Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Salah Paham
Langit malam sudah gelap saat Radit keluar dari kantor. Jam tangannya menunjukkan pukul 21.42, tapi langkahnya tak langsung menuju mobil. Ada satu tempat yang ingin ia datangi lebih dulu.
Sebuah toko peralatan rumah tangga yang masih buka 24 jam.
"Permisi, Mas. Ada tumbler yang tahan dingin nggak?" tanyanya pada penjaga toko.
Si penjaga mengangguk dan menunjuk rak bagian kiri. Radit menyusuri lorong-lorong toko dengan cepat tapi terarah. Matanya menyapu berbagai model dan warna. Beberapa terlalu mencolok, beberapa terlalu kekanak-kanakan.
Sampai akhirnya, dia berhenti di depan satu rak kecil. Warnanya sederhana—biru pastel lembut. Elegan. Ada detail kecil di bagian tutupnya, "Keep yourself hydrated, Darling."
Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya.
Beberapa menit kemudian, Radit sudah kembali di mobil. Tumbler itu diletakkannya di kursi penumpang. Ia menatapnya lama, seperti sedang memikirkan hal besar.
“Karena kamu selalu bangun tengah malam cuma buat minum air," gumamnya pelan, seolah Rumi duduk di sana.
Dia sendiri pernah tak sengaja melihat itu—saat ia terbangun di malam hari dan melihat lampu dapur menyala. Rumi berdiri di depan kulkas, menggenggam gelas, sendirian dalam diam. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu yang tak pernah ia ceritakan.
Malam itu meninggalkan kesan. Dan entah kenapa, Radit masih mengingatnya sampai sekarang.
Sesampainya di rumah, Radit melangkah pelan menuju kamar Rumi. Tak berniat mengetuk atau mengganggu, hanya meletakkan tumbler itu di depan pintu.
Ia menyelipkan secarik kertas kecil di bawahnya.
Biar kamu nggak harus bangun dan jalan jauh lagi. Isi sebelum tidur.
– R
Tak ada nama lengkap. Tapi Radit tahu Rumi akan paham.
Ia berdiri sebentar, mengamati pintu yang tertutup itu.
Dan untuk pertama kalinya, Radit tersenyum kecil—tanpa alasan logis.
Mungkin bukan karena kontrak. Bukan juga karena tanggung jawab. Tapi karena dia, memang ingin melakukannya.
...****************...
Rumi menggeliat pelan di ranjang. Tenggorokannya terasa kering, seperti biasa. Jam di dinding menunjukkan pukul 01.08. Dengan malas, ia bangkit dan meraih cardingan yang tersampir di kursi.
Saat membuka pintu kamar, langkahnya otomatis terhenti.
Sebuah benda biru muda berdiri manis di lantai depan pintunya. Tumbler. Baru. Masih berlabel.
Dahi Rumi mengernyit. Ia menunduk, lalu menemukan kertas kecil yang terselip di bawahnya.
Jantungnya langsung berdetak tak karuan.
“Mas Radit?” bisiknya pelan, hampir tak percaya.
Saat itu juga, suara pintu kamar di seberang terbuka.
Radit.
Kaus hitam dan celana training, rambut agak berantakan, tapi tetap menyebalkan dalam versi yang menawan.
Tatapan mereka bertemu. Seketika suasana menjadi canggung.
“Uh, aku—aku cuma …” Rumi menunjuk tumbler, suaranya gugup, “Ini .…”
Radit bersandar santai di kusen pintunya, tapi matanya tak bisa menyembunyikan gugupnya juga. “Kepikiran aja. Kamu sering bangun tengah malam. Biar nggak repot ke dapur.”
“Kenapa Mas Radit harus repot-repot?”
Radit mengangkat bahu. “Karena aku pengin.”
Hening.
Mata Rumi menunduk, senyumnya pelan, malu tapi manis. Tangannya mengelus tumbler itu seperti sedang memegang benda paling berharga di dunia.
“Terima kasih, Mas.”
Dan entah siapa yang lebih dulu menghindari tatapan, tapi keduanya buru-buru masuk kembali ke kamar masing-masing. Pintu menutup. Hati berdetak. Dan malam terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.
Rumi memeluk tumbler biru muda itu erat saat kembali masuk ke kamar. Pintu ia tutup pelan, seolah takut membangunkan udara malam yang sunyi.
Ia duduk di pinggir ranjang, menatap tumbler itu seperti menatap benda asing yang datang dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Jari-jarinya menyentuh tulisan kecil di tutupnya. "Keep yourself hydrated, Darling."
