Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 : PEMBUKTIAN
Profesor Sean beranjak berdiri dengan menggenggam berkas hasil penelitian sampel yang diberikan Zefon beberapa jam lalu. Fokus, teliti dan kecakapan membuat sang profesor dapat melihat hasilnya lebih cepat dari perkiraan. Ia segera duduk berhadapan dengan Zefon.
“Kamu gunakan untuk apa cairan ini?” selidik Prof. Sean menatapnya tajam. Khawatir jika keponakannya itu melakukan tindakan kriminal.
Zefon mengerutkan kening, “Jelaskan saja hasilnya, Paman! Jangan berbelit-belit!” Zefon mendesah kasar karena terlalu bertele-tele.
“Kalau kamu melakukan hal di luar batas, Paman laporkan pada orang tuamu, Ze!”
Zefon berdecak kesal, mengusak rambutnya yang rapi dengan kasar. “Paman, itu bukan milikku. Tapi milik dia,” ucapnya menunjuk Yura dengan dagunya. Sean mendelik, namun sebelum berucap sudah lebih dulu diserobot Zefon lagi. “Jadi ada seseorang yang ingin memberi keluarganya dengan cairan itu. Kami butuh penjelasan secepatnya agar tidak terlambat, Paman!” paparnya menahan kekesalan. Bahkan cengkeraman tangannya semakin kuat.
Yura menelan saliva tanpa berani berucap apa pun. Ketegangan di wajah cantiknya tidak dapat disembunyikan. Detak jantungnya semakin menggema di dalam sana.
“Mmm ... ini salah satu racun yang langka. Tidak diperdagangkan secara legal di negara ini. Bahkan sepertinya belum ada penawarnya. Cara bekerjanya secara bertahap, menggerogoti sistem syaraf yang lama kelamaan bisa lumpuh permanen bahkan bisa mencapai kematian,” papar Sean dalam bahasa sederhana. Karena dua orang di depannya tidak akan paham jika dijelaskan secara ilmiah.
Tubuh Yura seakan melemas, air matanya jatuh seketika. Penjelasan yang sangat tepat dan sesuai dengan apa yang dialami oleh sang ayah dulu. Dan sekarang, Yura takut akan kecolongan.
“Bagaimana kalau ayah sudah pernah meminumnya sebelum ini?” tanya Yura sembari menatap nanar pria di sampingnya.
“Silakan kamu periksa kesehatan ayahmu secara keseluruhan untuk memastikan sudah terkontaminasi racun ini atau belum.” Sean menyarankan, menatap lekat gadis yang dibawa oleh Zefon.
“Tapi bagaimana kalau ternyata sudah pernah meminum racun itu, Tuan? Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana pengobatannya?” cecar Yura frustasi. Karena dulu, ia terlambat dalam penanganan sang ayah. Tidak, Yura tidak ingin kepedihan itu kembali ia rasakan. Yura akan melakukan apa pun demi menyelamatkan sang ayah.
“Ze, kau bisa hubungi Paman kalau memang hasilnya positif. Dan berkas ini aku tahan dulu sebagai acuan untuk membuat penawar di laboratorium ini,” ujar Sean yang kini pandangannya mengarah pada Zefon.
“Hmm ... baik! Ayo!” Zefon mengulurkan lengannya di hadapan Yura.
Gadis itu mendongak, terlihat jelas jika kedua matanya sendu bahkan kini mengembun hingga berwarna merah.
Zefon mengangguk, sorot matanya meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Yura bisa melihat ketulusan dari lelaki tampan itu.
Perlahan ia menjulurkan lengan kecilnya untuk menggapai tangan Zefon. Segera ia mendapat genggaman erat dari pria itu. Ada perasaan hangat dan aman yang mengalir hingga relung hatinya.
‘Aku janji, akan melakukan apa pun demi bisa membalas semua kebaikan kamu,’ batin Yura masih mendongak, menatap lelaki itu begitu dalam.
“Tenang saja, belum terlambat!” serunya merengkuh bahu gadis itu dan melenggang keluar dengan santai. Ia bahkan tidak berpamitan pada Sean, yang notabene adalah sang pemilik ruangan.
Sean hanya menggeleng melihat punggung Zefon yang semakin menjauh hingga menghilang dari pandangannya. “Doyan wanita juga ternyata,” cibirnya terkekeh.
\=\=\=\=000\=\=\=\=
Yura sama sekali tidak keluar kamar sejak malam itu. Makan pun ia memilih pesan secara online. Weekend hanya ia isi dengan mengerjakan tugas dan selebihnya menonton film di laptopnya.
Mendengar ketukan di pintu, gadis itu segera beranjak dan setengah berlari untuk membukanya.
“Nona, Tuan sudah pulang. Beliau sedang ada di ruang kerja,” lapor salah satu ARTnya.
Sebelumnya Yura sudah berpesan, jika Rehan pulang harus segera melapor padanya. Tidak peduli jam berapa pun.
