Tirani Ibu Mertua
"Bima, sampai kapan pun, Ibu tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan gadis itu!" Ucap Mirna dengan tegas dan penuh amarah.
"Bu, mengapa Ibu tidak memberi kesempatan pada Niken? Aku mencintainya, Bu. Dia gadis pilihanku, yang akan mendampingi hidupku. Aku akan menikahinya, Bu. Aku meminta ibu untuk merestui hubungan kami." Bima memohon sambil berlutut di kaki ibunya.
"Cuih! Aku tak Sudi punya menantu seperti dia!" Tunjuk Mirna pada Niken yang hanya berdiri terpaku.
"Dia tak pantas masuk dalam keluarga kita!" Ucap Mirna, ibu dari Bima dengan ketus.
Hati Niken pedih mendengar ucapan calon mertuanya itu. Niken memejamkan matanya, hatinya ingin mundur saja seperti ucapan calon mertuanya itu.
"Bu, aku mencintai Niken. Bagaimana aku menikah tanpa mencintai."
"Ibu telah memilih Rima. Dan dia adalah gadis yang sesuai untukmu, untuk keluarga kita. Kita harus memikirkan bibit bebet bobot yang sesuai dengan derajat keluarga kita. Dia bukan dari keluarga yang sederajat dengan kita." Ucap Mirna dengan tegas tanpa menatap Bima.
"Sudahlah, Bu. Saat ini kita ada di tempat orang, jangan marah marah seperti ini. Bima sudah dewasa, dan berhak memilih pasangan hidupnya." Pak Widodo menenangkan istrinya yang sedang marah pada putranya.
Bima sengaja mengajak Niken datang menemui kedua orangtuanya di acara pernikahan saudara sepupunya di Jakarta. Bima tak menyangka, ibunya akan semarah itu dan menolak gadis pilihannya.
Bima membimbing Niken untuk duduk di kursi dan memberi segelas air mineral untuk diminum.
"Mas, sebaiknya, kita urungkan saja semuanya. Aku tak nyaman jika kita menikah, tanpa restu ibumu." Ucap Niken sambil meneguk hingga habis air mineral itu.
Bima menatap Niken, lalu menggeleng.
"Kamu lihat tadi? Bapak setuju denganku. Lagi pula, kita sudah menjalin hubungan sudah tiga tahun lebih. Aku sudah memantapkan hati untuk menikahimu. Dan aku sudah berjanji pada ibumu dan kakakmu untuk menikah denganmu. Aku mencintaimu, Niken." Ucap Bima dengan nada serius.
"Tapi,... Lihatlah! Ibumu sama sekali tak setuju. Menikah tanpa restu ibu itu tidak berkah, Mas!" Niken membalas ucapan Bima tak kalah serius.
"Namun Niken, dengan atau tanpa restu ibuku, aku akan tetap menikah denganmu! Aku berjanji akan selalu menjaga, mencintaimu, setia, dan memihak padamu, meski ibu bersikap seperti itu padamu. Aku bukan anak kecil yang selalu patuh pada kehendak orang tua! Aku berhak untuk memilih sendiri pendamping hidupku. Dan aku memilih kamu, Niken." Bima menatap Niken lekat lekat.
"Menikahlah denganku, Niken!"
Kini, Bima berlutut dan menggenggam jemari Niken erat.
Niken yang duduk hanya bisa menunduk menatap Bima, berusaha mencari celah untuk menolaknya.
Namun, selama ini, Bima selalu baik, bukan hanya pada dirinya, tapi juga pada keluarganya.
Bima terang terangan datang ke rumah dan meminta pada ibunya akan serius dan menikahi Niken. Bima juga menghubungi, Kakak Niken yang ada di Kalimantan, meminta ijin untuk menikahi Niken.
Segala keseriusan Bima, membuat hatinya luluh, tapi, kenyataan ibu Mirna, ibunya Bima yang tak menyukainya, membuat hatinya bimbang dan galau.
Menikah tanpa restu ibu itu tidak berkah bagi pernikahan. Niken kali ini tak dapat menjawab permintaan Bima.
*
"Kamu mencintainya?" Tanya Ibu Lusi, ibu dari Niken sambil membelai lembut rambut putri semata wayangnya itu.
"Aku mencintainya, Bu. Tapi, ibunya tak merestui kami." Air mata Niken mulai mengalir dari sudut matanya.
"Kamu telah dewasa, dapat memilih sendiri apa yang terbaik untuk dirimu. Ibu akan mendukung apapun keputusanmu itu. Dan ibu berdoa kamu bisa menjalani dengan baik apa pun pilihanmu itu."
Niken menegakkan punggungnya, yang semula rebah bersandar pada paha ibunya, kini, duduk dan menatap pada ibu.
"Niken bingung."
"Kamu perlu waktu. Pikirkanlah dulu, berdoa, minta pada Tuhan yang terbaik untukmu. Dan bicaralah baik baik dengan Bima. Ibu akan selalu berdoa yang terbaik untuk kalian."
"Ibu merestui kami?" Tanya Niken.
Ibu Lusi mengangguk sambil tersenyum.
"Ibu selalu merestui dan mendukung kalian. Bima sepertinya baik dan bertanggung jawab. Bahkan dia berani menghubungi kakakmu dan meminta langsung dirimu. Berbeda dengan kekasih kekasihmu sebelumnya. Tapi, kamu pikirkan saja dulu. Tidak perlu terburu-buru. Ibu yakin, Bima juga dapat mengerti pilihanmu."
Niken memeluk erat ibunya. Rasa nyaman dan aman saat dalam pelukan ibunya.