Bibit senyum muncul begitu saja di bibirnya.
"Kenapa harus tumbler? Kenapa harus warna ini? Kenapa ... dia perhatian banget?"
Rumi menunduk, pipinya sedikit memanas.
“Aku tuh bukan siapa-siapanya dia,” gumamnya pelan. “Cuma orang yang terjebak kontrak.”
Tapi siapa juga yang beli tumbler cuma karena seseorang sering bangun tengah malam?
“Mas Radit, kamu tuh bikin susah lupa.” Suaranya hampir tak terdengar, seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri.
Rumi meletakkan tumbler itu di meja kecil samping tempat tidur, lalu berbaring dengan selimut yang ditarik sampai ke dagu. Tapi matanya tak bisa langsung terpejam.
Ada perasaan hangat di dada. Tenang. Nyaman. Tapi juga sedikit kacau.
Dan sialnya, Rumi tidak ingin perasaan itu cepat hilang.
...****************...
Jam istirahat, kantin sekolah seperti biasa ramai. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Novi pagi ini.
Yang menarik justru sahabatnya sendiri—Rumi—yang duduk sambil memeluk tumbler biru pastel seperti benda itu adalah bayi kucing.
“Jadi, itu beneran dibeliin Mas Radit?” Novi bertanya sambil menggigit kerupuk, suaranya setengah menahan heboh.
Rumi mendesah, berusaha terlihat tenang, meski telinganya sudah mulai memerah. “Biasa aja, Nov. Katanya cuma biar aku nggak bangun ke dapur malam-malam.”
Novi melotot. “Halah, alesan klasik cowok yang mulai peduli.”
Rumi menghindari tatapan, menyeruput air dari tumbler itu pelan, seolah ingin sembunyi di dalamnya.
“Rumi,” Novi mencondongkan badan, suaranya lebih pelan tapi serius, “kalau dia nggak ada rasa, ngapain susah-susah beliin kamu tumbler? Dan pilihnya tuh bukan asal. Warna pastel, ada tulisan gemes pula. Fix! Cowok kayak Mas Radit nggak ngelakuin hal kecil kayak gitu kalau nggak karena—”
“Udah ah, Nov!” potong Rumi buru-buru, pipinya udah nggak bisa diajak kompromi. “Kamu ini bikin aku malu sendiri.”
Novi terkekeh puas. “Aku cuma ngingetin. Kadang rasa sayang nggak ditunjukin dengan kata-kata, tapi lewat hal-hal kecil. Dan tumbler itu,” Ia menunjuk dengan dagunya. “Udah teriak paling kenceng.”
Rumi diam.
Tapi di dalam dadanya, ada suara yang setuju. Tumbler itu memang bukan sekadar botol minum.
Itu perhatian. Itu rasa. Dan mungkin, itu awal dari sesuatu yang Rumi belum siap akui.
...****************...
Rumi duduk di kursi belakang mobil mewah, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sopir pribadi mengemudi dengan tenang, melewati jalanan kota yang tampak sepi di siang hari.
Tiba-tiba, di salah satu sudut jalan, matanya menangkap sesuatu yang membuat dadanya sesak.
Di sebuah café, teras yang terbuka, Radit dan seorang perempuan—Reva—sedang duduk berdekatan.
Tak hanya duduk, Rumi melihat Reva memeluk Radit dengan erat, tangan melingkar di bahu Radit.
Perasaan Rumi langsung runtuh.
"Kenapa dia bisa begitu dekat sama Mas Radit?" pikir Rumi dalam hati, mulutnya terasa kering.
Ia mencoba mengalihkan pandangan, tapi matanya seolah terpaku.
Radit tertawa kecil mendengar sesuatu dari Reva, lalu dengan tegas menatap wajahnya.
Sambil menepis pelukan itu, Radit berkata pelan tapi tegas, “Reva, aku sudah bilang. Jangan ganggu hidupku dan hidup Rumi lagi. Aku serius.”
Reva menarik diri dengan raut kecewa tapi juga marah.
Rumi melihat semuanya dari jauh, tapi hatinya sudah terluka dalam.
Salah paham yang membakar pikirannya. Melihat pelukan itu, ia tak tahu kalau Radit sedang menegur Reva, bukan membalas cinta.
Suara sopir yang tenang memecah lamunannya, “Kita sampai, Bu.”
Rumi menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi perasaan cemburu dan sakit hati masih mengaduk-aduk jiwanya.