima dapat ikut ambil bagian untuk mengembangkan pabrik bersama Seruni.
Untuk Dewa, bapak tak terlalu berharap banyak, tapi bapak yakin, usaha Dewa, pasti akan terus berkembang dan maju.
Niken hanya bisa diam sambil menatap kakinya yang tak dapat merasakan apa apa.
"Mbak, aku yakin, kakimu akan pulih kembali." Seruni mencoba menghibur kakak iparnya itu.
"Kamu memang adik yang paling baik, Runi." Puji Niken.
"Lah, aku adik yang tidak baik?" Protes Dewa.
"Lah... Kamu juga, Dewa! Kalian berdua adik adikku yang terbaik."
Niken merentangkan kedua tangannya, memeluk dua adik iparnya itu.
"Mama.... Aku gimana?"
"Laras.. kamu tetap nomor satu dalam hati mama." Ucap Niken sambil memeluk dan membelai lembut rambut Laras.
Bima senang melihat adegan hari di hadapannya saat ini.
Meski, di satu sisi dia harus kehilangan bapak. Nqmun, di sisi lain dia memiliki adik adik yang dapat dengan tulus menerima istrinya, demikian juga istrinya, yang dengan tulus menyayangi adik-adiknya.
BRAK!
Pintu kamar dibuka dengan keras.
"Heh... Kamu!"
Seru Bu Mirna dari ambang pintu.
"Puas kamu! Puas kamu mbubuh suamiku! Puas kamu mengobrak abrik keluargaku! Kamu benar benar wanita sial! Pembawa sial! Dulu, menghancurkan bisnis suamiku, sekarang setelah ditolong, merayu dan menggoda ayah mertuanya sendiri, lalu membunuhnya perlahan! Jangan pikir aku akan melepasmu? Aku ingin kamu menerima balasannya!"
Bu Mirna marah dengan suara lantang.
"Bu, sudah! Bukan salah Mbak Niken. Dia hanya kebetulan bersama bapak saat kejadian kemarin." Seruni menghampiri ibunya, seraya menahan lengan ibunya supaya tidak masuk.
"Lepaskan aku!" Bu Mirna menepis pegangan Seruni dengan marah.
"Oh... Kamu lumpuh, ya? Baguslah. Kamu bisa merasakan karma, jika menggoda dan merayu suami orang. Aku juga nggak ngerti apa yang ada di otak suamiku, sehingga dia menurutimu." Bu Mirna tersenyum sinis, menatap Niken.
"Ibu, kita keluar saja." Bima menarik tangan ibunya supaya menjauh dari kamar Niken.
"Nggak usah sentuh ibumu ini, Bima!" Cetus Bu Mirna dengan ketus.
"Ma, Laras takut." Laras memeluk Niken, sambil bersembunyi di balik punggung Niken.
"Halah... Anak manja! Bima, ajari anakmu itu suapaya kuat. Nggak manja dan cengeng. Ibu nggak suka anak seperti itu! Anak yang nggak jelas siapa ayah dan ibunya."
"Bu! Sudah!"
Kali ini Bima benar benar telah habis sabarnya.
Bima langsung menarik tangan ibunya. Dia tak peduli orang orang memperhatikan mereka saat ini.
"Ibu, Niken masih dalam tahap pemulihan, biarkan dia sembuh dulu. Atau setidaknya, dia telah keluar dari rumah sakit."
"Bima, kamu tidak mengerti perasaan ibu? Kamu benar-benar anak yang durhaka! Ibu telah kehilangan bapakmu. Lalu kamu membela wanita yang telah terang terangan main serong dengan bapakmu itu, hah!"
"Bu, Niken tidak pernah selingkuh dengan bapak. Aku percaya padanya juga pada bapak."
"Bagaimana kamu tahu? Kamu, kan, tidak di sana saat mereka sedang pergi berdua." Cecar Bu Mirna.
"Bu, Niken bekerja di pabrik..."
"Apa kamu tahu, dia diam diam mempengaruhi bapak untuk mengambil harta keluarga kita, Bima? Kamu pikir, wanita itu baik? Dia itu ular busuk, yang licik!"
"Bu! Sudahlah, kita ini baru berkabung. Bapak Belum tujuh hari. Tapi, Ibu sudah membuat keributan seperti ini."
"Dengarkan ibu! Jika kamu memilih keluargamu ini, keluarga Widodo. Ceraikan wanita itu, Bima! Tapi, jika kamu tetap memilih dia! Wanita cacat itu, baiklah. Anggap ibumu ini sudah tidak ada lagi! Titik!"
"Bu... Apa salah Niken? Mengapa ibu tidak pernah bisa menerima dia. Terlebih, Laras. Dia darah dagingku, Bu. Bagian dari keluarga Widodo juga."
"Jika kamu tetap memilih dia, kamu tak akan mendapatkan sepeser pun harta dari keluarga kita, Bima!" Ancam Bu Mirna sambil membulatkan matanya menatap tajam ke arah Bima.
Bima hanya bisa menghela napas dalam-dalam sambil menatap ke arah ibunya itu.
"Bu, maaf, aku tidak bisa meninggalkan istri dan anakku. Mereka juga keluargaku. Tapi, aku mohon, jangan pernah memutuskan hubungan antara kita, Bu. Aku tetap anak ibu. Tetap membutuhkan ibu. Terlebih saat ini, saat bapak sudah tak ada lagi."
Bima berucap lirih pada bu Mirna.
"Jangan pernah kembali ke rumah lagi, Bim! Ibu kecewa padamu!"
Bu Mirna menggelengkan kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya, berlalu meninggalkan Bima sendiri.
Bima mengusap wajahnya dengan tangannya.
"Hah! Brengsek! Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Aku sungguh menyayangi ibuku, juga keluarga kecilku. Apa salah dan dosaku? Bapak, apa yang harus Bima lakukan sekarang, Pak?"
Bima berkali kali menghela napas dengan kesal. Dan lambat lain menjadi pasrah.
Bima menuju ke sudut ruangan di rumah sakit itu.
Bima mengambil wudhu, dan masuk ke mushola yang disediakan oleh rumah sakit itu.
Sejenak, Bima Salat, memasrahkan semua permasalahan keluarganya pada Tuhan. Dan meminta kesembuhan bagi istrinya.
Tenang saja, nggak akan gantung kok, pasti terus berlanjut. 😘😘