Yura menatap jam di kamarnya, sudah pukul delapan malam, lalu mengangguk, “Terima kasih infonya, Bi,” ucapnya bergegas ke ruang kerja sang ayah. Ia ingin berbicara empat mata dengan lelaki itu. Yura membuka pintu ruangan dan kembali menutupnya.
“Ayah!” panggil Yura berlari kecil dan langsung mengambur ke pelukan Rehan.
“Hei, kangen?” tanya Rehan heran dengan sikap putrinya yang begitu manja akhir-akhir ini.
“Heem,” jawab Yura sembari mengangguk.
Setelah beberapa saat, Yura meregangkan pelukannya. Menatap wajah cinta pertamanya sembari tersenyum lembut.
“Ada yang ingin aku bicarakan. Penting, Yah,” ucap Yura menduduki kursi kerja ayahnya.
“Bicaralah, Sayang!” sahut lelaki itu mulai melepas jas dan dasi. Tujuannya ke ruang kerja adalah meletakkan tas kerjanya di sana. Akan tetapi sudah disambut dengan anak gadisnya.
Yura menarik napas panjang, bingung harus mengatakan dari mana. “Yah, Sarah diam-diam selingkuh di belakang Ayah,” cetus gadis itu memutar kursi kerja sembari memperhatikan reaksi ayahnya.
Sempat terkejut, namun tak berapa lama Rehan justru terkekeh. “Hahaha! Yura, apa yang kamu bicarakan, Nak.”
“Aku serius, nanti akan aku bawa semua buktinya. Dan satu lagi, tolong Ayah hati-hati. Karena Sarah berencana untuk membunuh kita. Ia ingin menguasai harta Ayah. Jangan terima makanan atau minuman yang disiapkan olehnya,” tegas wanita itu tanpa keraguan sedikit pun.
“Hah? Kamu ini kenapa? Ayah tahu kamu sangat membenci Sarah, Yura. Tapi tidak perlu mengarang cerita seperti ini untuk menjatuhkannya,” sanggah Rehan membela istrinya.
Yura berdecak kesal, buru-buru ia berlari ke sini karena takut keduluan oleh Sarah. Namun sepertinya percuma, karena ia lupa membawa bukti-buktinya.
“Ayah, aku sama sekali tidak mengarang cerita. Inilah kenyataannya, istri yang Ayah bangga-banggakan itu sebenarnya sangat licik. Aku bahkan memergokinya ke bar waktu Ayah baru berangkat ke luar kota!” Yura masih kekeh dengan pendapatnya.
“Cukup, Yura. Ayah lelah. Ayah sudah berusaha adil, namun sepertinya kebencianmu pada Sarah tidak akan bisa hilang. Malah makin menjadi,” bela Rehan memijit keningnya yang semakin pusing.
Dada Yura semakin bergemuruh, ia beranjak dan hendak mengambil bukti-buktinya. Namun, pintu ruangan itu kini terbuka. Yura memutar bola matanya malas, melipat kedua lengan di dada ketika melihat kedatangan Sarah yang membawa secangkir minuman di tangannya.
“Mas, baru pulang ya? Ini aku bawakan kopi untukmu. Pasti sangat lelah setelah perjalanan panjang,” tutur Sarah dengan nada selembut mungkin. Langkahnya sangat pelan semakin mengikis jarak dengan suaminya.
Yura menatapnya tajam, beralih pada ayahnya. Namun Rehan membalas tatapan Yura dengan lembut, disertai seulas senyum. Seolah mengatakan bahwa Sarah adalah wanita baik dan pengertian.
“Ini, Mas. Mumpung masih hangat,” ucap Sarah menyodorkan secangkir kopi hitam pada suaminya.
Rehan sudah menjulurkan lengan, hendak meraihnya. Akan tetapi, Yura menyergahnya. Ia berdiri di depan Rehan sembari mengambil alih cangkir tersebut.
Sarah mengerutkan keningnya dalam, “Yura, itu buat ayahmu, Nak,” ucapnya.
“Aku tidak akan membiarkan kamu meracuni ayahku, Sarah!” tolak Yura dengan tegas.
“Apa maksudmu? Kenapa menuduh Mama seperti itu?” Raut wajahnya dibuat sesedih mungkin untuk menarik simpati suaminya.
“Yura sudahlah. Jangan seperti ini. Kamu bisa melukai hati ibumu,” sergah Rehan hendak meminta cangkir tersebut.
Namun Yura mengelak dengan lengan satunya. Napasnya berembus dengan cepat, emosi menguasai tubuhnya karena sang ayah tidak percaya padanya. Matanya menatap nyalang pada lelaki itu.
“Kalau begitu, minum kopi ini sekarang juga. Buktikan jika aku memang salah!” tandas Yura beralih menatap Sarah dan mengembalikan minuman itu padanya.
Bersambung~