Setelah satu bulan berpikir dengan keras, akhirnya Niken dengan mantap memilih Bima. Niken bersedia menerima lamaran Bima, dan menerima ajakan menikah Bima.
Pernikahan mereka juga dilangsungkan secara sederhana di rumah Niken. Hanya mengundang teman kerja, dan keluarga dekat saja.
Ayah Niken sudah tiada, jadi Kakak tertua dari ayahnya yang akhirnya menjadi wali nikahnya.
Setelah Bima dan Niken menikah, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan di pusat kota Jakarta, yang dekat dengan tempat mereka bekerja.
Niken memutuskan untuk berhenti dari tempat kerjanya, yang lama karena peraturan perusahaan, suami istri tidak boleh bekerja satu kantor.
Mudah saja bagi Niken untuk mendapatkan pekerja kembali dengan pengalamannya.
Kini usia pernikahan mereka telah hampir satu tahun. Mereka hidup bahagia menjalani pernikahan, meskipun belum ada tanda tanda kehamilan dari Niken.
Mereka menikmati setiap kebersamaan mereka, dan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana, tapi nyaman.
Akhirnya Bima mendapatkan promosi dari perusahaan berupa kenaikan pangkat. Namun, penempatan di Yogyakarta.
Kota asal Bima dan keluarganya.
Bima berdiskusi dahulu bersama Niken sebelum dia menerima pekerjaan itu dari perusahaan.
"Bagaimana menurutmu, seandainya kita pindah ke Yogya?" Tanya Bima.
Niken mengerutkan keningnya menatap Bima. Dia menghentikan kegiatan rutin membersihkan wajahnya sebelum tidur.
"Yogya?" Tanya Niken.
Bima mengangguk sambil meraih jemari Niken. Bima berlutut di depan Niken yang duduk di kursi rias sambil menggenggam tangan istrinya itu.
"Aku mendapat promosi menjadi kepala cabang di Yogya. Untuk masalah gaji, sesuai dengan gaji di Jakarta." Ucap Bima.
Niken terdiam.
"Aku tahu. Makanya aku ingin berdiskusi dulu denganmu sebelum menerima pekerjaan ini. Jika kamu keberatan, aku akan tetap di sini dengan posisiku saat ini." Sambung Bima sambil menghela napas dalam-dalam.
Namun, Niken tahu, Bima telah lama berharap untuk naik dari posisinya supaya memiliki karir yang cemerlang dan juga penghasilan jauh lebih baik dari yang saat ini.
Niken hanya diam saja. Dan malam itu dia pun hanya diam saja hingga hari berganti pagi.
Semalam mereka tidur, tanpa ada ciuman selamat malam seperti biasanya. Niken hanya diam. Dan Bima yang telah memahami Niken, membiarkan hal itu. Karena biasanya Niken membutuhkan waktu untuk memikirkan itu semua.
Semalaman Niken memikirkan semua, dan segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Mas, aku mengijinkan kamu menerima pekerjaan itu." Ucap Niken saat mereka sedang sarapan sebelum berangkat ke tempat kerja.
Bima meletakkan roti di meja dan menatap Niken tak percaya.
"Kamu yakin?" Tanya Bima.
"Ya. Demi karirmu dan masa depan kita. Aku yakin jika karir Mas naik, akan baik juga untuk masa depan keluarga kita." Jawab Niken sambil tersenyum.
"Tapi, mungkin untuk sementara waktu, kita tinggal di rumahku dulu, sebelum kita mendapat tempat tinggal di sana. Apa kamu tidak keberatan?"
"Ya. Tapi janji untuk sementara saja ya! Mas kan, tahu, ibu tidak menyukaiku. Bagaimana aku bisa betah lama lama tinggal di sana?" Cicit Niken sambil manyun.
"Kan, cuma ibu yang nggak suka. Masih ada ayah, Dewa, dan Seruni. Semua menyukaimu. Ngapain takut?" Sahut Bima sambil menjawil dagu istrinya.
"Tapi ibumu itu mengerikan jika menatapku. Seakan aku merebut anak kesayangannya." Desis Niken.
Bima menggeser tempat duduknya mendekat ke arah Niken.
"Aku lebih takut jika kamu marah padaku, lalu mengunci pintu kamar dan membiarkan aku tidur di sofa semalaman sambil menjadi santapan nikmat nyamuk nyamuk." Sahut Bima sambil meletakkan kedua tangannya di bahu istrinya itu dan menatapnya lekat lekat.
"Ah, gombal!"
"Benar! Aku tuh takut kalau kamu marah, terus pergi ninggalin aku atau nyuruh aku tidur di luar. Aku sayang sama kamu Niken. Sungguh!" Bima meyakinkan Niken.
Niken tersenyum geli menatap wajah Bima yang lucu saat sedang berusaha meyakinkan dirinya.
"Iya. Kamu ambil saja pekerjaan itu. Aku setuju. Nanti biar aku urus surat pengunduran diriku di kantor." Ucap Niken sambil tersenyum pada Bima.
Bima menatap Niken seolah tak percaya.
Niken mengangguk.
"Terima kasih, Sayang! Aku memang tidak salah pilih istri. Aku sangat sangat beruntung memilikimu." Ucap Bima seraya memeluk dan menciumi istrinya dengan rasa bahagia.
"Ahhh... Susah sudah! Tuh kan jadi berantakan lagi dandananku!" Niken mengomel sambil mendorong tubuh Bima.
"Bagaimana, jika kita tidak usah bekerja, dan menghabiskan hari ini hanya berdua." Goda Bima.
"Hah? Ogah! Sudah habiskan sarapannya. Nanti kita terlambat." Teriak Niken sambil melirik ke arah jam tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments